Mungkinkah Elektabilitas Anies Baswedan Melejit di Tahun 2022?
Upaya Anies Baswedan meningkatkan elektabilitas menghadapi tantangan dari besarnya proporsi resistensi publik terhadap dirinya. Namun, perluasan basis dukungan tetap potensial terjadi pada 2022.
Tahun 2021 tampaknya belum juga menjadi tahun yang ideal bagi Anies Baswedan dalam membuktikan sekaligus mengukuhkan kualitas ketokohannya di mata publik. Dikatakan demikian lantaran sepanjang tahun ini nyaris tidak tampak penambahan dukungan publik yang signifikan kepadanya.
Jika mengacu pada survei Litbang Kompas yang dilakukan secara periodik, sepanjang tahun 2021 elektabilitas Anies sebagai presiden pilihan publik tampak stagnan. Sejak survei periode Januari hingga Oktober 2021, hanya terpaku pada proporsi 9-10 persen.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Begitu pula jika dirunut lebih ke belakang. Sejak survei tahun 2019 dan 2020, elektabilitas Anies sebesar 8,5 persen. Artinya, sekalipun terjadi sedikit perubahan, itu masih tidak signifikan. Tidak terjadi lonjakan dukungan ataupun sebaliknya penurunan dukungan.
Stagnasi dukungan publik semacam itu cukup problematik. Pasalnya, empat tahun menjadi Gubernur DKI Jakarta, posisi paling potensial dalam meninggikan ketokohan seseorang, nyatanya tidak banyak mendongkrak dukungan.
Idealnya, bagi seorang pemimpin yang populer, semakin lama memegang kekuasaan, semakin berlimpah akreditasi ataupun dukungan yang ia gapai. Bersandar pada capaian semacam itu, setidaknya dalam kurun waktu kekuasaan yang sudah ia jalani, peningkatan derajat keterpilihan dan dukungan publik terhadap Anies sudah berlipat ganda.
Menjadi persoalan mengapa tidak terjadi lonjakan dukungan publik?
Berdasarkan pencermatan terhadap hasil survei di mata publik, sosok Anies tampaknya masih terjebak pada citra diri yang melekat kepadanya. Ia telanjur lebih banyak dipersepsikan publik sebagai pemimpin yang bersifat eksklusif.
Sayangnya, citra eksklusivitas yang terbangun di benak masyarakat itu dalam praktiknya cenderung memilah publik secara diametral, dalam kelompok-kelompok masyarakat yang sarat dengan prasangka beraroma identitas sosial. Semua ini tentu saja tidak lepas dari pertentangan yang terbangun semenjak Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu yang menobatkan dirinya sebagai gubernur.
Itulah mengapa, setiap hasil survei opini publik yang mengaitkan keberadaan sosoknya, termasuk dalam mengukur peluang kepresidenannya, kerap memilah publik antara yang kelompok mendukung dan menolak sosoknya.
Tidak terkecuali hasil survei kali ini yang merekam derajat elektabilitas Anies. Berdasarkan hasil survei Oktober 2021, misalnya, selain menjadi rujukan 9,6 persen responden sebagai presiden pilihan mereka, Anies juga ditolak oleh sebesar 7,2 persen responden yang tidak menginginkannya sebagai presiden.
Besarnya proporsi penolakan terhadap Anies menjadi suatu bentuk resistensi politik yang terbilang signifikan. Bahkan, di antara para calon presiden yang belakangan ini menjadi rujukan publik menjadi yang terbesar.
Tidak heran, dengan penolakan sebesar itu, segenap kebijakan yang Anies tampilkan dalam masa kepemimpinannya tidak akan terlepas dari resistensi publik. Belum usai dengan kritik kebijakan penyelenggaraan Formula E pada tahun 2022, misalnya, kini kebijakannya dalam pembuatan sumur resapan dipersoalkan.
Besaran penolakan kepada dirinya jelas menjadi salah satu penghambat dari upaya memperluas dukungan. Setidaknya, potensi peningkatan dukungan menjadi terbatasi lantaran terhalangi oleh keberadaan para penolaknya.
Pengalaman menunjukkan, hambatan kondisi semacam ini pula yang potensial terjadi kepada para tokoh yang selama ini dikenal memiliki resistensi publik. Hasil survei sejenis yang dilakukan pada periode waktu jelang Pemilu 2004, 2009, dan 2014, misalnya, menunjukkan besaran elektabilitas tokoh kerap kali terhambat laju peningkatannya jika saat yang bersamaan tokoh tersebut memiliki potensi penolakan publik yang besar.
Pada Pemilu 2004, sekalipun Megawati Soekarnoputri kala itu masih sebagai presiden, misalnya, tetap saja ia tidak mampu memperpanjang masa kepresidenannya lantaran keterbatasan dukungan yang dihimpun. Saat yang sama, hasil survei menunjukkan, selain elektabilitas yang tinggi, sosok Megawati pun mendapatkan penolakan yang juga tinggi. Inilah pangkal penyebab terhambatnya laju peningkatan dukungan publik sekalipun saat itu ia memilih berpasangan dengan ketua umum Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Muzadi.
Padahal, berkebalikan dengan calon presiden yang dihadapi, Susilo Bambang Yudhoyono justru memiliki modal yang lengkap. Di samping elektabilitasnya terbilang tinggi, ia pun memiliki derajat penolakan publik yang rendah.
Begitu pula pada kesempatan Pemilu 2009, saat berpasangan dengan Prabowo Subianto, ia tidak mampu memperkecil derajat penolakan sebagian masyarakat. Bahkan, berdasarkan hasil survei jelang Pemilu 2014 pun, besaran publik yang menolak relatif lebih besar ketimbang yang menginginkannya kembali sebagai pemimpin negeri.
Pengalaman lain menunjukkan, tokoh dengan resistensi politik yang kecil dapat berlenggang dalam pengumpulan dukungan publik. Presiden Joko Widodo, misalnya, semenjak kiprah politiknya dimulai sebagai Wali Kota Solo dan berlanjut sebagai Gubenur DKI, resistensi publik relatif kecil. Kondisi semacam itu pula yang membuatnya lebih leluasa melangkah menuju persaingan kursi kepresidenan.
Dihadapkan pada kondisi semacam ini, apakah peluang Anies dalam meluaskan dukungan di tahun 2022 mendatang terbuka lebar?
Dengan hanya bersandar pada hasil survei yang memetakan karakteristik pendukung serta pergerakannya, perluasan basis dukungan tetap potensial terjadi. Namun, pada level strategi perluasan dukungan, Anies dihadapkan pada dua pilihan yang serba dilematis.
Pertama, upaya meluaskan dukungan pada basis massa yang selama ini bukan menjadi kaum pendukung loyalnya. Perluasan potensial terjadi sejalan dengan penanggalan citra sebelumnya dan beralih menjadi sosok yang lebih inklusif.
Sebenarnya, hasil survei terakhir telah menunjukkan indikasi ke arah pilihan inklusivitas. Jika sebelumnya konsentrasi para pendukung Anies terbatasi pada karakteristik sosio demografis ataupun latar belakang politik yang khas, kini meluruh.
Apabila sebelumnya pendukung Anies terbanyak justru di luar Jawa, seperti Aceh, Sumatera Barat, Riau, Lampung, dan sebagian Jawa Barat, kini perimbangan dukungan mulai mendekati proporsi nasional. Konsentrasi terbesar di Jawa Barat.
Begitu pula terhadap identitas sosial, seperti keagamaan. Sejauh ini para pemilih Anies memang masih terkonsentrasi pada kalangan Islam. Dukungan dari responden yang mengaku beragama selain Islam terbilang minim. Namun, jika dicermati pada survei terakhir terjadi tambahan pemilih Anies yang berlatar dari non-Islam.
Terkait dengan orientasi politik, jika sebelumnya barisan pendukung Anies cenderung oposan terhadap pemerintahan Presiden Jokowi, pada survei terakhir agak meluruh.
Perubahan menjadi semakin inklusif dapat saja potensial memperluas peluang peningkatan dukungan terhadap Anies kelak. Bagaimanapun, menjadi semakin proporsional dengan karakterisktik demografis, sosial, ekonomi, ataupun politik masyarakat, menjadi semakin luas potensi dukungan yang ia dapat kuasai.
Akan tetapi, dalam pilihan strategi politik tersebut, sisi sebaliknya potensial terjadi pula. Pilihan semacam itu potensial pula menenggelamkan harapan-harapan yang selama ini dibangun oleh para pendukung loyalnya. Artinya, risiko berkurangnya pendukung loyal tidak terhindarkan.
Kedua, meluaskan dukungan pada kalangan yang memang menjadi basis pendukungnya selama ini. Pilihan strategi semacam ini didasarkan pada asumsi masih besarnya kalangan beridentitas sosial sejenis yang belum mendukung Anies. Sekalipun penolakan dari kalangan yang berseberangan tetap terbangun, tidak menjadi masalah krusial sepanjang kalangan beridentitas sosial sejenis bersatu padu dalam dukungan yang sama.
Baca juga : Anies Menghitung Waktu
Dengan strategi demikian, strong voter tetap terjaga. Di samping itu, upaya perluasan dukungan dari para swing voter, kendati terbatasi hanya pada karakteristik pendukung yang sejenis, potensial bertambah.
Pengalaman menunjukkan, strategi semacam ini terbilang manjur dalam meningkatkan dukungan, terlebih jika pilihan tokoh yang tersedia terbatasi hanya pada dua tokoh yang berseberangan. Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, strategi demikian mendapatkan legitimasi kesuksesan. Hanya saja, apakah strategi kesuksesan semacam itu menjadi jaminan? (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Politik Tikungan Terakhir Anies Baswedan