Hidup di Antara Ancaman dan Berkah Erupsi Semeru
Hidup berdampingan dengan gunung api tidaklah mudah. Di satu sisi, ancaman erupsi bisa sangat berbahaya hingga merenggut nyawa. Di sisi lain, ini menjadi berkah bagi penghidupan warga di kemudian hari.
Kewaspadaan setiap saat adalah harga yang harus dibayar masyarakat sekitar lereng Semeru. Meskipun tidak mudah hidup berdampingan dengan gunung api, keberkahan sumber daya alam yang diberikan Semeru membuat warga bertahan.
Bagi siapa pun yang tinggal di lereng gunung api, kewaspadaan terhadap erupsi menjadi suatu kewajiban. Akan tetapi, berbeda ceritanya jika tidak ada tanda-tanda atau peringatan akan erupsi tersebut.
Sabtu (4/12/2021), warga yang tinggal di sekitar Gunung Semeru dikagetkan dengan erupsi besar secara tiba-tiba yang meluluhlantakkan beberapa desa. Tanpa persiapan apa pun, warga yang melihat bumbungan awan dan abu pekat dari Semeru turun menuju permukiman langsung berusaha mengevakuasi diri dan keluarganya. Dengan bermodalkan kendaraan pribadi seperti motor atau truk, warga berusaha menjauh dari kejaran awan panas Semeru.
Setidaknya 10 kecamatan dan 17 desa terdampak erupsi. Yang terdampak paling parah, di antaranya, desa Pronojiwo, Oro-oro Ombo, Sumberurip, dan Supiturang di Kecamatan Pronojiwo dan desa Sumberwuluh serta Sumburmujur di Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Hingga Selasa (7/12/2021), tercatat 5.205 rumah terdampak. Sebanyak 34 orang tewas, 22 orang hilang, dan 22 orang luka berat. Sebanyak 4.250 orang mengungsi di sejumlah pengungsian yang tersebar di kecamatan Pronojiwo, Candipuro, Pasirian, Lumajang, Tempeh, Sumberseko, Sukodono, dan Yosowilangun.
Menurut warga, erupsi kali ini berbeda dibandingkan erupsi pada tahun-tahun sebelumnya. Misalnya pada Desember 2020-Januari 2021, erupsi yang menimbulkan awan panas ke arah Besuk Kobokan, Sumber Mujur, dan Curah Kobokan tidak menimbulkan dampak sebesar erupsi 4 Desember 2021. Meskipun sempat mengungsi, warga masih bisa kembali ke rumah dan berladang.
Kondisinya berbeda dengan sekarang. Sejumlah warga mengaku tidak mendapat informasi peringatan dini tentang tanda-tanda erupsi Semeru. Warga hanya mengandalkan informasi dari pesan-pesan dari penambang pasir atau warga lain yang kemudian diteruskan antargrup di aplikasi Whatsapp. Akibatnya, tidak ada persiapan khusus untuk mengungsi.
Berdasarkan keterangan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) pada media sosial Twitter @PVMBG_, peringatan dini telah diinfokan melalui grup Whatsapp yang terdiri dari unsur masyarakat, pemerintah daerah, BPBD, sukarelawan dan instansi lainnya. Namun, tidak setiap warga mengetahui adanya informasi tersebut.
Peringatan dini
Informasi peringatan dini dalam manajemen kebencanaan sangat penting untuk mengurangi risiko bencana. Hal ini juga berlaku bagi masyarakat yang rentan terhadap bencana seperti warga di lereng Semeru.
Warga lereng Semeru memang sudah terbiasa melihat, mendengar dan merasakan gemuruh, serta gempa dan erupsi. Gunung Semeru memang kerap erupsi. PVMBG mencatat setiap hari terjadi rata-rata 25 kejadian letusan atau erupsi. Karena itu, Gunung Semeru ditetapkan pada Level II (Waspada) sejak Mei 2012.
Mengingat sering terjadinya letusan, warga kesulitan untuk menafsirkan tanda erupsi yang berbahaya. Tidak ada kejelasan kapan dan bagaimana aktivitas Semeru yang biasa dilihat dan dirasakan warga itu dinyatakan berbahaya. Kondisi ini membuat warga sering kali terlambat menyelamatkan diri, keluarga, dan harta bendanya. Nyawa pun jadi taruhannya.
Bukan satu dua kali saja informasi peringatan dini tidak tersampaikan kepada warga. Berdasarkan arsip Kompas, kondisi yang sama terjadi pada 1994.
Saat itu, tepatnya pada 3 Februari 1994, Gunung Semeru menyemburkan guguran lava disertai awan panas. Dukuh Sumbersari di Kecamatan Pronojiwo terlanda awan panas dan menyebabkan tiga penduduknya tewas. Dalam beberapa hari setelahnya, Semeru masih terus mengeluarkan lahar (Kompas, 4/2/1994).
Sebelumnya Pos Vulkanologi Gunung Sawur sebenarnya telah mencatat meningkatnya aktivitas Gunung Semeru dalam tiga minggu terakhir. Akan tetapi, warga tidak pernah mendapatkan informasi peringatan dini.
Mitos-mitos yang diyakini warga malah menyelamatkan mereka. Salah satunya diceritakan seorang warga Dusun Sumbersari yang mendapatkan informasi dari Mbah Nyai Sedet Siti Sundari Tunggul Sejati, nama yang dipercayai sebagai penjaga kaki Gunung Semeru. Pada suatu waktu, ia mendapatkan wangsit tentang kemungkinan erupsi Semeru yang tidak tahu kapan akan terjadi (Kompas, 12/2/1994).
Pada waktu yang berdekatan, warga lain juga merasa cemas akan kemungkinan terjadinya erupsi besar. Hal ini karena sudah lama Semeru tidak menyemburkan lahar yang menjadi kebiasaannya. Menurut warga, hal itu menandakan bahwa pada saatnya Semeru akan meletus.
Sumber penghidupan
Sikap waspada dan siap terhadap ancaman bahaya erupsi yang bisa kapan saja terjadi sudah menjadi bagian hidup warga Semeru dan gunung api lainnya. Ini menjadi kenyataan yang tidak dapat terelakan jika memilih tetap tinggal di lereng dan kaki Semeru.
Setidaknya pada 2020, sebanyak 364,2 ribu jiwa atau 32,5 persen total penduduk Kabupaten Lumajang menetap di Kawasan Rawan Bencana Semeru. Mereka tersebar di enam kecamatan, yakni Pronojiwo, Tempeh, Pasrujambe, Tempursari, Candipuro, dan Pasirian.
Meski tinggal di kawasan rawan bencana secara turun-temurun, berkah alam dari Semeru cukup membuat masyarakat tetap bertahan. Tersedianya tanah pertanian yang subur karena material vulkanis dan tambang pasir dan batuan yang melimpah menjadi penghidupan sehari-hari masyarakat sekitar gunung api.
Kegiatan pertanian selama ini menjadi kontributor terbesar di Lumajang dan turut menggerakkan kegiatan lainnya seperti industri pengolahan dan perdagangan. Postur PDRB 2020 menunjukkan sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar dalam perekonomian Lumajang, yaitu 35,29 persen. Tulang punggung sektor pertanian tersebut juga sudah terlihat sejak 2000 silam.
Di Kecamatan Pronojiwo, masyarakat mengandalkan pertanian, perkebunan, dan peternakan sebagai sumber penghidupan. BPS Kabupaten Lumajang mencatat luas panen tanaman padi dan palawija di Kecamatan Pronojiwo pada 2020 mencapai 1.942 hektar. Luas panen terbesar adalah komoditas padi sawah, yaitu sebesar 1.517 hektar atau 78 persen dari total luas panen.
Pola tanam serupa juga dilakukan masyarakat Kecamatan Candipuro. Luas panen tanaman pangan di Kecamatan Candipuro 10.087 hektar. Persentase terbesar luas panen adalah padi sawah, yaitu 90 persen dari keseluruhan luas panen. Selain bercocok tanam, penduduk Candipuro dan Pronojiwo juga memelihara ternak, seperti ayam, kambing, dan sapi.
Baca juga : Melihat Gunung Semeru Erupsi Kembali
Selain pertanian, ada pula warga yang menggantungkan hidup dari material Semeru, seperti komoditas pasir, batu, dan kerikil. Produk pasir bangunan dari Lumajang sudah lama dikenal di Jawa Timur karena kualitasnya.
Tak jarang melimpahnya material vulkanik ini mendorong masyarakat sekitar gunung api untuk beralih mata pencarian. Contohnya masyarakat di sekitar Kali Putih, Kabupaten Magelang, yang mendapat keberkahan dari banjir lahar erupsi Merapi 2010.
Penelitian berjudul ”Evaluasi Pendapatan Masyarakat Pascabanjir Lahar di Kali Putih Kabupaten Magelang” menyebutkan, masyarakat yang awalnya bekerja sebagai petani, buruh tani, buruh serabutan dan buruh pasir mengubah profesi mereka menjadi penambang pasir, batu dan kerikil. Pendapatan yang lebih besar hingga dua kali lipat ketika menjadi penambang pasir/batu/kerikil dibanding profesi sebelumnya menjadi alasannya.
Serupa dengan masyarakat yang tinggal di lereng gunung api lainnya seperti Merapi, warga sekitar Semeru sangat menggantungkan kehidupan mereka kepada apa saja yang disediakan oleh Semeru. Apalagi menurut Warsito (1995) dalam buku Modal Sosial dalam Manajemen Bencana, masyarakat Jawa memahami interaksi kuat antara mereka dan lingkungan alam, termasuk gunung api.
Masyarakat Jawa beranggapan bahwa mereka membutuhkan keberadaan alam, termasuk sumber daya yang tersedia di dalamnya. Alam menjadi tempat untuk ditinggali dan dimanfaatkan demi kelangsungan hidup. Ikatan yang terjalin inilah yang membuat mereka sulit meninggalkan wilayah itu.
Kendati demikian, bukan berarti mereka tutup mata dengan segala risiko yang mengancam saat erupsi terjadi. Mereka yang sudah turun-temurun menetap di lereng dan kaki Semeru sudah paham bahwa ada saatnya Sang Mahagiri akan meletus.
Hanya saja pemahaman dan pengalaman itu belum cukup untuk membangun modal mitigasi bencana yang sistematis. Dibutuhkan skema yang lebih terstruktur, mulai dari penyebaran informasi peringatan dini hingga alur pengungsian dan pembagian bantuan. Dalam hal ini, kearifan lokal dan ikatan kepercayaan sosial antarwarga yang sudah terbentuk dapat menjadi modal untuk upaya mitigasi bencana.
Baca juga : Gunung Semeru yang Memberi Penghidupan
Pun jika akan dilakukan relokasi, terikatnya warga dengan lingkungan tempat tinggal sebelumnya di lereng atau kaki Semeru patut dipertimbangkan. Seluruh aset, baik aset fisik maupun nonfisik yang sangat bergantung pada alam Semeru, menjadi sumber penghidupan mereka. Perubahan yang nantinya terjadi di lokasi relokasi patut memperhitunkan hal-hal tersebut.
Hidup berdampingan dengan gunung api tidaklah pernah mudah. Di satu sisi, ancaman erupsi bisa sangat berbahaya hingga harus merenggut nyawa. Di sisi lain, ini menjadi berkah bagi penghidupan warga di kemudian hari. Diperlukan kewaspadaan setiap saat dan mitigasi bencana yang baik untuk meminimalkan risikonya sehingga manfaat yang diterima lebih besar dibandingkan kerugiannya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Pesona dan Bahaya di Balik Gunung Semeru