Menyoal Kewajiban Karantina Kesehatan
Pelanggaran karantina kesehatan yang dilakukan figur publik seusai melawat ke luar negeri menjadi catatan penting bagi pembenahan prosedur dan komitmen penegakan aturan penanganan Covid-19.
Kasus pelanggaran karantina kesehatan oleh figur publik seusai melawat ke luar negeri menjadi catatan penting bagi pembenahan prosedur dan komitmen penegakan aturan penanganan Covid-19.
Ketegasan dalam menegakkan aturan secara transparan dan adil menjadi hal mutlak untuk diwujudkan guna terus menjaga kedisiplinan publik sebagai bagian dari tanggung jawab bersama melawan pandemi.
Kasus pelanggaran kekarantinaan oleh selebritas Instagram (selebgram), Rachel Vennya, terjadi pada Oktober lalu. Ketika itu, Rachel bersama dua rekannya diharuskan menjalani karantina seusai melakukan perjalanan ke Amerika Serikat.
Rachel dan rekan melakukan karantina di Wisma Atlet Pademangan, Jakarta Utara. Semestinya, wajib karantina tersebut dilakukan selama delapan hari. Namun, selang tiga hari dalam masa karantina, Rachel justru dapat keluar dari wisma atlet dan diketahui bepergian ke Pulau Bali.
Kabar itu menguat dengan adanya bukti unggahan foto Rachel sedang berada di Bali dan kemudian viral di sosial media. Tentu, hal tersebut menjadi pertanyaan besar yang muncul di tengah publik.
Bagaimana bisa selebgram itu dapat melenggang keluar dari tempat karantina, Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet Pademangan, yang notabene memiliki petugas dan penjagaan ketat. Lalu dalam karantina itu pula Rachel bahkan dapat melakukan perjalanan ke luar kota.
Belakangan diketahui, Rachel memang dengan sengaja melarikan diri dari tempat karantina karena alasan ingin bertemu keluarga. Di persidangan, ia mengaku telah memberikan uang senilai Rp 40 juta kepada Satgas Penanganan Covid-19 untuk bisa menyudahi masa karantina jauh lebih awal.
Rachel dan temannya dinyatakan bersalah oleh hakim Pengadilan Tinggi Negeri Tangerang, Jumat (10/12/2021). Meski demikian, mereka bebas dari hukuman penjara dan hanya perlu dipantau selama delapan bulan ke depan. Putusan tersebut diambil hakim karena yang bersangkutan dinilai sangat kooperatif dan sopan selama menjalani proses hukum.
Belum reda dengan kasus pelarian Rachel dari wajib karantina, sorotan mengenai isu serupa kembali menyeruak setelah keluarga artis yang juga anggota DPR, Mulan Jameela, diduga melanggar aturan tersebut sepulang dari perjalanan ke Turki.
Kabar itu beredar masif di media sosial Twitter dengan banyak tanggapan dari warganet mengenai para anggota keluarga Mulan yang ikut dalam perjalanan ke luar negeri telah melakukan banyak aktivitas keseharian di luar rumah sesaat tiba di Jakarta. Padahal, semestinya dalam jangka waktu tersebut, mereka masih wajib melakukan karantina kesehatan.
Meskipun demikian, kabar pelanggaran karantina tersebut telah dibantah oleh kuasa hukum keluarga Mulan. Pihak Kepolisian Daerah Metro Jaya pun secara resmi telah membuat pernyataan bahwa tidak ada pelanggaran prosedur yang dilakukan Mulan; suaminya, Ahmad Dhani; serta anggota keluarga yang ikut pergi ke luar negeri.
Kepolisian dalam keterangannya juga menjelaskan bahwa yang bersangkutan melaksanakan karantina kesehatan secara mandiri di kediamannya. Konfirmasi yang diberikan oleh Satgas Penanganan Covid-19 pun menjelaskan bahwa sebagai pejabat negara, anggota DPR tidak harus melakukan karantina di RSDC Wisma Atlet.
Baca juga : Antre 8-9 Jam demi Dapatkan Fasilitas Karantina Pemerintah
Keadilan publik
Sebagaimana yang diatur dalam Surat Edaran (SE) Satgas Nomor 25 Tahun 2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional pada Masa Pandemi Covid-19 yang mengatur kewajiban karantina bagi WNI dan WNA dari luar negeri, terdapat diskresi yang diperuntukkan bagi pejabat publik untuk melakukan karantina secara mandiri selepas melakukan perjalanan ke luar negeri.
Satgas Penanganan Covid-19 menjelaskan bahwa hal tersebut dilakukan dengan sangat terbatas dan selektif guna memastikan kepentingan pelayanan masyarakat tetap berjalan optimal.
Sesaat setelah polemik karantina anggota DPR, Mulan Jameela, tersebut mencuat ke permukaan, Satgas Penanganan Covid-10 secara terinci pun kembali menguraikan kepada khalayak ketentuan pengecualian karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri.
Setidaknya ada tujuh kategorisasi WNI ataupun WNA yang dimaksud mendapatkan diskresi karantina, di antaranya pemegang visa diplomatik dan dinas, pejabat asing setingkat menteri dan rombongan, delegasi G-20, serta disebutkan bagi mereka yang termasuk orang terpandang dan terhormat.
Berkaitan dengan aturan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil, yang terdiri atas gabungan beberapa organisasi masyarakat, mendesak agar kebijakan dispensasi karantina bagi pejabat dicabut. Aturan tersebut dinilai hanya akan memberikan celah untuk penyebaran varian baru Omicron, terlebih pada momentum liburan akhir tahun.
Polemik kekarantinaan kesehatan, baik dalam persoalan Rachel Vennya maupun Mulan Jameela, tersebut tentulah kembali memunculkan potret jelas komitmen penegakan aturan penanganan Covid-19 yang masih buruk.
Ketidaktegasan dalam memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran aturan kekarantinaan hingga tarik ulur perubahan aturan membuat rasa keadilan publik tercederai.
Dalam hal penindakan kasus pelanggaran wajib karantina hingga temuan kasus suap yang jelas masuk dalam ranah tindak pidana, seharusnya penegakan hukum dapat dijalankan dengan sangat tegas agar memberikan efek jera.
Dalam hal penindakan kasus pelanggaran wajib karantina hingga temuan kasus suap yang jelas masuk dalam ranah tindak pidana, seharusnya penegakan hukum dapat dijalankan dengan sangat tegas agar memberikan efek jera.
Terlebih jika oknum yang bersangkutan merupakan figur publik dengan banyak pengikut. Segala bentuk pelanggaran dan ketidaktegasan dalam menegakkan aturan hanya akan menjadi preseden buruk yang memperkeruh keyakinan dan rasa keadilan publik untuk patuh pada kebijakan kekarantinaan ataupun kebijakan penanggulangan Covid-19 lainnya.
Rentetan polemik yang melibatkan para orang terkenal itu juga terjadi di tengah masih buruknya sistem penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, khususnya bagi warga negara umum yang juga selesai bepergian dari luar negeri.
Terkait dengan itu, belum lama ini bermunculan pula protes publik terkait harga paket hotel untuk karantina yang mahal, bahkan dengan kualitas pelayanan penginapan tak sebanding dengan harga tinggi yang dikeluarkan.
Baca juga : Dispensasi Karantina Bahayakan Keselamatan Publik
Penegakan aturan
Ketentuan wajib karantina bagi pelaku perjalanan internasional sebetulnya tak akan memberatkan, tentunya dengan pelaksanaan yang juga sesuai koridor regulasi dan berlandaskan pada kepentingan bersama, yaitu memutus rantai penyebaran Covid-19.
Kerelaan publik untuk mengikuti aturan wajib karantina sebaiknya perlu dimaknai sebagai bagian dari tanggung jawab bersama dalam menekan angka penyebaran Covid-19.
Di Indonesia, aturan wajib karantina berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 9 UU tersebut menyebutkan bahwa setiap orang wajib mematuhi dan ikut serta dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
Selain secara tegas mengundangkan kewajiban untuk mematuhi kekarantinaan, UU tersebut juga mengatur sanksi bagi para pelanggar yang enggan mengikuti ketentuan.
Setidaknya orang yang terbukti tidak mematuhi ataupun menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan dapat dikenai pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau denda maksimal Rp 100 juta.
Jika memang demikian, tak ada alasan sebetulnya untuk meringankan sanksi bagi para pelanggar yang terbukti tidak taat mengikuti prosedur berlaku. Ketidaktegasan ini hanya akan menjadi preseden buruk dalam membangun kepatuhan pada aturan dan disiplin masyarakat terhadap prosedur kesehatan penanganan pandemi yang harus ditaati.
Ketidaktegasan ini hanya akan menjadi preseden buruk dalam membangun kepatuhan pada aturan dan disiplin masyarakat terhadap prosedur kesehatan penanganan pandemi yang harus ditaati.
Terlebih pada momentum libur akhir tahun saat ini, upaya pengetatan aturan bagi pelaku perjalanan luar negeri menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan.
Ancaman varian baru Omicron yang telah masuk ke Indonesia belum lama ini menjadi rambu pengingat untuk terus meningkatkan kewaspadaan, termasuk dengan memperbaiki sistem penanggulangan di pintu masuk negara bagi para pelaku perjalanan internasional.
Melalui SE satgas terbaru no 25/2021 yang telah diterbitkan, sejumlah langkah antisipatif diperketat terhadap pelaku perjalanan internasional yang berpotensi membawa varian baru Covid-19. Upaya itu, antara lain, berupa pengetatan persyaratan tes PCR saat kedatangan hingga aturan karantina dalam waktu 10 hari.
Termasuk pula ketentuan yang lebih menjelaskan prosedur kewajiban melakukan karantina hingga lokasi penempatan diatur dengan lebih detail agar tak menimbulkan kebingungan dan polemik.
Bahkan, bagi WNA ataupun WNI yang melakukan perjalanan dari negara-negara yang rentan penyebaran varian Omicron, seperti Afrika Selatan, Botswana, Hong Kong, dan Angola, aturan wajib karantina ditambah menjadi 14 hari.
Pada akhirnya, berbagai aturan yang dibuat dalam upaya penanggulangan Covid-19 perlu ditegakkan dengan penuh komitmen yang tentunya mengedepankan prinsip keadilan bagi masyarakat luas.
Dengan begitu, diharapkan tak muncul lagi pelanggaran disiplin kesehatan dan masyarakat dapat lebih sadar serta bertanggung jawab dalam menekan penyebaran Covid-19. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : WNI Pelaku Perjalanan Luar Negeri Jalani Karantina di Rusun Pasar Rumput