Tol Jagorawi: Tonggak Sejarah Jalan Bebas Hambatan
Tol Jagorawi merupakan tol legendaris sebagai penanda awal pembangunan dan pengembangan jalan tol di Indonesia. Jalan bebas hambatan pertama Jagorawi diresmikan Presiden Soeharto pada 9 Maret 1978.
Oleh
Topan Yuniarto
·6 menit baca
KOMPAS/DUDY SUDIBYO
Jalan bebas hambatan Jagorawi diresmikan pada 9 Maret 1978. Beberapa hal masih perlu diperhatikan pengamanannya, seperti kabel listrik bertegangan tinggi di dekat pintu masuk Cililitan yang melintang tanpa pengaman di bawahnya.
Harian Kompas edisi 7 Maret 1978 memaparkan Jalan Tol Jagorawi dibuat untuk pengembangan wilayah Jakarta dan merupakan jalan arteri utama yang bebas dari hambatan. Kondisi jalan lama antara Jakarta dan Bogor sudah sangat padat di samping perkembangan kota Jakarta yang demikian cepat.
Pada saat itu pemerintah menilai volume kendaraan Jakarta-Bogor yang melintasi jalan negara ataupun jalan provinsi melalui Cibinong, Parung, Citeureup, dan Ciawi sudah sangat padat. Ditambah pula volume angkutan truk untuk kebutuhan industri sudah semakin besar.
Panjang tol ruas Jakarta, Bogor, Ciawi (Jagorawi) mencapai 57,9 kilometer yang dibangun secara bertahap. Pembangunan dibagi dalam beberapa tahap, yakni Jakarta-Citeureup sepanjang 27 km dengan empat jalur terpisah, Citeureup-Bogor sepanjang 18,9 km dengan empat jalur terpisah, Bogor-Ciawi sepanjang 5,7 km, dan sisanya 6,3 km dibangun pada tahap berikutnya.
Lintasan Tol Jagorawi pada saat itu sudah memungkinkan kendaraan melaju hingga kecepatan 120 km per jam. Pada saat itu ditentukan peraturan tentang jenis kendaraan yang bisa melalui Tol Jagorawi, yakni kendaraan roda empat yang mampu melaju dengan kecepatan di tol 60-120 km per jam. Selama melintas di tol, kendaraan diwajibkan melaju di lajur kiri, sementara lajur kanan hanya untuk mendahului.
Kendaraan yang dilarang melintas adalah kendaraan seperti truk kontainer dengan tekanan maksimum lebih dari 20 ton, tinggi kendaraan lebih dari 4,5 meter, dan panjang truk lebih dari 18 meter. Pelarangan ini diberlakukan sebagai standar keselamatan berkendara di ruas Tol Jagorawi.
Operasional awal
Proyek jalan bebas hambatan Jagorawi awal mulanya dimulai pada 1963. Proses pengerjaan proyek pada 1974-1978. Tenaga yang terlibat dalam proyek tol ini di antaranya 87 orang tenaga Indonesia dari Bina Marga sebagai pengendali, 129 pengawas pekerjaan dari Indonesia, dan 7 orang pengawas pekerjaan dari Amerika Serikat. Pelaksana pekerjaan dilakukan oleh 2.711 pekerja dari Indonesia dan 172 pelaksana pekerjaan dari Korea.
Pada saat itu, biaya pembangunan sebesar Rp 27,6 miliar dan diperkirakan akan kembali modal selama tujuh tahun dari tarif tol yang dikenakan pada setiap kendaraan yang masuk tol.
Biaya tol yang diterapkan pada 1978 untuk setiap kendaraan yang masuk dibedakan menjadi dua kriteria, yakni untuk kendaraan jenis sedan, jip, dan pikap sebesar Rp 600 dan untuk kategori truk, bus, dan tangki sebesar Rp 900. Namun, selama uji coba periode 1-9 Maret 1978 dikenai tarif separuh harga, yakni Rp 300 dan Rp 500.
Pada saat bersamaan, pemerintah membentuk PT Jasa Marga pada 1 Maret 1978 yang tugasnya memelihara jalan tol dan melakukan pungutan terhadap kendaraan yang masuk tol. Meskipun operasional pemeliharaan Jalan Tol Jagorawi dilakukan PT Jasa Marga, kepemilikan jalan tol masih milik pemerintah.
Sebagai bentuk pelayanan, PT Jasa Marga melakukan patroli selama 24 jam. Jika terdapat kendaraan yang mogok, disediakan jalur khusus di tepi tol untuk memperbaiki sementara. Jika setelah dilakukan perbaikan lebih dari satu jam dan masih mogok, kendaraan akan diderek dan dikenai biaya derek.
Setiap mobil PT Jasa Marga yang berpatroli melakukan pengecekan kondisi jalan dan memonitor keamanan ruas tol. Jika terdapat ruas jalan rusak, PT Jasa Marga akan segera memperbaiki untuk menjamin keselamatan pengendara melintas di ruas tol. Setiap mobil patroli dilengkapi dengan radio komunikasi yang terhubung dengan mobil derek, ambulans, dan pemadam kebakaran.
Perencanaan awal
Perencanaan awal proyek Tol Jagorawi yang dimulai sejak 1963 ini baru mulai dibangun pada Oktober 1974. Pembangunan ini melibatkan konsultan dari Amerika Serikat dan kontraktor pelaksananya adalah Hyundai Construction Co dari Korea. Sementara konsultan supervisi adalah perusahaan Amman-Whitney and Trans Engineering Corp dari Amerika Serikat.
Alasan pembangunan Tol Jagorawi, menurut Presiden Soeharto, untuk menggerakkan perekonomian di kawasan Jakarta dan kabupaten atau kota di sekitarnya (Kompas, 10/3/1978). Setelah proyek Tol Jagorawi tuntas, pemerintah mengembangkan lagi jalur tol lebih panjang, yakni Jakarta-Cikampek dan Jakarta-Tangerang.
Seperti diketahui, kawasan Cikampek merupakan kawasan industri sejak 1970-an, sementara kebutuhan tol Jakarta-Tangerang untuk menghubungkan ke Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten, dan pengembangan ruas tol menuju Pelabuhan Merak. Setiap ruas tol dihubungkan dengan jalur keluar tol yang menghubungkan kawasan sekitar tol melalui jalan provinsi dan jalan kabupaten atau kota.
Pada awalnya, pembangunan Jalan Tol Jagorawi akan ditanggung bantuan Pemerintah AS sebesar 70 persen dan Pemerintah Indonesia sebesar 30 persen. Namun, dalam perkembangannya berubah menjadi 60 persen Pemerintah Indonesia dan 40 persen dari AS.
Hal ini akibat terjadinya perubahan-perubahan harga di lapangan. Total biaya pembangunan Tol Jagorawi pada saat itu Rp 27,6 miliar. Tajuk Rencana harian Kompas (10/3/1978) mengutip pernyataan Menteri Pekerjaan Umum Ir Sutami yang menyebutkan, jika dihitung, biaya per kilometer pembangunan Tol Jagorawi sebesar Rp 575 juta.
KOMPAS/MARKUS DUAN ALLO
Dirjen Bina Marga Ir Poernomosidi dan sejumlah pejabat Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik serta Menteri Pekerjaan Umum Korea Selatan Kim Jae-kyu, Selasa 20 April 1976 pagi, meninjau jalan raya Jagorawi yang sedang dibangun. Jalan dibangun oleh kontraktor Hyundai dari Korea Selatan yang penandatanganan kontraknya dilakukan pada Desember 1973.
Sebelumnya, pada 9 Januari 1969, Menteri Pekerjaan Umum Ir Sutami secara resmi mengajukan usulan kepada Presiden Soeharto perihal rencana pembangunan Tol Jagorawi. Proyek ini tidak dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) oleh Soeharto. Pembiayaan pembangunan dengan pinjaman dari luar negeri dan sebagian dari dalam negeri. Target awalnya, dalam jangka waktu 20 tahun akan kembali modal dari pendapatan tarif pengguna tol.
Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat pada 20 Agustus 1970 menandatangani persetujuan pinjaman sebesar 800.000 dollar AS yang digunakan untuk pembiayaan jasa konsultasi ahli dalam pembuatan denah untuk rencana pembangunan Tol Jagorawi.
Kepala Direktorat Eksplorasi, Survei, dan Perencanaan Bina Marga S Tenkean menjelaskan, urgensi pembangunan Tol Jagorawi karena jalan raya Jakarta-Bogor volumenya sudah sangat tinggi yang berimbas pada kemacetan.
Penelitian Ditjen Bina Marga menyebutkan, pada 1969 jumlah kendaraan yang melewati jalan raya Jakarta-Bogor mencapai 8.400 unit. Diperkirakan pada 1971 jumlah kendaraan yang melintas akan meningkat hingga 17.200 unit. Pada 1980, Bina Marga memperkirakan jumlah kendaraan sebanyak 50.500 mobil pribadi.
Trans-Jawa
Istilah jalan Trans-Jawa muncul dalam arsip berita Kompas edisi 24 Januari 1972. Karena jalan raya Jakarta-Cirebon sering dilanda banjir, pemerintah merencanakan pembangunan jalan Trans-Jawa. Pada saat itu Trans-Jawa direncanakan menghubungkan Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya. Jalan ini juga terhubung dengan Tol Jagorawi.
Sebelum tol Trans-Jawa terhubung seperti saat ini, sebelumnya telah ada beberapa ruas yang membentang, seperti Tol Palimanan-Kanci sepanjang 26 km dan Tol Kanci-Pejagan sepanjang 35 km menghubungkan daerah Cirebon di Jawa Barat dengan Pejagan di Jawa Tengah. Selain itu terdapat pula Tol Semarang ruas Tembalang-Ungaran (16,3 km) dan Ungaran-Bawen (11,3 km).
Kini, tol Trans-Jawa telah menghubungkan Jakarta ke Surabaya melalui Semarang dan Surakarta. Tidak hanya di Jawa, pembangunan tol juga telah dilakukan di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Keberadaan jalan tol secara nasional sudah menjadi kebutuhan untuk mempercepat proses pembangunan dan menggerakkan roda perekonomian. (LITBANG KOMPAS)