Derajat optimisme masyarakat dalam menyikapi normal baru menunjukkan tren positif. Namun, tren tersebut masih menyimpan beberapa catatan kritis.
Oleh
Vincentius Gitiyarko
·5 menit baca
Hingga November 2021, pandemi Covid-19 yang menghantam Indonesia selama 20 bulan, mengharuskan masyarakat hidup dengan perilaku baru. Di penghujung tahun, masyarakat Indonesia, terutama kelas menengah dan atas, makin optimis beradaptasi dengan pola kehidupan dalam Normal Baru.
Di awal pandemi, sebagian masyarakat mungkin merasa masih relevan berpikir kapankah pandemi akan berakhir dengan asumsi kehidupan akan kembali seperti semula. Tak perlu memakai masker, menjaga jarak, maupun sering-sering mencuci tangan dengan sabun. Namun, pandemi yang tak kunjung usai membawa masyarakat kepada sikap maklum bahwa alih-alih dihindari, normal baru menjadi cara hidup yang mesti dipeluk.
Kebiasaan baru, yang awalnya berurusan dengan kesehatan, menjalar menyentuh perilaku masyarakat secara lebih luas. Kebiasaan dalam normal baru akhirnya terkait dengan berbagai ranah, seperti perilaku bersekolah, bekerja, berbelanja, berinteraksi sosial, pun berkegiatan ekonomi.
Dalam survei berkelanjutan yang dilakukan Litbang Kompas sejak Juni 2020 hingga Oktober 2021, nampak derajat kesiapan dan antusiasme masyarakat dalam menghadapi normal baru mengalami pasang surut. Seiring dengan gelombang pandemi, terjadi perubahan sikap pada berbagai segmen masyarakat. Hal yang cukup logis terjadi, sebab pandemi datang secara tiba-tiba.
Berdasarkan pada kesiapan dan antusiasme masyarakat menghadapi normal baru, setidaknya tercipta tiga segmen, yakni segmen masyarakat yang bersikap optimis, pesimis, dan ambigu.
Empat kali survei yang dilakukan pada tahun 2020, yakni bulan Juni, Agustus, Oktober dan Desember, menunjukkan tren meningkat pada masyarakat yang menujukkan optimisme menyikapi normal baru. Desember 2020 menjadi saat tatkala optimisme masyarakat mencapai titik tertinggi, yakni 43,2 persen. Dalam waktu yang bersamaan, 39,5 persen masyarakat menyatakan pesimis dan 17,3 persen menunjukkan sikap ambigu menghadapi normal baru.
Sayangnya, tren peningkatan optimisme di atas berbalik arah memasuki tahun 2021. Bahkan pada survei bulan Juli 2021, sewaktu Indonesia menghadapi gelombang kedua Covid-19, derajat optimisme masyarakat mencapai titik terendah, yakni 30,3 persen. Sebelumnya, sebanyak 41,8 persen masyarakat menunjukkan posisi optimis pada Februari 2021 dan 36,1 persen pada bulan April 2021.
Untungnya, penurunan ini tidak makin dalam. Optimisme masyarakat menghadapi normal baru kembali berbalik arah. Pada Oktober 2021 tak kurang dari 36,7 persen masyarakat menunjukkan sikap optimis menghadapi normal baru.
Meskipun menjadi modal positif memasuki tahun 2022, namun posisi ini nampaknya masih rentan. Pasalnya, angka tersebut masih di bawah rata-rata derajat optimisme dalam tujuh survei terakhir yang berada pada angka 38,9 persen. Bahkan jika dilihat pada posisi yang berseberangan, masih ada 37 persen persen masyakarat yang menunjukkan sikap pesimis pada survei Oktober 2021 tersebut. Artinya, posisi optimis dan pesimis masih berimbang.
Belum lagi jika dilihat pada posisi ambigu, masih ada 26,2 persen masyarakat yang bersikap ambigu pada survei Oktober 2021 ini. Posisi ambigu ini memang menurun dibandingkan dengan Juli 2021, yakni 30 persen, namun masih mirip dengan periode April 2021. Dalam segmen ambigu terdapat dua jenis kelompok masyarakat. Yang satu menyatakan siap namun tidak antusias sementara yang lain menyatakan tidak siap namun antusias dalam menghadapi normal baru.
Jika ditelusur lebih dalam, maka nampak bahwa kelas ekonomi masyarakat menjadi faktor yang paling memengaruhi derajat kesiapan masyarakat dalam menghadapi normal baru. Dalam survei Oktober 2021 ini, nampak bahwa semakin tinggi kelas ekonomi masyarakat maka semakin tinggi pula sikap optimis yang ditunjukkan. Sebaliknya, sikap pesimis makin tinggi pada masyarakat yang kelas ekonominya rendah.
Ketika dilihat pada masyarakat kelas ekonomi atas, maka derajat optimisme berada pada angka 52,8 persen sementara 33,3 persen menunjukkan sikap pesimis. Sebaliknya, pada masyarakat kelas ekonomi bawah derajat pesimisme berada pada angka 39,7 persen, lebih besar dibandingkan derajat optimisme yang berada di angka 31,5 persen.
Pada kelompok kelas ekonomi menengah bawah, tak kurang dari 37,3 persen menyatakan optimis. Sementara itu, kelas menengah atas menunjukkan sikap optimis sebesar 40,8 persen. Jikalau dipandang dengan kacamata ekonomi, hal ini tentu menjadi fenomena cukup wajar.
Pasalnya, hidup dalam situasi normal baru, yang salah satunya mengedepankan aktivitas daring dan digital dibanding interaksi fisik, selain diperlukan kesiapan mental tentu juga dituntut modal ekonomi yang mencukupi.
Sebagai contoh, bekerja dengan sistem remote atau jarak jauh, lebih memungkinkan untuk dilakukan oleh kelas menengah atas maupun atas. Begitu pun sistem sekolah dengan model pembelajaran jarak jauh, tentunya aktivitas ini lebih mudah bagi masyarakat yang memiliki modal ekonomi yang cukup. Bagi masyarakat kelas ekonomi menengah bawah dan bawah hal ini tentu sulit dilakukan.
Menjadi tidak aneh dalam variabel penjabaran normal baru pada survei ini, kesiapan dan antusiasme lebih cenderung ditunjukkan untuk kegiatan terkait dengan aktivitas di luar dengan memenuhi protokol kesehatan, seperti bepergian, belanja ke pasar, atau ke tempat wisata. Sementara ketika dihadapkan pada situasi belanja online, sistem pembayaran digital dan bekerja dari rumah (WFH) masyarakat menunjukkan sikap tidak siap dan tidak antusias.
Jikalau ingin tetap melakukan kegiatan ekonomi, maka mematuhi protokol kesehatan menjadi pilihan paling memungkinkan bagi masyarakat yang belum mampu memenuhi tuntutan- berperilaku minim interaksi fisik. Dalam situasi seperti ini makin jelas alasan mengapa kelas ekonomi sangat berpengaruh terhadap derajat kesiapan dan antusiasme menghadapi normal baru.
Selain faktor kelas ekonomi, faktor tempat tinggal juga menjadi variabel yang menarik untuk dicermati. Jika dilihat dari tempat tinggalnya, masyarakat perdesaan malah menunjukkan optimisme lebih besar dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di perkotaan.
Sebesar 37,9 persen masyakat perdesaan menyikapi normal baru secara optimis. Sementara itu, hanya 35,7 persen yang menyikapi normal baru secara optimis. Senada dengan itu, dejarat pesimisme masyarakat perkotaan berada di angka 37,8 persen, sementara di masyarakat perdesaan 36,2 persen.
Hasil ini sekilas nampak mengejutkan, sebab justru masyarakat perdesaan yang menunjukkan sikap lebih optimis terhadap normal baru. Namun, jika mengingat kelas ekonomi menjadi faktor yang kuat berpengaruh, maka situasi ini dapat ditafsirkan bahwa masyarakat kelas ekonomi bawah yang tinggal di perkotaanlah yang paling menunjukkan sikap tidak siap dan tidak antusias menghadapi normal baru.
Secara umum, meskipun tren positif derajat optimisme masyarakat dalam menyikapi normal baru masih menyimpan beberapa catatan kritis, situasi ini tetap layak diapresiasi sebagai modal untuk memasuki tahun 2022. Harapannya, di tahun 2022 dejarat optimisme masyarakat dalam menghadapi normal baru terus meningkat. Sebab, hal ini dapat menjadi indikator bahwa masyarakat sudah makin mampu hidup berdampingan dengan pandemi Covid-19.
Dengan demikian, pertanyaan kapan hidup kembali normal seperti sebelum pandemi saat ini nampak makin menjadi utopia. Yang lebih relevan adalah pertanyaan, bagaimana cara untuk terus beradaptasi menyesuaikan diri dengan normal baru. (LITBANG KOMPAS)