Ketika Afrika disorot karena varian Omicron, dunia alpa bahwa ada negara-negara miskin di sana kurang mendapat jatah vaksin.
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·6 menit baca
Penemuan Omicron telah memicu kepanikan yang cukup besar di seluruh dunia. Sejumlah negara langsung menutup penerbangan dari Afrika Selatan. Namun, justru persoalan paling penting dilupakan, negara-negara Afrika masih kekurangan stok vaksin.
Masih banyak hal yang belum diketahui dari varian Covid-19 Omicron yang baru-baru ini muncul. Di antara banyaknya spekulasi, mulai dari para pakar lokal yang berbicara di media sosial hingga kebijakan pembatasan pendatang dari banyak negara, para ahli kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan kehati-hatian. Sebab, sejauh ini hanya diketahui bahwa ada beberapa bukti varian Omicron dapat menginfeksi penyintas Covid-19 dengan dampak yang lebih parah.
Di samping bukti tersebut, ada temuan lain yang bersifat kontradiksi. Ada tanda-tanda awal bahwa Omicron hanya menyebabkan penyakit ringan. Namun, pengamatan itu terutama didasarkan pada kasus-kasus di antara kaum muda di Afrika Selatan yang secara keseluruhan cenderung tidak sakit parah akibat varian tersebut.
Lagi pula, kepanikan terhadap Omicron secara langsung telah memberikan sentimen negatif pada negara-negara di Afrika, khususnya Afrika Selatan. Di sana, para pejabat dan pemilik bisnis bereaksi pahit terhadap tanggapan internasional atas isu Omicron. Lesunya pasar saham dan investasi ke Afrika Selatan salah satunya.
Pasalnya, Afrika Selatan sebenarnya menggunakan sistem pengawasan dan penelitian penyakitnya yang canggih, lalu dengan cepat membagikan hasilnya kepada dunia atas penemuan varian baru ini. Sayangnya, upaya transparansi terkait varian baru ini justru dibalas dengan larangan perjalanan dari dan ke Afrika Selatan.
Padahal, temuan belakangan ini, varian Omicron disinyalir pertama-tama bukan berasal dari Afrika Selatan. Otoritas Kesehatan Belanda (RIVM) mengumumkan pada akhir November bahwa varian Omicron sudah menyebar di Eropa Barat sebelum kasus pertama diidentifikasi di Afrika Selatan. Lebih lanjut, RIVM menemukan varian Omicron dalam tes sampel yang berasal dari Eropa sekitar 19 dan 23 November 2021.
Begitu pula di Amerika Serikat. Melansir dari The New York Times, pada 2 Desember 2021, hanya ada dua kasus yang telah diidentifikasi di Amerika Serikat. Orang pertama yang dites positif untuk varian tersebut bepergian dari Afrika Selatan lalu ke San Francisco pada 22 November dan dinyatakan positif pada 29 November.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), orang tersebut sebelumnya telah divaksinasi lengkap, lalu memiliki gejala ringan, dan kini mulai yang membaik.
Kasus kedua ditemukan pada seorang pria yang menghabiskan waktu di New York untuk mengikuti Festival Anime dan pertama kali mengalami gejala ringan pada 22 November 2021. Setelah dites, orang tersebut dinyatakan positif terkena virus dua hari kemudian. Pria tersebut yang tidak bepergian ke luar negeri telah divaksinasi lengkap dan telah menerima suntikan vaksin ketiga pada awal November 2021.
Singkatnya, kemunculan Omicron masih sangat baru sehingga mungkin perlu beberapa saat sebelum para ahli mengklarifikasi varian ini sebagai patogen.
Daripada menanggapi kemunculan Omicron dengan kepanikan berlebihan, para ahli menyarankan agar berfokus pada jangkauan vaksinasi dan mewaspadai sebaran varian Delta yang masih memberikan penularan luas.
Angelique Coetzee, Ketua Asosiasi Medis Afrika Selatan, mengatakan bahwa rumah sakit nasional tidak kewalahan oleh pasien yang terinfeksi varian Omicron. Justru, sebagian besar dari mereka yang dirawat di rumah sakit karena Covid-19 tidak sepenuhnya menerima vaksinasi. Saat ini, para ahli menyuarakan bahwa tidak ada alasan untuk percaya bahwa Omicron kebal terhadap vaksin meskipun vaksin mungkin menjadi kurang protektif sampai tingkat yang tidak diketahui.
Afrika terlupakan
Akses vaksin yang tidak merata adalah masalah sejak awal 2021. Negara-negara berpenghasilan tinggi lebih cepat memesan vaksin dan mampu membeli lebih banyak, apalagi ditambah infrastruktur untuk memproduksi dan mendistribusikan vaksin. Sementara itu, India dan Afrika Selatan adalah di antara sedikit negara berpenghasilan rendah yang sulit mendapatkan vaksin.
Seperti banyak negara miskin lainnya, Afrika Selatan dibuat menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan stok vaksin karena banyak negara maju yang memonopolinya. Negara-negara berpenghasilan rendah membuat perjanjian pembelian vaksin pertama mereka pada Januari 2021 atau delapan bulan setelah Amerika Serikat dan Inggris membuat kesepakatan pertama pemesanan vaksin.
Selain itu, Amerika Serikat dan negara kaya lainnya juga mendistribusikan ratusan juta dosis secara gratis, bahkan perusahaan farmasi di sana menjual obat Covid-19 dengan harga yang telah dipotong.
Jika melihat laporan Our World in Data, hingga 2 Desember 2021 negara-negara di Afrika menempati lima urutan terbawah untuk penerimaan vaksin. Kelimanya secara berurutan dari paling bawah adalah Nigeria, Etiopia, Kenya, Mesir, dan Afrika Selatan. Belum ada satu pun dari negara tersebut yang memvaksin hingga 50 persen dari jumlah penduduk.
Sebagai perbandingan, Uni Emirat Arab yang berada di urutan teratas telah memvaksin 98,1 persen penduduknya. Sementara Nigeria baru mencapai 3,1 persen dari total penduduk. Perbedaan 95 persen tersebut sudah dapat menjadi bukti adanya kesenjangan dalam pembagian stok vaksin antara negara maju dan negara miskin.
Kurangnya infrastruktur kesehatan dan vaksinator juga menjadi faktor pemicu kurang meratanya vaksin di Afrika, khususnya di daerah-daerah terpencil. Belum lagi, ketidakpercayaan publik pada efektivitas vaksin. Negara-negara seperti Namibia, Zimbabwe, Mozambik, dan Malawi bahkan telah meminta produsen vaksin menunda pengiriman karena mereka tidak dapat menggunakan persediaan yang mereka miliki.
Temuan survei yang dilakukan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika terhadap 15 negara Afrika pada akhir 2020 dapat menjadi bukti. Sebanyak 49 persen responden mengatakan, mereka percaya rumor bahwa Covid-19 direncanakan oleh aktor asing. Sebanyak 45 persen responden mengatakan bahwa mereka percaya orang Afrika digunakan sebagai kelinci percobaan dalam uji coba penelitian vaksin.
Melihat aspek historis dan konteksnya, ada perbedaan antara penolakan vaksin di Afrika dan di negara lain, misalnya di Amerika Serikat. Di Afrika, ketidakpercayaan terhadap vaksin lebih memuat unsur historis, eksploitasi, kurangnya pendidikan, dan kemiskinan yang mereka alami selama beberapa dekade. Sementara di Amerika Serikat, penyebabnya ialah polarisasi politik yang 35 persen penolak vaksin adalah pendukung Partai Republik dibandingkan dengan 10 persen lainnya ialah pendukung Partai Demokrat.
Usaha global
Laporan kemunculan varian Omicron di Afrika Selatan justru seharusnya membuat mata dunia terbuka pada pemulihan Covid-19 di sana, bahkan negara Afrika lainnya. Negara-negara yang tergolong miskin di sana memiliki kesulitan dalam pemerataan vaksin.
Selain stok vaksin dan infrastruktur kesehatan yang sangat terbatas, kurangnya edukasi dan sosialisasi terkait vaksin menjadi tugas penting dalam mengubah paradigma atas kejadian di masa lalu.
Kejadian ini menjadi hal penting manakala di masa mendatang muncul penyakit jenis baru lainnya di suatu daerah yang dapat menjadi pandemi di seluruh belahan dunia. Persaingan geopolitik dan ekonomi antarnegara seharusnya dikesampingkan demi keselamatan manusia seluruhnya. Atas nama kemanusiaan, sudah semestinya setiap negara bahu-membahu menghadapi pandemi yang sudah berjalan hampir dua tahun ini. (LITBANG KOMPAS)