Perlunya Menggarap “Fan Base” di Perfilman Indonesia
Dua tahun pandemi Covid-19 menimbulkan kesulitan bagi dunia perfilman Indonesia. Untuk mengurai keterpurukan, basis penggemar atau ”fan base” dapat lebih digarap di tengah krisis pandemi.
Dua tahun pandemi Covid-19 menimbulkan kesulitan bagi dunia perfilman Indonesia. Proses produksi hingga pemutaran film menjadi terhambat akibat kebijakan pembatasan mobilitas. Untuk mengurai keterpurukan, basis penggemar atau fan base dapat lebih digarap di tengah krisis pandemi.
Sejak pertengahan September 2021, pintu-pintu bioskop di Tanah Air sudah mulai dibuka kembali. Makin terkendalinya penanganan Covid-19 membuat masyarakat bisa kembali menikmati tayangan film layar lebar dengan syarat tetap menerapkan protokol kesehatan dan pembatasan kapasitas penonton.
Pembukaan bioskop disusul dengan rilis film-film Indonesia yang tertunda jadwal tayangnya. Sejak Oktober hingga 21 Desember 2021 sedikitnya ada 10 judul film lokal yang tayang di layar lebar. Sederet film tersebut antara lain film animasi untuk semua umur, yaitu Nussa; kemudian film bergenre drama, di antaranya Yowis Ben 3, Yowis Ben Finale, dan Losmen Bu Broto. Ada juga genre dokudrama, yaitu Kadet 1947.
Akhir tahun ini, penonton disuguhi dua film yang cukup ramai diperbincangkan warganet, yaitu Yuni karya sutradara Kamila Andini dan film karya sutradara Edwin berjudul Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.
Data dari laman Film Indonesia menunjukkan bahwa 10 film yang tayang pada bulan Oktober-Desember 2021 mampu mendatangkan 1,4 juta penonton. Film Indonesia yang dirilis pada triwulan IV-2021 dengan perolehan penonton terbanyak adalah Nussa (443.498 penonton). Menyusul kemudian film Yowis Ben 3 (381.365 penonton) dan Losmen Bu Broto (120.413 penonton).
Jumlah penonton film pada triwulan IV-2021 tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2020. Tahun lalu, jumlah penonton pada periode tersebut mencapai 1,1 juta orang. Hal yang menjadi catatan adalah 1,1 juta penonton pada 2020 adalah perolehan dari dua judul film, yaitu Mariposa (766.429 penonton) dan Asih 2 (334.282 penonton).
Daya tarik
Antusiasme warga untuk mau menonton film tentu didasari oleh seberapa kuat daya tarik film yang ditayangkan. Daya tarik film yang dirilis dalam setahun dapat dilihat dari rata-rata jumlah penonton dari tiap judul film.
Pada laman Film Indonesia terdapat data tahunan jumlah penonton film buatan dalam negeri dari 15 judul terlaris.Data ini dapat digunakan untuk melacak tren minat atau antusiasme warga dalam mengapresiasi film Indonesia.
Pada tahun-tahun sebelum pandemi (2012-2019), satu judul film rata-rata disaksikan oleh 1,3 juta penonton. Jika dijabarkan lebih rinci, antara tahun 2012 dan 2015 terjadi tren penurunan jumlah penonton. Pada 2012, jumlah penonton per judul film hampir menyentuh angka 900.000 orang. Namun, pada 2015, jumlah penonton kurang dari 700.000 orang untuk tiap film.
Barulah pada 2016 terjadi lonjakan yang menggembirakan, rerata jumlah penonton per film tembus angka 2 juta pasang mata. Angka ini cenderung stabil hingga 2019 yang berada di kisaran 1,8 juta hingga 1,9 juta penonton per judul film.
Lonjakan jumlah penonton pada 2016 yang bertahan hingga sebelum pandemi didorong oleh genre-genre favorit penonton Indonesia. Tiga genre mayor film dalam negeri yang paling digandrungi penonton adalah horor, drama yang biasanya mengangkat isu agama dan percintaan, dan komedi.
Daya tarik terlihat semakin kuat ketika sebuah film dibalut dengan nuansa nostalgia. Sebagai contoh, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (2016) adalah film dengan jumlah penonton terbanyak dalam satu dekade terakhir. Saat itu, film yang dibintangi Abimana Aryasatya (Dono), Vino Bastian (Kasino), dan Tora Sudiro (Indro) itu mampu menarik hampir 7 juta penonton.
Film dengan capaian jumlah penonton mendekati Warkop DKI Reborn adalah Dilan 1990 (2018). Romantika remaja yang dihadirkan pada bingkai waktu tahun 1990-an menawarkan wahana nostalgia. Film yang dibintangi Vanesha Prescilla (Milea) dan Iqbaal Ramadhan (Dilan) ini mampu menarik 6,3 juta penonton.
Keberhasilan Warkop DKI Reborn dan Dilan 1990 mendorong munculnya sekuel lanjutan dari film perdananya. Walau masih terbilang tinggi, jumlah penonton pada film penerusnya tidak segemilang versi perdananya. Daya tarik film sekuel di Indonesia cenderung cepat layu dan menurun.
Basis penggemar
Film sekuel sesungguhnya dapat diandalkan untuk menjaga gairah penonton sehingga mereka terus menunggu film-film selanjutnya. Hal ini dapat terwujud apabila sudah terbangun basis pengemar (fan base) terhadap suatu film. Sekuel film superhero milik Marvel dan DC atau sekuel The Fast and the Furious yang muncul perdana pada 2001 dan masih diteruskan hingga sekarang, misalnya.
Hingga saat ini, penonton di Indonesia belum punya film buatan dalam negeri yang dinanti-nantikan penayangannya. Dari sisi pembuat film, ketika berkreasi dengan ide-ide segar, tentu ada pertimbangan soal penerimaan penonton terhadap karyanya. Hal ini ditujukan supaya berhasil mendatangkan keuntungan dari pemutaran film.
Industri film Indonesia perlu menciptakan produk budaya populer yang dapat menghimpun penggemar. Penggemar yang memiliki sikap fanatisme terhadap suatu produk budaya akan cenderung memprioritaskan hal yang digemarinya. Penggemar Marvel Universe ataupun penggemar K-pop atau J-pop, misalnya, akan lebih royal dalam membelanjakan uangnya demi memuaskan fanatismenya.
Konten tentang penonton film Spider-Man No Way Home yang mengenakan kostum tokoh superhero saat datang ke bioskop banyak ditemui di media sosial. Aksi tersebut adalah bentuk apresiasi yang begitu tinggi terhadap sebuah film yang sudah dinanti-nantikan pemutarannya.
Membangun basis penggemar perlu dilakukan secara berkesinambungan dan bersifat multimedia. Kesuksesan film rilisan Marvel di masa kini memiliki akar yang jauh di masa lalu, yaitu dalam wujud komik. Obyek komoditasnya bukanlah filmnya, tetapi melekat pada identitas tokoh yang difilmkan.
Berbeda kasus dengan sekuel Star Wars. Basis penggemar terbentuk dari produk film dan kemudian mewujud dalam berbagai medium, mulai dari mainan, poster, hingga pakaian. Pola-pola manajemen penggemar ini mampu menjadi ekstensa bisnis perfilman. Strategi seperti ini, termasuk meraup soliditas penggemar, sangat terasa krusial ketika terjadi krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Film-film di Indonesia sebenarnya sudah ada yang memunculkan karakter atau hero lokal. Tengoklah, tokoh komik Gundala pernah diangkat oleh sutradara Joko Anwar pada 2019 dengan judul Gundala: Negeri Ini Butuh Patriot. Saat Gundala diputar di bioskop, film itu mampu mengundang 1,7 juta penonton. Film dengan catatan jumlah penonton setara pada tahun yang sama adalah Keluarga Cemara.
Namun, daya tarik tokoh patriot lokal ini masih kalah dengan film lain, seperti sinema horor Perempuan Tanah Jahanam yang juga disutradarai Joko Anwar. Juga jika dibandingkan dengan perolehan jumlah penonton tertinggi pada 2019, yaitu Dilan 1991 dengan 5,2 juta penonton.
Kreasi menampilkan film-film yang dapat memiliki engagement dengan audiens perlu dilakukan untuk memperluas jangkauan bisnis film di Tanah Air. Selain hero, aspek budaya atau tradisi Nusantara dapat dielaborasi sebagai ciri khas film nasional di benak penonton.
Pelaku industri film Indonesia juga dapat menggali potensi basis penggemar baik dari produk budaya populer yang sudah ada maupun menciptakan yang baru. Sebab, fanatisme penggemar adalah salah satu potensi aset ekonomi yang dapat menopang ekonomi kreatif Indonesia, khususnya dunia perfilman.
Harapannya, raihan jumlah penonton bukan lagi merupakan hasil untung-untungan menunggu respons dari penonton, melainkan buah dari penggalian potensi basis penggemar dan dapat dikomodifikasi sepanjang waktu. (LITBANG KOMPAS)