Pengembangan Wilayah di Masa Pandemi
Mulai pulihnya roda perekonomian seiring pelonggaran mobilitas membuka peluang tumbuhnya kembali perekonomian daerah. Di sisi lain, pengembangan wilayah masih menghadapi beragam kendala.
Pengembangan wilayah untuk mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan merupakan salah satu dari tujuh prioritas nasional yang mengacu pada Agenda Pembangunan dalam RPJM 2020-2021. Prioritas nasional tersebut, di tahun 2021, diarahkan untuk menumbuhkan pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa, mempercepat pemulihan dampak pandemi Covid-19, melanjutkan transformasi sosial ekonomi, mengoptimalkan keunggulan wilayah serta meningkatkan pemerataan kualitas hidup antarwilayah.
Namun, di tengah merebaknya pandemi Covid-19, program pengembangan wilayah itu tampaknya tidak mudah diwujudkan. Pasalnya, sepanjang tahun 2020 hingga kini, pandemi Covid-19 telah berdampak buruk bagi perekonomian global maupun nasional. Bahkan, sebagian besar negara di dunia mengalami resesi ekonomi karena rantai pasok terganggu, tak terkecuali Indonesia.
Di tingkat daerah, perlambatan ekonomi dialami oleh hampir semua wilayah di Indonesia. Tren perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut tampak dari laju pertumbuhan ekonomi yang negatif hampir semua wilayah di Indonesia. Tercatat 31 provinsi mengalami defisit pertumbuhan. Hanya tiga provinsi yang masih tumbuh positif, yakni Maluku Utara (4,92 persen), Papua (2,32 persen), dan Sulawesi Tengah (4,86 persen).
Perekonomian provinsi-provinsi di wilayah Jawa Bali mengalami kontraksi paling dalam lantaran kebijakan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Bali tercatat sebagai daerah yang mengalami kontraksi paling dalam. Di tahun 2020, Bali terkontraksi hingga 9,31 persen. Hal ini sekaligus mengindikasikan, daerah yang memiliki interaksi kuat dengan perekonomian internasional baik jalur perdagangan barang maupun jasa akan mengalami kontraksi paling dalam.
Memasuki tahun 2021, roda perekonomian nasional mulai bergerak seiring pelonggaran mobilitas penduduk sekaligus mendorong peningkatan konsumsi masyarakat. Kondisi ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi ke arah positif di sebagian besar wilayah.
Di triwulan III 2021, tercatat 32 provinsi telah tumbuh positif sedangkan dua provinsi, yaitu Bali dan Papua Barat, masih terkontraksi, masing-masing 2,91 persen dan 1,76 persen. Kontraksi ekonomi di Papua Barat dipicu oleh turunnya kinerja ekspor luar negeri terutama ekspor hasil pengilangan LNG Tangguh Teluk Bintuni ke beberapa negara.
Sementara untuk Bali, kontraksi ekonomi lantaran belum pulihnya sektor pariwisata yang menjadi pendorong utama pertumbuhan.
Jika ditelisik lebih jauh, perekonomian di Kawasan Timur Indonesia (KTI) tumbuh lebih tinggi dibandingkan di Kawasan Barat Indonesia (KBI). Hal ini tampak dari realisasi pertumbuhan wilayah KTI pada semester pertama 2021 yang tumbuh lebih tinggi.
Wilayah Papua, Maluku, dan Sulawesi masing-masing tumbuh 9,20 persen, 7,71 persen, dan 4,84 persen. Sedangkan wilayah Jawa Bali tumbuh 3,15 persen, Nusa Tenggara 1,95 persen dan Kalimantan 1,90 persen.
Pemulihan ekonomi di wilayah KTI tersebut tak lepas dari kebijakan untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Salah satunya melalui kebijakan hilirisasi sektor-sektor unggulan di wilayah timur Indonesia.
Sementara itu, secara kewilayahan, terjadi pergeseran peran ekonomi di masing-masing wilayah pada tahun 2019 hingga semester pertama 2021. Di tahun 2020, peran KTI yang meliputi Papua, Maluku, Sulawesi, dan Nusa Tenggara, cenderung meningkat terhadap perekonomian nasional jika dibandingkan 2019, yaitu dari 10,20 persen menjadi 10,53 persen. Sementara, peran wilayah Jawa-Bali pada semester pertama 2021 turun menjadi 59,63 persen terhadap perekonomian nasional, dari sebelumnya 60,48 di tahun 2019.
Kendala
Kendati pertumbuhan ekonomi di KTI relatif tinggi, namun pengembangan wilayah di kawasan ini masih dibelit beragam persoalan dan tantangan.
Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di HUT Kemerdekaan ke-76 lalu menyebutkan adanya tiga kendala utama terkait pengembangan wilayah di Indonesia. Ketiga kendala tersebut meliputi belum optimalnya proses transformasi ekonomi, belum meratanya kualitas hidup antarwilayah serta belum terbentuknya struktur perekonomian wilayah yang tangguh dan berdaya saing.
Kendala tersebut tak lepas dari distribusi penduduk yang belum berimbang, belum meratanya akses terhadap pelayanan dasar serta rendahnya integrasi infrastruktur antarwilayah.
Berdasarkan Sensus Penduduk 2020 yang dirilis oleh BPS, persebaran penduduk Indonesia belum merata. Masyarakat Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Dengan luas hanya 7 persen dari total keseluruhan wilayah Indonesia, Pulau Jawa dihuni kira-kira 56,10 persen penduduk Indonesia. Jumlah ini setara dengan 151,6 juta jiwa. Kemudian, pulau terpadat kedua di Indonesia adalah Sumatera. Diikuti dengan Sulawesi, Kalimantan, Bali-Nusa Tenggara, dan Maluku-Papua.
Akses dan kualitas pelayanan dasar antardaerah menjadi penghambat bagi pertumbuhan ekonomi. Di sektor pendidikan, distribusi guru yang tidak merata dan buruknya kualitas pendidikan di banyak daerah adalah persoalan signifikan. Di sektor kesehatan, tidak sedikit rumah sakit pemerintah dan swasta belum memenuhi standar minimum.
Selain itu, masih banyak rumah tangga berpendapatan rendah belum memiliki rumah yang memadai, dan ketiadaan akses air minum dan sanitasi yang berpengaruh pada tingginya angka penyakit menular dan tengkes (stunting).
Di bidang infrastruktur, pembangunan infrastruktur secara masif dalam beberapa tahun terakhir masih memerlukan upaya lanjutan untuk menjangkau lebih banyak wilayah dan menyambungkan pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah penyangganya.
Hal ini dimaksudkan untuk menjamin perdagangan antarwilayah dan rantai pasok domestik agar berjalan efisien dan memastikan hilirisasi industri berbasis komoditas unggulan wilayah dapat berjalan dengan optimal.
Selain itu, pembangunan infrastruktur diharapkan dapat membantu mengatasi persoalan belum meratanya pelayanan dasar melalui akses ke arah daerah tertinggal, terdepan, dan terluar serta kepulauan.
Kendala lainnya adalah kejadian bencana alam yang menimbulkan kerusakan dan kerugian terhadap beberapa sektor pembangunan di berbagai daerah terdampak bencana.
Menurut catatan BNPB, sampai 24 November 2021, tercatat jumlah kejadian bencana alam di Indonesia sebanyak 3.252 kejadian yang menimbulkan dampak kerusakan terhadap 136.648 rumah, 1.409 tempat pendidikan, 1.230 tempat peribadatan, 103 fasilitas umum, 504 perkantoran, dan 439 jembatan.
Selain bencana alam, pemerintah juga telah menetapkan penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional nonalam. Kebijakan untuk mengatasi pandemi Covid-19 berupa pembatasan aktivitas masyarakat, baik PSBB maupun PPKM, menuai dampak yang berbeda-beda di masing-masing wilayah.
Disrupsi aktivitas ekonomi dan transaksi pasar akibat jaga jarak menyebabkan daerah dengan porsi pekerja informal nonpertanian dan sektor UMKM turut mengalami dampak beruntun dari meningkatnya pengangguran, menurunnya pendapatan serta meningkatnya angka kemiskinan.
Sebagai gambaran, angka kemiskinan di Indonesia pada Maret 2021 tercatat sebesar 10,14 persen. Proporsi terbanyak masih didominasi oleh tiga wilayah, yakni Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara.
Secara umum, daerah dengan basis pertanian merasakan dampak yang relatif ringan. Hal ini dikarenakan permintaan sektor tanaman pangan masih relatif terjaga dan proses budayanya tidak menuntut jarak fisik.
Persoalan lainnya terkait dengan kebutuhan penataan ulang alokasi anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19 yang berdampak pada pengurangan anggaran pembangunan dan pemeliharan wilayah, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Arah kebijakan
Untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah dan mendorong transformasi, pemerintah sedang giat mendorong pembangunan infrastruktur secara merata. Pembangunan infrastruktur yang terintegrasi diwujudkan dengan pembangunan yang semakin terpadu antarmoda darat, laut, udara serta simpul-simpul utama sistem infrastruktur wilayah dengan kawasan strategis.
Kebijakan ini diarahkan untuk menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, terutama di luar Jawa melalui peningkatan efisiensi sistem logistik nasional. Hal ini diharapkan dapat memfasilitasi kelancaran rantai pasok domestik dan pengembangan hilirisasi industri di tingkat wilayah, khususnya KTI.
Untuk mengantisipasi terjadinya bencana alam, pemerintah akan meningkatkan sinergi pemanfaatan ruang wilayah melalui strategi penegakan rencana tata ruang yang berbasis pada mitigasi perubahan iklim dan resiko bencana.
Adapun untuk pemulihan dampak Covid-19, kebijakan diarahkan antara lain dengan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah untuk menangani dan mencegah penularan Covid-19. Di samping itu, juga mendorong transformasi ekonomi dengan memperkecil ketergantungan pada sektor tertentu.
Kemudian, meningkatkan penetrasi dan literasi digital secara merata untuk mencegah ketimpangan antarwilayah yang semakin melebar. Pemerintah juga akan menyiapkan inovasi untuk mempercepat transformasi pelayanan publik melalui implementasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) dan Satu Data Indonesia (SDI). (LITBANG KOMPAS)