Penuh Harap dan Keraguan, Deklarasi Hutan di COP 26 Glasgow
Sekalipun banyak negara turut menandatangani kesepakatan perlindungan hutan di tingkat global, kenyataannya masih banyak yang melanggengkan praktik deforestasi atau penggunaan hutan tanpa kaidah pelestarian lingkungan.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·4 menit baca
REUTERS / UESLELI MARCELINO
Foto udara kayu yang ditebang secara ilegal dari hutan Amazon terlihat di pabrik penggergajian kayu di kawasan Humaita, Negara Bagian Amazonas, Brasil (22/8/2019).
Kesepakatan melindungi hutan dalam Pertemuan Perubahan Iklim COP 26 Glasgow menumbuhkan harapan untuk mengatasi perubahan iklim. Di sisi lain keraguan muncul melihat lemahnya penerapan kesepakatan-kesepakatan perlindungan hutan sebelumnya. Komitmen penuh negara-negara dibutuhkan untuk mencapai target kesepakatan.
Keberadaan hutan memiliki relasi dengan perubahan iklim. Karenanya, ketika berbicara tentang perubahan iklim, pembahasan tentang hutan selalu disertakan. Setidaknya ada dua hal penting yang menjadi topik utama, yaitu peran vital hutan dan degradasi hutan.
Kedua hal ini saling berkaitan. Jika terjadi degradasi lingkungan hutan maka fungsi hutan berkurang atau bahkan hilang. Begitu pula sebaliknya, jika hutan terjaga maka peran hutan menjadi optimal.
Hutan berperan besar dalam perubahan iklim sebagai penyimpan atau penyerap karbon. Hutan di seluruh dunia menyerap karbon dioksida sekitar dua kali lebih banyak dibandingkan yang dikeluarkan pada 2001 sampai 2019. Dalam periode itu, 7,6 miliar metrik ton karbon dioksida diserap hutan setiap tahunnya. Angka itu 1,5 kali lebih besar dari karbon dioksida yang dihasilkan Amerika Serikat setiap tahunnya.
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI
Pembalakan liar di kawasan hutan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu, Riau. Ribuan keping papan bekas penebangan ditemukan di dalam hutan (5/10/2016).
Namun, di sisi lain dalam kondisi rusak karena pembabatan dan pembakaran, hutan bertanggung jawab atas 12 persen hingga 20 persen dari emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Dua kondisi bertolak belakang ini menunjukkan posisi penting hutan dalam permasalahan perubahan iklim. Jika hutan terjaga akan membantu menyerap emisi karbon. Tetapi jika luasan hutan berkurang, peran itu hilang dan malah menyumbang emisi yang memperburuk kondisi bumi.
Mengingat pentingnya isu ini, pada Pertemuan Perubahan Iklim (COP 26) di Glasgow pada 31 Oktober sampai 12 November 2021, para delegasi dari 137 negara sepakat berkomitmen untuk menghentikan kehilangan hutan dan degradasi lahan serta memperbaiki dampaknya pada 2030. Komitmen ini tertera dalam dokumen Glasgow Leaders’ Declaration on Forests and Land Use.
Mengikuti kesepakatan itu, pendanaan untuk melindungi, memperbaiki dan meningkatkan manajemen hutan juga disetujui. Sebanyak 19,2 miliar dollar AS yang terdiri dari 12 miliar dollar AS dana publik dan 7,2 miliar dollar dana privat akan dikucurkan untuk melindungi hutan dunia. Sejumlah 1,7 miliar dollar AS digunakan untuk membantu masyarakat adat dan komunitas lokal dalam program mengatasi perubahan iklim.
Jika Kesepakatan Hutan di Glasgow itu dijalankan, maka kerugian hilangnya 32,8 juta hektar lahan hingga 2030 tidak akan terjadi. Dengan luasan tersebut, emisi 18,9 gigaton karbon dioksida ekuivalen dapat terhindarkan.
Tren hutan dunia
Apa yang disepakati di Glasgow itu memunculkan secercah harapan bagi usaha untuk mengatasi perubahan iklim. Bagi perlindungan hutan sendiri, dokumen itu menjadi pemacu untuk meningkatkan capaian selama ini yang sudah menunjukkan sinyal positif.
Berdasarkan data Organisasi Pangan Dunia (FAO) tahun 2000, tren laju kehilangan hutan terus menurun. Pada periode 2010 sampai 2020, dunia kehilangan luasan hutan sekitar 4,7 juta hektar per tahunnya. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dua dekade sebelumnya yaitu 7,8 juta hektar per tahun pada 1990-2000 dan 5,17 juta hektar pada 2000-2010.
Sinyal perbaikan juga ditunjukkan melalui data laju deforestasi dunia. FAO mencatat sejak 1990, sekitar 420 juta hektar hutan terimbas deforestasi. Akan tetapi laju deforestasi berangsur menurun. Pada 2015-2020 laju deforestasi dunia 10 juta hektar per tahun, lebih rendah dari periode 2010-2015 sebesar 12 juta hektar per tahun.
Akan tetapi, bukan berarti problem perubahan lahan hutan terselesaikan. Menarik isi dari Deklarasi Glasgow, ada dua poin penting yang menjadi komitmen penandatangan kesepakatan yaitu menghentikan kehilangan hutan serta degradasi lahan dan memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan. Dua poin ini dimaknai sebagai upaya preventif dan kuratif dalam permasalahan kehilangan dan kerusakan hutan.
AFP/GETTY IMAGES/ JUSTIN SULLIVAN
Sebuah truk melintas di jembatan dengan latar belakang tebing dan pohon yang telah terbakar dalam kebakaran hutan di Oroville, California, Amerika Serikat (1/6/2021). Laju kehilangan hutan di dunia terus bertambah akibat kebakaran hutan.
Berkurangnya laju kehilangan hutan dan deforestasi dunia menunjukkan keberhasilan upaya preventif dan akan ditingkatkan melalui target poin pertama Deklarasi Glasgow. Sementara tren kondisi perbaikan kerusakan dan degradasi lahan sebagai upaya kuratif justru cenderung melemah.
Hal ini tergambarkan salah satunya dari data FAO tentang perluasan hutan. Penambahan luasan hutan dunia berkurang dari tujuh juta hektar per tahun pada periode 2010-2015 menjadi lima juta hektar per tahun pada 2015-2020.
Jika penambahan luasan hutan dibandingkan dengan laju deforestasi maka masih lebih luas hutan yang hilang dibandingkan luasan hutan yang ditambah. Jika kondisi berlanjut maka luasan hutan terus akan berkurang sekalipun laju deforestasi menurun.
AFP/ANGELOS TZORTZINIS
Penduduk setempat berusaha memadamkan api yang mendekati desa Gouves di pulau Evia, Yunani (8/8/2021). Ratusan petugas pemadam kebakaran dikerahkan untuk mengendalikan kebakaran hutan di pulau Evia.
Waspada kegagalan berulang
Hal ini menjadi salah satu alasan munculnya kesepakatan-kesepakatan seperti di Glasgow yang terus membahas upaya kolektif demi melindungi hutan. Tanpa mengurangi apresiasi untuk capaian yang sudah digapai, perlu dicermati bahwa masih ada pekerjaan rumah yang belum terselesaikan dari pertemuan tingkat dunia sebelumnya.
Sejumlah dokumen terkait upaya mengurangi kehilangan hutan dan melakukan restorasi yang sudah disepakati belum mencapai targetnya. Salah satunya adalah Deklarasi New York Pada Hutan (The New York Declaration on Forests (NYDF).
Komitmen yang disetujui pada 2014 oleh lebih dari 200 negara, pemerintah, perusahaan, masyarakat adat dan LSM ini diambil untuk menghentikan kehilangan hutan. Terdapat sepuluh target yang akan dicapai, salah satunya mengurangi separuh laju kehilangan hutan alami pada 2020 dan menghentikan kehilangan hutan pada 2030.
Namun, target tersebut tidak tercapai. Berdasarkan deklarasi tersebut seharusnya pada 2020 luas kehilangan hutan 5,2 juta hektar per tahun atau separuh dari periode 2000-2010 yaitu 10,4 juta hektar per tahun. Sementara pada periode 2010-2020 terdapat rata-rata 7,8 juta hektar hutan hilang per tahun.
Untuk mencapai target 2030, rata-rata laju kehilangan hutan pada periode 2020-2025 harus turun menjadi 3,9 juta hektar per tahun. Dengan capaian selama ini, ambisi tersebut diperkirakan gagal dicapai.
Dari data-data itu tercatat bahwa laju kehilangan hutan memang menurun. Akan tetapi penurunannya belum memenuhi target. Ini baru satu dari empat indikator lain yang diukur untuk melihat tercapainya target deklarasi.
Tiga indikator lainnya juga menunjukkan kegagalan pencapaian target deklarasi. Ketiganya yaitu luasan kehilangan tutupan pohon, deforestasi global dan kehilangan hutan tropis primer.
Karena itu, dokumen kesepakatan yang dibuat tidak cukup untuk melindungi hutan. Yang terpenting adalah bagaimana mewujudkan kesepakatan itu menjadi aksi nyata di tengah tuntutan pembangunan yang menjadi dalih pemberian izin penggunaan lahan hutan. Tentunya komitmen ini bergantung pada kontrol pemerintah negara-negara dunia.
Sebab, sekalipun negara itu turut menandatangani kesepakatan perlindungan hutan di tingkat global, kenyataannya masih banyak yang melanggengkan praktik deforestasi atau penggunaan hutan tanpa kaidah pelestarian lingkungan.
Misalnya Brazil yang mengalami level tertinggi deforestasinya sejak 2008 di bawah pemerintahan Jair Bolsonaro. Janji pembangunan yang diberikan saat pemilihan presiden menjadikan kebijakan pemerintahannya lemah untuk melindungi hutan. Aktivitas pertanian dan pertambangan didukung di area Amazon, hutan hujan terbesar di dunia.
Kesepakatan mencegah kehilangan hutan pada COP26 Glasgow merekahkan harapan bagi upaya menahan perubahan iklim. Namun, komitmen menjalankan kesepakatan ini perlu dijaga demi mencapai target bukan hanya sekedar mengurangi laju kehilangan hutan atau deforestasi semata. (LITBANG KOMPAS)