Keadilan hukum bagi perempuan kembali disentil. Masyarakat berharap ada sinergi antarlembaga penegak hukum berlandaskan sistem hukum yang kuat demi memberikan jaminan aman pada perempuan yang menjadi korban.
Oleh
Arita Nugraheni/Litbang Kompas
·5 menit baca
Hasil jajak pendapat Kompas memotret, enam dari sepuluh responden mengetahui kabar tentang perlakuan hukum tidak adil dan kekerasan seksual pada perempuan selama tiga bulan terakhir ini. Rinciannya, sebanyak 48,3 persen mengetahui dan 13,8 persen mengetahui sekaligus mengikuti perkembangan pemberitaan.
Artinya, responden dalam jajak pendapat ini tidak memalingkan pandangan pada absennya keadilan hukum dan jaminan rasa aman bagi perempuan. Perlakuan hukum tidak adil bagi ibu rumah tangga di Karawang, kekerasan seksual terhadap anak perempuan di Luwu Timur, ataupun pelecehan seksual pada mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi adalah rentetan peristiwa yang menjadi pengingat pada urgensi menghadirkan rasa adil dan aman bagi perempuan.
Sebanyak 40,2 persen dari total responden menyebutkan, aturan hukum di Indonesia belum menjamin perlakuan adil bagi perempuan di mata hukum. Sebanyak 26,5 persen responden menyebut perlakuan keadilan hukum masih dilakukan setengah-setengah. Artinya, separuh lebih responden menggugat adanya perbaikan aturan dan penerapan aturan dalam penanganan kasus hukum.
Salah satu kasus yang bisa dirujuk adalah tuntutan hukuman satu tahun penjara bagi Valencya atas tuduhan kekerasan dalam rumah tangga. Padahal, tuduhan tersebut merupakan ”serangan balik” suaminya yang dilaporkan atas kasus penelantaran istri dan anak.
Tuntutan akhirnya ditarik setelah proses eksaminasi dan pengambilalihan perkara oleh Kejaksaan Agung pada 23 November 2021. Namun, peristiwa ini menjadi preseden buruk dalam tidak tepatnya penerapan aturan hukum, khususnya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Jajak pendapat ini juga memberikan sinyal bahwa publik juga menyoroti penerapan aturan yang masih setengah-setengah. Hal ini berimplikasi pada penerapan standar ganda pada perlakuan perempuan berbasis latar belakang sosial dan ekonomi. Masih lekat dalam ingatan, keringanan hukuman diberikan pada bekas Jaksa Kejaksaan Agung, Pinangki Sirna Malasari, dengan pertimbangan berbasis jender.
Pinangki terlibat dalam kasus pengurusan fatwa bebas bagi Joko Soegiarto Tjandra dalam kasus cessie (pengalihan piutang) Bank Bali tahun 2009. Putusan majelis hakim banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memangkas hukuman penjara 10 tahun menjadi 4 tahun. Putusan dilandaskan pertimbangan kondisi Pinangki sebagai perempuan yang dinilai harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan adil.
Hukuman mati
Kerentanan perempuan meningkatkan risiko perempuan menerima hukuman yang berat, seperti hukuman mati. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut perempuan berada dalam level risiko tertinggi ketika berhadapan dengan sistem peradilan pidana.
Dari 32 kasus putusan kasus pidana mati dengan terdakwa perempuan, ditemukan tiga aspek kerentanan yang melatari tingginya risiko perempuan terlibat kasus berujung pidana mati. Ketiganya adalah riwayat terdakwa sebagai korban kekerasan, keterlibatan dengan hubungan romantis yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana untuk memenuhi keinginan pihak lain, dan kondisi di bawah ancaman.
Dalam kaitannya dengan perempuan dalam pusaran hukuman mati ini, delapan dari sepuluh publik menuntut adanya pembaruan hukum yang memperhatikan kerentanan berbasis jender. Rinciannya, separuh lebih responden (53,9 persen) menyebut perlu dan hampir sepertiga responden menekankan urgensi pada pembaruan hukum.
Tuntutan ini bukan tanpa alasan nyata. Sebagian responden menyatakan, anggota keluarga perempuan mereka pernah mendapatkan perlakuan tidak adil, baik dalam penyelesaian kasus di ranah keluarga maupun peradilan. Potret ini makin menebalkan seruan untuk adanya reformasi aturan dan peradilan hukum yang menjamin kesetaraan dan keadilan bagi perempuan.
Kekerasan seksual adalah kasus paling menonjol yang sering menempatkan perempuan sebagai korban yang tidak berdaya. Kekerasan seksual terdiri dari pencabulan, pemerkosaan, pelecehan, persetubuhan, dan percobaan kekerasan seksual.
Komnas Perempuan, berdasarkan Catatan Tahunan 2021, melaporkan adanya 1.983 kasus pelecehan seksual terjadi pada perempuan di ranah rumah tangga. Jumlah tersebut mengambil porsi 30 persen dari total laporan kekerasan di ranah rumah tangga.
Di ranah komunitas, kekerasan seksual menempati posisi pertama dengan 971 kasus atau 56 persen dari total laporan. Angka tersebut pun diduga lebih kecil dibandingkan dengan kejadian kekerasan seksual sebenarnya. Perempuan menanggung beban ganda sebagai korban di tengah lingkungan sosial dan hukum yang belum sepenuhnya memberikan jaminan rasa aman.
Keraguan untuk melaporkan kejadian kekerasan seksual turut disampaikan responden jajak pendapat. Enam dari sepuluh responden menduga korban pelecehan seksual merasa takut distigma dan dikriminalisasi jika melapor ke pihak berwenang.
Tak dapat dielakkan, sebagian masyarakat masih memberikan stigma buruk pada korban pelecehan seksual alih-alih berorientasi pada pengusutan kasus. Hal ini terlihat dari sikap sebagian responden yang memilih untuk memberikan masukan pada cara berperilaku, berpenampilan, dan berpakaian jika anggota keluarganya menjadi korban pelecehan seksual.
Ketakutan dikriminalisasi menjadi tantangan bagi penegak hukum untuk menghadirkan rasa aman bagi korban. Hal ini selaras dengan opini publik bahwa aspek yang paling perlu diperbaiki dalam menghadirkan keadilan hukum adalah peningkatan kualitas penegak hukum (33,4 persen).
Kelompok responden lain menekankan faktor keluarga. Mereka menyebut tidak adanya dukungan dari keluarga membuat korban memilih bungkam. Sebagian yang lain menganggap kekerasan seksual cukup diselesaikan secara kekeluargaan.
Tidak adanya dukungan dari keluarga ini menghambat terciptanya iklim penanganan kasus pelecehan seksual yang berpihak pada korban. Keluarga secara khusus dan masyarakat secara umum ikut memegang peran penting dalam upaya perbaikan keadilan hukum bagi perempuan. Hal ini pun menjadi catatan dari jajak pendapat kali ini yang menekankan pentingnya peran masyarakat di antara perbaikan aturan dan aparat penegak hukum.
Dalam konteks keraguan korban melapor, hampir seperempat bagian responden juga menduga korban tidak mengetahui informasi terkait cara melapor. Hal ini menjadi catatan bagi pemerintah dan lembaga independen tentang pentingnya meningkatkan diseminasi informasi.
Pada akhirnya, lembaga independen, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan organisasi lainnya diharapkan konsisten mengambil bagian dalam memediasi korban pelecehan seksual. Terciptanya sinergi antarlembaga dengan landasan hukum yang kuat menjadi seruan terbesar publik dalam jajak pendapat ini.
Harapan besar publik pada kuatnya tonggak-tonggak penegakan hukum tersebut selaras dengan kesadaran separuh lebih responden (64,1 persen) yang tak ragu untuk memilih jalur hukum jika kasus kekerasan seksual terjadi. Tentu, pada akhirnya penegakan hukumlah yang menjadi benteng terakhir untuk menjamin keadilan bagi korban, terutama perempuan yang menjadi korban.