Karier Dudung Abdurachman melesat setelah menjabat Pangdam Jaya. Langkah-langkahnya yang memicu perbincangan publik turut mendongkrak pamornya. Kini, jabatan KSAD pun diembannya.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·4 menit baca
Selama satu setengah dekade terakhir, setiap Kepala Staf TNI Angkatan Darat yang dilantik sebelumnya telah menjabat berbagai posisi strategis selama beberapa tahun. Namun, KSAD yang dilantik kali ini memiliki cerita berbeda. Selang beberapa tahun saja setelah menjadi perwira tinggi, Dudung Abdurachman meloncat menjadi pemimpin tertinggi di tubuh TNI AD.
Jalur untuk menjadi KSAD memiliki sebuah pola tersendiri. Sebelum menjabat, beberapa KSAD selama satu setengah dekade terakhir selalu menempati beberapa posisi strategis.
Umumnya, para komandan ini diangkat menjadi perwira tinggi (brigadir jenderal) dengan memimpin di tingkat resort militer (korem), kepala salah satu dinas atau direktur salah satu bagian di TNI AD, atau juga menempati posisi strategis di Akademi Militer (Akmil).
Setelah resmi menjadi perwira tinggi, mereka kemudian diberikan kesempatan untuk memimpin unit yang lebih strategis, seperti Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Jayakarta.
Selanjutnya, jalur bagi para perwira ini bercabang antara ditunjuk sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), Wakil KSAD, atau bahkan menjadi bagian di dalam tubuh pemerintahan eksekutif sebagai sekretaris Menteri Polhukam.
Setidaknya hal ini dialami beberapa KSAD terdahulu, mulai dari Djoko Santoso, Moeldoko, hingga Gatot Nurmantyo. Sebelum menjabat sebagai KSAD pada 2005 hingga 2007, Djoko pernah menjabat sebagai Komandan Korem 072/Pamungkas di Yogyakarta pada 1997-1998.
Perjalanan kariernya hingga menjadi KSAD dialami selama sembilan tahun, menanjaki berbagai posisi strategis, seperti Panglima Kodam XVI/Pattimura, Kodam Jaya, hingga Wakil KSAD.
Hal serupa dialami para penerus Djoko. Mulai dari Agustadi Sasongko hingga Gatot Nurmantyo, melewati enam sampai sepuluh pangkat setelah diangkat menjadi perwira tinggi hingga naik ke takhta KSAD. Selama proses tersebut, para perwira tinggi membutuhkan waktu tujuh sampai sepuluh tahun untuk bisa mencapai posisi puncak.
Namun, cerita berbeda justru dialami Dudung Abdurachman, KSAD baru yang resmi dilantik Presiden Joko Widodo pada 17 November 2021. Perjalanan karier sang komandan baru ini terbilang sangat cepat. Dalam waktu enam tahun saja setelah dilantik sebagai perwira tinggi, ia berhasil didapuk sebagai KSAD.
Perjalanan karier Dudung sebagai perwira tinggi diawali dengan menjabat sebagai Wakil Gubernur Akmil pada 2015 sampai 2016. Kariernya semakin menanjak seiring dengan posisinya di KSAD yang kian strategis sebagai staf khusus (2016-2017) dan wakil asisten teritorial (2017-2018).
Tak butuh waktu lama bagi Dudung untuk meraih bintang keduanya. Pada 2018, ia dianugerahi bintang tambahan selaras dengan ditunjuk sebagai Gubernur Akmil pada 2018.
Laju karier Dudung yang waktu itu berpangkat mayor jenderal semakin melejit. Setelah menjadi Gubernur Akmil hingga 2020, ia ditunjuk menjadi Pangdam Jaya. Bak memencet tombol ”turbo”, perjalanan Dudung menjadi KSAD sangat cepat.
Tak sampai setahun setelah diangkat menjadi Pangkostrad pada Juni 2021, ia dilantik menjadi KSAD lima bulan setelahnya. Artinya, dalam kurun waktu empat tahun, Dudung naik pangkat sebanyak tiga kali dari brigadir jenderal menjadi jenderal.
Jika ditelisik lebih jauh, moncernya karier Dudung agaknya sulit untuk dilepaskan dari kontroversi yang ia pantik ketika menjadi Pangdam Jaya.
Saat itu, ia secara terang-terangan bersengketa dengan Front Pembela Islam (FPI) di tengah peristiwa pulangnya Habib Rizieq, tokoh organisasi keagamaan tersebut, dari Arab Saudi.
Dudung memerintahkan jajaran di bawahnya untuk membersihkan baliho dan spanduk sambutan terhadap Habib Rizieq milik FPI yang tak berizin karena dinilai meresahkan.
Tak hanya itu, kepada wartawan, Dudung juga secara terang-terangan berpendapat bahwa FPI seharusnya dibubarkan. Ia berpendapat FPI berpotensi mengganggu persatuan dan kesatuan masyarakat di wilayah DKI Jakarta.
Peristiwa ini baiknya tak hanya dilihat sebagai sebuah peristiwa yang terpisah. Bagaimanapun, tindakan TNI dalam menekan organisasi sipil juga tidak sepenuhnya benar.
Meski belum sampai ke ranah pidana atau pelanggaran HAM, tindakan represif justru berpotensi untuk menciptakan gesekan, baik secara horizontal (antarmasyarakat) maupun vertikal (aparat versus masyarakat).
Tidak hanya itu, tak dapat dimungkiri, ingatan masyarakat terhadap polarisasi yang terjadi pada Pemilu 2019 masih belum hilang sepenuhnya. Maka, meskipun berstatus organisasi sipil, FPI memiliki muatan politik yang relatif kuat sebagai oposisi.
Tak ayal, keputusan Dudung sebagai Pangdam Jaya pun bisa saja disalahpahami sebagai keberpihakan TNI kepada kubu pemerintah (koalisi).
Walaupun dalam UUD 1945 TNI AD, AL, dan AU tunduk kepada presiden, netralitas TNI dalam politik merupakan prinsip yang tak boleh dilanggar. Jangan sampai keberpihakan kepada partai penguasa justru dijadikan batu loncatan untuk meraih jalur ekspres bagi perwira tinggi untuk naik jabatan.
Maka, dengan dilantiknya Dudung Abdurachman sebagai KSAD, pemerintah legislatif hingga publik harus terus mengawasi netralitas TNI demi menjaga marwah demokrasi di Indonesia. (LITBANG KOMPAS)