Pola Kerja Jarak Jauh di Indonesia Masih Terkendala Internet
Bicara tentang tarif internet, Indonesia termasuk negara yang rata-rata biaya internetnya relatif paling rendah di kawasan ASEAN. Namun, Indonesia masih cukup tertinggal dalam hal kecepatan internet.
Pola kerja jarak jauh di Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah tantangan, salah satunya kendala internet. Perbaikan kualitas internet menjadi mendesak dilakukan lantaran sistem kerja remote working tersebut berpotensi berlanjut di masa mendatang.
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) bulan Agustus 2020 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik menemukan, sekitar dua pertiga responden masih menghadapi kendala saat bekerja jarak jauh atau bekerja dari rumah (work from home/WFH).
Kendala utama yang mereka hadapi adalah belum stabilnya jaringan internet. Kendala tersebut dirasakan oleh 27 persen pekerja yang disurvei. Kendala lain yang dihadapi adalah pengeluaran biaya tambahan untuk berlangganan internet serta kesibukan mengurus keperluan keluarga saat berada di rumah.
Temuan ini menunjukkan dalam sistem kerja jarak jauh, internet menjadi sangat penting lantaran hampir semua pekerjaan dilaksanakan secara daring, misalnya pertemuan virtual. Ketika mengikuti pertemuan virtual dan jaringan internet terganggu, boleh jadi informasi tidak tersampaikan dengan baik. Bukan tidak mungkin disinformasi akan terjadi, keterlambatan proses pekerjaan lainnya pun dapat terganggu.
Kendala tersebut menjadi tak terhindarkan lantaran kecepatan internet di Indonesia memang tergolong tertinggal. Merujuk laporan Speedtest Global Index, sumber informasi terinci tentang kinerja internet di seluruh dunia, kecepatan internet di Indonesia paling lambat kedua di ASEAN.
Sebagai informasi, terdapat dua metode pengukuran yang digunakan oleh Speedtest, yakni penghitungan median (nilai tengah) dan penghitungan mean (rata-rata). Namun, kini penghitungan median lebih sering digunakan karena mencerminkan kecepatan yang lebih mungkin dicapai. Penghitungan median akan menjadi satu-satunya metode yang akan digunakan mulai 15 Februari 2022.
Data yang dikumpulkan pada Oktober 2021 tersebut menunjukkan, nilai median kecepatan unduh melalui jaringan seluler (mobile) di Indonesia sebesar 16,16 mbps (megabit per detik). Sementara kecepatan untuk unggah sebesar 9,85 mbps.
Karena itu, kecepatan internet di Indonesia menduduki peringkat ke-105 dari 141 negara yang dipantau. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, Indonesia berada pada posisi terendah kedua. Indonesia hanya sedikit lebih unggul dari Kamboja yang menduduki posisi terakhir di ASEAN, di mana kecepatan internetnya sebesar 14,48 mbps.
Padahal, rata-rata kecepatan internet di ASEAN sebesar 31,34 mbps, dan secara global sebesar 28,61 mbps sehingga dapat dikatakan bahwa kualitas internet di Indonesia masih tertinggal.
Jaringan optik
Ketertinggalan itu menjadi semakin tampak ketika dibandingkan dengan negara tetangganya, Singapura. Kecepatan internet seluler di negara terkecil se-ASEAN itu sebesar 68,32 mbps. Artinya, kecepatan internet di Indonesia hanya seperempat dari Singapura.
Dengan internet yang super cepat itu, Singapura menduduki posisi tertinggi di ASEAN dan berada pada peringkat ke-17 di dunia. Peringkat pertama dunia diisi oleh Uni Emirat Arab dengan kecepatan internet 130,19 mbps.
Berbeda lagi dengan kecepatan internet pada jaringan optik (fix broadband). Layanan fix broadband biasanya terhubung ke perangkat melalui LAN atau Wi-Fi. Pada jaringan tersebut, kecepatan internet di Indonesia sebesar 19,87 mbps. Pada umumnya, kecepatan pada jaringan optik ini memang lebih tinggi jika dibandingan dengan jaringan seluler.
Dengan kecepatan tersebut, posisi Indonesia naik satu tingkat, yakni lebih unggul dari Kamboja (18,74) dan Myanmar (15,61). Hanya Indonesia masih jauh tertinggal dari median kecepatan internet dunia yang sebesar 56,09 mbps. Pengukuran pada jaringan optik ini dilakukan di 181 negara, dan Indonesia berada pada peringkat ke-112.
Singapura, lagi-lagi menjadi negara dengan internet tercepat di ASEAN dengan 188,11 mbps. Bahkan, Singapura menduduki peringkat pertama di dunia, disusul oleh Thailand dengan kecepatan internet sebesar 173,44 mbps.
Belum merata
Bukan hanya sisi kualitas, keterjangkauan internet di Indonesia pun masih belum merata. Merujuk Statistik Potensi Desa Indonesia 2018, masih terdapat 16,3 persen desa dari total desa di Indonesia yang belum memiliki sinyal, baik sinyal internet dan sinyal telepon seluler. Padahal, bukan tidak mungkin sistem kerja jarak jauh juga diterapkan di perdesaan. Atau, jika pekerja di perkotaan bekerja jarak jauh dari kampung halamannya.
Bahkan, masih terdapat beberapa daerah yang akses internetnya sangat tertinggal. Provinsi Papua, misalnya, yang masih memiliki 81,3 persen dari total desanya masih belum memiliki sinyal telepon seluler maupun sinyal internet. Wilayah lainnya adalah Papua Barat, Kalimantan Utara, dan wilayah bagian timur Indonesia lainnya.
Tak dapat dimungkiri bahwa internet di Indonesia mendesak untuk diperbaiki lantaran budaya kerja jarak jauh berpotensi berlanjut di masa mendatang. Sebuah survei yang dilakukan lembaga pengembangan karier Jobstreet pada 33.084 pekerja di Indonesia menunjukkan, seperempat dari mereka ingin sepenuhnya bekerja jarak jauh meski pandemi Covid-19 sudah berakhir.
Angka itu naik dari 13 persen pekerja yang sepenuhnya bekerja jarak jauh selama pandemi. Sementara, 68 persen lainnya menginginkan sistem kerja kombinasi (Kompas, 19/11/2021). Artinya, pekerja yang ingin bekerja jarak jauh lebih besar.
Biaya internet
Namun demikian, kurang stabilnya jaringan internet bukan menjadi satu-satunya kendala. Sakernas Agustus 2020 juga menemukan 26,8 persen pekerja mengeluhkan biaya internet, kuota, dan pulsa saat bekerja jarak jauh. Kristina (33), seorang pekerja swasta di Tangerang mengatakan bahwa biaya bulanannya bertambah lantaran harus memasang jaringan Wi-Fi sering meningkatnya kebutuhan internet di rumah.
Merujuk laporan OpenSignal, sebuah perusahaan riset jaringan seluler, rata-rata kebutuhan internet orang Indonesia meningkat saat pandemi. Kuartal pertama 2021 (Januari-Maret), orang Indonesia menghabiskan 14,4 gigabit (GB) setiap bulannya. Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumya, kebutuhan internet orang Indonesia hanya sebesar 11,8 GB.
Sementara, rata-rata biaya internet yang harus dikeluarkan oleh orang Indonesia sebesar 0,42 dollar AS per 1 GB, atau setara dengan Rp 6.000. Penelitian itu dilakukan oleh Cable.co.uk, sebuah perusahaan yang melakukan riset perbandingan layanan internet di dunia. Data tersebut dikumpulkan pada tanggal 8 Desember 2020 hingga 25 Februari 2021 di 230 negara.
Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, rata-rata biaya internet di Indonesia adalah yang paling rendah. Sementara, biaya internet paling tinggi di ASEAN adalah Laos, yakni sebesar 3,19 dollar AS untuk 1 GB yang dikeluarkan.
Bagi Indonesia, jika menggunakan perhitungan tersebut, rata-rata pengeluaran internet orang Indonesia sekitar Rp 86.400 setiap bulan. Dengan menggunakan rata-rata harga yang sama, besarannya meningkat Rp 15.600 (22 persen) jika dibandingkan tahun sebelumnya. Menjadi wajar jika kemudian biaya internet ini cukup dikeluhkan oleh pekerja di Indonesia.
Apalagi, jika perhitungannya menggunakan biaya internet termahal di Indonesia, peningkatannya akan lebih terasa. Masih merujuk Cable.co.uk, biaya termahal per 1 GB di Indonesia sebesar 2,94 dollar AS, setara dengan Rp 42.500.
Baca Juga: Suka Duka Bekerja dari Rumah
Dengan biaya tersebut, pengeluaran biaya internet mencapai Rp 612.000 per bulan pada kuartal I-2021. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, pengeluaran untuk internet bertambah Rp 110.500. Namun, boleh jadi kualitas internet yang didapatkan akan lebih baik, jika dibandingkan dengan pengeluaran rata-rata Rp 6.000 per 1 GB.
Melihat situasi tersebut, pengaturan internet di Indonesia harus menjadi perhatian, baik dari sisi kualitas maupun harga. Kualitas internet yang tidak stabil, akan mengganggu kinerja para pekerja di Indonesia. Jika kualitas internet yang baik bisa didapatkan namun dengan pengeluaran yang jauh lebih tinggi, bukan tidak mungkin akan semakin memberatkan para pekerja. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Haruskah Pekerja Kembali "Work from Office"?