Menyuarakan Minoritas Publik Tanpa Listrik
Masih ada segelintir masyarakat yang hidup dalam gelap gulita. Membuka akses listrik adalah upaya meningkatkan kesejahteraan.
Di tengah impitan masalah manusia modern, masih ada segelintir masyarakat yang hidup dalam gelap gulita. Gelap dalam artian sebenarnya, sejumlah rumah tangga belum mendapatkan kemudahan akses listrik, bahkan untuk sekadar menyalakan lampu penerangan.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada Maret 2021 menunjukkan, sebanyak 0,79 persen rumah tangga di Indonesia belum menggunakan listrik sebagai sumber penerangan utama.
Dari jumlah itu, proporsi rumah tangga minus listrik di wilayah perdesaan sebesar 1,73 persen, sementara di wilayah perkotaan 0,08 persen.
Susenas turut memotret 1,95 persen rumah tangga masih bertopang pada listrik non-PLN untuk sumber penerangan utama. Persentase rumah tangga dengan listrik non-PLN di wilayah perdesaan jauh lebih tinggi, yakni mencapai 4,14 persen.
Pers rilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 28 Mei 2021 menyebut 346 desa belum teraliran listrik.
Jumlah tersebut disampaikan seiring dengan laporan capaian rasio desa berlistrik (RDB) kuartal I yang mencapai 99,59 persen. RDB adalah angka perbandingan antara desa yang sudah mendapatkan aliran listrik dan jumlah desa di Indonesia.
Sementara itu, rilis Kementerian ESDM pada 19 Juni 2021 menyebut 433 desa belum teraliri listrik dan 5.231 desa berlistrik swadaya dengan kualitas yang kurang memadai.
Jumlah desa tanpa aliran listrik yang dinamis ini menunjukkan tetap diperlukannya keseriusan pemerintah dalam upaya pemerataan akses listrik. Data tersebut kiranya menjadi pengingat untuk semakin memprioritaskan penyediaan listrik di wilayah perdesaan.
Terlebih angka-angka kecil yang kadang diabaikan dalam data statistik tersebut kini bermakna sebaliknya, di tengah isu over kapasitas penyediaan listrik dan isu energi terbarukan.
Sesuai dengan cita-cita pemerintahan Presiden Joko Widodo bahwa cakupan listrik hingga 100 persen harus terwujud demi memenuhi hak dasar rakyat Indonesia, maka angka minus listrik perlu lebih disikapi.
Baca juga : Tantangan Menghadirkan Sumber Listrik
Daerah prioritas
Statistik Kesejahteraan Rakyat 2021 merekam lima provinsi dengan penggunaan listrik PLN terendah, khususnya di wilayah perdesaan. Kelimanya adalah Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat.
Di wilayah perdesaan Papua, baru 24,36 persen rumah tangga yang menggunakan penerangan bersumber dari listrik PLN. Kelompok terbesar (47,15 persen) memanfaatkan listrik non-PLN dan 28,5 persen mendapatkan penerangan dari sumber bukan listrik.
Cakupan ini menempatkan wilayah perdesaan Papua sebagai wilayah ”paling gelap” di antara daerah lainnya.
Sementara di perdesaan Papua Barat, kondisi lebih baik tampak dari 68,18 persen rumah tangga yang telah menggunakan listrik PLN sebagai sumber penerangan utama. Cakupan ini lebih baik dari tahun 2015 yang baru mencapai 62,72 persen.
Sejumlah upaya telah dilakukan PLN demi meningkatkan cakupan listrik di wilayah Papua dan Papua Barat, salah satunya dengan ”Program Papua Terang”. Sejak 2016, sebanyak 807 desa di kawasan terpencil Papua dan Papua Barat telah teraliri listrik dengan jumlah pelanggan 38.000 keluarga.
Pada 2020, PLN telah membangun jaringan listrik untuk 105 desa. Terdiri dari 42 desa di Papua dan 63 desa di Papua Barat. Setiap desa mendapatkan layanan listrik berdaya 20 hingga 200 kilowatt dari pembangkit listrik tenaga diesel, tenaga surya, dan mikrohidro.
Metode baru turut dikembangkan demi menyiasati tantangan geografis di pulau Papua. Misalnya, sejak awal 2021 PLN mendistribusikan tabung listrik pada 771 keluarga di Distrik Windesi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua Barat. Tabung listrik merupakan alat penyimpan daya listrik dengan kapasitas 300 watt jam (Wh), 500 Wh, dan 1.000 Wh.
Sebagai gambaran, tabung listrik berkapasitas 500 Wh dapat menyalakan tiga lampu rumah dalam lima hari. Tabung ini dapat di isi ulang di stasiun pengisian energi listrik (SPEL) yang memanfaatkan panel surya sebagai sumber energi (Kompas, 25/10/2021).
Sementara itu, tren penggunaan listrik PLN di NTT turut menunjukkan optimisme. Rumah tangga pengguna listrik PLN sudah mencapai 74,73 persen. Cakupan tersebut naik signifikan dibandingkan dengan tahun 2015 yang baru mencapai separuhnya (55,49 persen).
Perdesaaan di Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, juga masih banyak yang belum tersentuh listrik PLN. Cakupan terendah terekam di Kalimantan Tengah (76,04 persen) dan Kalimantan Barat (80,35 persen).
Baca juga : Energi Terbarukan Terkendala Teknologi
Optimisme
Untuk ukuran angka-angka statistik secara nasional, upaya pemerintah menuju target pemenuhan hak masyarakat pada akses listrik hampir mendekati garis akhir.
Susenas pada Maret 2021 memotret 99,21 persen rumah tangga telah menggunakan listrik. Rinciannya, 97,26 peren menggunakan listrik PLN dan 1,95 persen menggunakan listrik non-PLN.
Cakupan tersebut membaik dibandingkan dengan tahun 2011 yang baru menunjukkan 94,83 persen rumah tangga menggunakan listrik sebagai sumber utama penerangan.
DKI Jakarta dan DI Yogyakarta tercatat sebagai dua provinsi dengan cakupan listrik PLN sebesar 100 persen. Capaian ini menjadi pelecut pemenuhan energi listrik untuk provinsi lain di Jawa dan Bali yang belum semuanya menggunakan energi listrik.
Pemanfaatan listrik pada hampir semua rumah tangga tersebut bersesuaian dengan rasio elektrifikasi pada 2020 yang terealisasi sebesar 99,2 persen. Kementerian ESDM turut melaporkan adanya kenaikan rasio elektrifikasi pada triwulan ketiga 2021 menjadi 99,4 persen.
Rumah tangga yang teraliri listrik diharapkan terus meningkat seiring upaya PLN dalam menambah fasilitas pembangkit listrik ataupun mengembangkan metode baru pengaliran listrik.
Tantangan geografis pada daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal justru dapat dijadikan peluang untuk mengembangkan sumber energi baru terbarukan (EBT).
Metode baru seperti tabung listrik dan SPEL bertenaga surya dapat direpetisi untuk wilayah lain yang masih belum teraliri listrik. Hambatan geografis menjadi peluang mengembangkan EBT tak pelak menyumbang narasi penting dalam transformasi energi.
Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa listrik pun akhirnya sejalan dengan target bauran energi EBT 23 persen pada 2025 dan karbon netral pada 2060. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Keekonomian Tentukan Adopsi Kendaraan Listrik