Pembangkit Energi Kunci Reduksi Emisi GRK (Bagian Dua)
Indonesia berpotensi besar menjadi pemain dalam ekosistem industri baterai dan kendaraan listrik di dunia. Potensi ini sekaligus untuk mengurangi beban emisi gas rumah kaca yang dihasilkan di sektor transportasi.
Mitigasi emisi pembangkit listrik merupakan kunci terpenting dalam reduksi gas rumah kaca atau GRK sektor energi di Indonesia. Sektor berikutnya yang tak kalah penting untuk mengakselerasi reduksi emisi GRK adalah transportasi.
Sekitar 44 persen emisi bidang energi di Indonesia disumbang oleh kelompok pembangkitan listrik yang lebih dari 80 persennya masih mengandalkan energi fosil dalam proses produksi elektrifikasinya. Sementara sektor transportasi menyumbang sekitar 26 persen polusi GRK di bidang energi.
Jadi, transportasi termasuk sektor yang sangat vital untuk segera dimitigasi agar target Nationally Determined Contribution (NDC) pada tahun 2030 untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29 persen dengan upaya mandiri dari dalam negeri dapat segera tercapai.
Salah satu penyebab tingginya emisi sektor transportasi adalah konsumsi energi fosil yang besar dalam proses mobilisasi kendaraan bermotor. Sektor ini merupakan konsumen terbesar bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia.
Berdasarkan laporan dari Ketahanan Energi 2019, Dewan Energi Nasional (DEN), konsumsi BBM untuk sektor transportasi menguasai hampir 80 persen seluruh permintaan BBM di Indonesia.
Kondisi demikian menunjukkan bahwa sumber utama penggerak mobilitas kendaraan bermotor dan alat angkut di Indonesia bersumber dari energi fosil yang menghasilkan emisi GRK.
Oleh sebab itu, untuk mereduksi emisi dari kelompok transportasi itu maka pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan. Di antaranya memberlakukan regulasi pungutan instrumen pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) berdasarkan emisi kendaraan atau pajak emisi.
Hal ini dilakukan guna mendorong harga jual kendaraan berteknologi elektrifikasi atau ramah lingkungan menjadi semakin murah.
Selain itu, pemerintah juga mewajibkan pemilik kendaraan bermotor untuk melakukan uji emisi sebagai prasyarat untuk melakukan perpanjangan pajak kendaraan (STNK) mulai awal tahun 2023.
Bahkan, di Provinsi DKI Jakarta berencana akan menerapkan sanksi tilang terhadap kendaraan bermotor yang tidak memiliki tanda kelayakan emisi gas buang saat beroperasi di wilayah ibu kota mulai tahun depan.
Sejumlah kebijakan sektor transportasi tersebut merupakan upaya untuk mengurangi emisi GRK sekaligus mengurangi jumlah kendaraan bermotor dengan sistem internal combustion yang menggunakan BBM. Terutama kendaraan yang sudah tidak laik jalan dan boros BBM.
Baca juga : Komitmen Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca
Kebijakan “hilir-hulu”
Selain menerapkan kebijakan yang bersifat “hilir” tersebut, pemerintah juga tengah serius mengembangkan program yang bersifat “hulu” guna mereduksi emisi GRK sektor transportasi.
Bentuknya berupa rencana industrialisasi baterai kendaraan listrik dan juga menyiapkan roadmap pengembangan produksi kendaraan listrik di dalam negeri.
Rencana ini sudah memiliki dasar hukum dengan disahkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2019 Tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan.
Dengan terbitnya kebijakan ini, pemerintah berupaya secepat mungkin agar mampu memproduksi baterai kendaraan listrik dan juga merakit unit Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBL BB) di Indonesia.
Berpijak pada aturan tersebut, pemerintah selanjutnya membuat roadmap terkait pengembangan industri KBLBB berikut manufakturing baterai listriknya. Dalam pengembangan KBL BB pemerintah melibatkan segenap stakeholder agar program ini dapat terealisasi secara akseleratif.
Mulai dari institusi yang merancang rekayasa teknologi seperti BRIN; perguruan tinggi; Kemenristekdikti; PLN; hingga institusi lainnya yang bersifat mendukung. Terdiri dari Kemenkeu, Kemendag, Kemenperin, KLHK, Kemenhub, Polri, Kementerian ESDM, hingga Badan Standarisasi Nasional (BSN).
Demikian juga dalam pengembangan industri baterai listrik, pemerintah juga melibatkan sejumlah stakeholder penting. Mulai dari BRIN; Pertamina; Antam; PLN; hingga industri otomotif seperti Toyota.
Dalam roadmap penguatan industri KBL BB, ada peluang bagi industri domestik Indonesia untuk turut serta terlibat dalam proses perakitan kendaraan listrik dengan bekerja sama dengan investor asing.
Hal ini sangat penting untuk menumbuhkan kemandirian industri otomotif di dalam negeri. Apalagi, Pada kurun 2023-2035, investor wajib melakukan penguatan dan pendalaman struktur industri komponen kendaraan listrik.
Pada fase ini merupakan tahapan penting untuk pembuatan komponen utama dan pendukung untuk memperkuat struktur industri KBLBB dalam negeri. Industri komponen utama itu terdiri dari baterai listrik (sel, modul, dan pack); serta power train berupa traksi motor dan transmisi. Untuk industri pendukungnya berupa perusahaan platform seperti chasis kendaraan, struktur body eksterior dan interior kendaraan.
Selain itu, juga didukung oleh industri produk controller kendaraan. Pada fase ini apabila berhasil melakukan transfer teknologi kepada industri dalam negeri niscaya Indonesia berkemungkinan besar dapat tampil sebagai salah satu pemain industri otomotif berbasis baterai listrik terbesar di dunia.
Terkait baterai kendaraan listrik, pemerintah Indonesia sudah melakukan perencanaan yang relatif baik agar komoditas tersebut dapat memberikan nilai tambah yang besar bagi negara.
Apalagi, Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat produksi dan juga sumber cadangan nikel terbesar di dunia. Jadi, keunggulan absolut ini harus dapat dimanfaatkan sebaik mungkin agar dapat mendorong Indonesia tampil sebagai negara penting bagi kemajuan teknologi kendaraan listrik secara global di masa mendatang.
Menurut Kementerian BUMN, roadmap industri baterai diproyeksikan akan berkembang secara bertahap mulai tahun 2020 hingga 2027. Hingga saat ini, perkembangan industri baterai berjalan cukup menggembirakan.
Pada April lalu, Indonesia membentuk perusahaan holding baterai bernama Indonesia Battery Corporation (IBC) atau PT Industri Baterai Indonesia. IBC ini merupakan perusahaan kerjasama antar-BUMN energi seperti MIND ID, PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) Keempat BUMN ini memiliki tugas yang beragam.
PT Antam bertugas membangun smelter HPAL; PT Pertamina dan MIND ID memproduksi prekursor dan katoda mulai tahun 2024; dan pabrik cell to pack oleh PT Pertamina dan PT PLN yang mulai beroperasi pada tahun 2025.
Baca juga : Menuju Produsen Baterai Kendaraan Listrik Terkuat Sejagad
Industri baterai
Keempat BUMN yang tergabung dalam IBC tersebut akan menjadi mitra kerja sama dengan sejumlah perusahan yang berinvestasi di bidang baterai kendaraan berbasis listrik di Indonesia.
Hingga saat ini, setidaknya sudah ada dua investor yang berkomitmen membangun industri baterai di Indonesia mulai dari hulu hingga hilir. Perusahaan itu adalah LG Energy Solution dari Korea Selatan dan China’s Contemporary Amperex Technology (CATL) dari Tiongkok dengan nilai investasi lebih dari Rp 142 triliun.
Tentu saja langkah bisnis kerja sama tersebut juga disertai dengan perjanjian (MoU) yang juga mengedepankan kepentingan nasional Indonesia. Di antaranya, investor tersebut diwajibkan untuk mengolah setidaknya 60 persen nikel yang akan digunakan untuk memproduksi baterai listrik harus diproses di Indonesia. Pemerintah tidak ingin para investor itu membawa nikel keluar wilayah Indonesia dan mengolahnya di luar negeri.
Apabila rencana tersebut terwujud maka Indonesia akan menjadi negara pertama di dunia yang mengintegrasikan industri baterai listrik mulai dari pertambangan hingga memproduksi baterai kendaraan listrik. Bahkan, berlanjut hingga perakitan unit kendaraan listrik berikut proses daur ulang baterainya sehingga tidak mencemari lingkungan.
Tahapan yang diskenariokan dalam roadmap industrialisasi baterai tersebut perlahan-lahan mulai terealisasi. Pada pertengahan September lalu, Presiden Joko Widodo melakukan groundbreaking pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik pertama PT HKML Battery Indonesia di kawasan Karawang New Industry City (KNIC), Jawa Barat.
PT HKML Battery Indonesia merupakan anak perusahaan konsorsium LG Energy Solution, Hyundai, Hyundai Mobil, Kia Mobil, dan PT Industri Baterai Indonesia (BUMN Baterai Indonesia) dengan nilai investasi sebesar 1,1 miliar dollar AS.
Kapasitas produksi pada tahap pertama nanti akan diawali dengan produksi baterai hingga 10 gigawatt hour (GWh) yang akan ditingkatkan bertahap hingga 30 GWh untuk memenuhi suplai kendaraan listrik Hyundai. Selanjutnya, pada Desember 2021 nanti, direncanakan CATL akan memulai pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik yang kedua di Indonesia
Apabila program hilirisasi industri nikel itu sukses sesuai yang direncanakan maka diperkirakan dalam kurun 3 hingga 4 tahun mendatang Indonesia berpotensi menjadi produsen utama produk-produk barang jadi berbasis nikel seperti baterai lithium, baterai listrik, dan baterai kendaraan listrik.
Pemerintah serius dalam memberikan dukungan dalam pengembangan ekosistem industri baterai dan kendaraan listrik di Indonesia. Selain berpengaruh positif pada reduksi emisi pada sektor transportasi, upaya hilirisasi nikel tersebut berpotensi besar meningkatkan kemajuan dan kemandirian bangsa terutama dari segi teknologi baterai kendaraan dan juga perakitan atau produksi unit kendaraan listrik. (LITBANG KOMPAS).
Baca juga : Pembangkit Energi Kunci Reduksi Emisi GRK (Bagian Satu)