Dilema dihadapkan antara pembangunan dan isu lingkungan. Di satu sisi, peningkatan kegiatan ekonomi akan memperbaiki kesejahteraan, tetapi di sisi lain meningkatkan emisi karbon yang memicu pemanasan global.
Oleh
Gianie
·5 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Mural bertema lingkungan menghiasi tembok di pingir Situ Bungur, Ciputat, Tangerang Selatan, Senin (9/8/2021). Selain memperindah tampilan, mural bisa menjadi sarana menyampaikan pesan-pesan ataupun edukasi tentang kelestarian alam, kebersihan lingkungan, pemanasan global, dan isu-isu lingkungan lainnya.
Upaya negara-negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan fokus pada pembangunan infrastruktur dan sektor industri memiliki dilema. Di satu sisi, peningkatan kegiatan ekonomi akan memperbaiki kesejahteraan, tetapi di sisi lain meningkatkan emisi karbon yang memicu pemanasan global.
Di saat penyelenggaraan Konferensi Para Pihak ke-26 (COP 26) mengenai perubahan iklim di Glasgow, Skotlandia, 31 Oktober-13 November 2021, majalah The Economist pada 4 November 2021 menurunkan ulasan mengenai beton, material konstruksi dengan semen sebagai komponen utamanya.
Beton dan semen yang penggunaannya masif di planet ini, yang permintaannya terus meningkat, dianggap sebagai kabar buruk bagi pemanasan global.
Pasalnya, beton yang terbuat dari campuran semen, pasir, air, dan batu kerikil ini menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah besar. Dari 5 miliar ton produksi semen per tahun, menyumbang 8 persen dari total emisi CO2 yang berbahaya.
Menurut The Economist, jika industri semen ini diumpamakan sebagai sebuah negara, ia merupakan negara emitter ketiga yang terbesar di dunia setelah China dan Amerika.
Industri semen merupakan salah satu subsektor industri yang berpotensi meningkatkan emisi karbon sekaligus pengguna energi yang sangat masif, terutama batubara.
Hal itu tidak lepas dari perkembangan permintaan energi di sektor industri di Tanah Air saat ini yang masih didominasi oleh energi fosil, yaitu gas dan batubara.
Gas paling banyak digunakan oleh industri logam, pupuk (sebagai bahan baku), serta keramik dan kaca. Ketiga industri tersebut mengonsumsi sekitar 84 persen gas di sektor industri. Sementara batubara sebagian besar (92 persen) dikonsumsi oleh industri semen.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Petugas mengawasi proses produksi bahan baku obat alami di Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences, kawasan industri Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (11/3/2020).
Bahan bakar minyak hanya digunakan di sebagian kecil industri terutama untuk genset dan mesin industri. Sementara penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) di sektor industri juga masih kecil.
Sektor industri merupakan salah satu konsumen energi terbesar. Total konsumsi energi sektor industri ini sekitar 37 persen dari konsumsi nasional, hanya kalah oleh penggunaan energi di sektor transportasi (41 persen).
Roda perekonomian yang berputar kencang memunculkan dampak negatif. Hal itu terjadi baik di negara berkembang maupun negara maju. Peningkatan konsumsi energi tak terbarukan untuk pembangunan akan meningkatkan pula emisi karbon. Di sinilah letak dilema pembangunan infrastruktur dan industri dalam upaya menahan laju pemanasan global.
China dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2019 sebesar 5,9 persen (sebelum pandemi) merupakan penyumbang emisi CO2 terbesar di dunia, sebanyak 10.175 juta metrik ton (Mt) CO2. Disusul AS dengan pertumbuhan 2,2 persen dengan jumlah 5.285 juta Mt CO2.
Sementara Indonesia dengan pertumbuhan tahun 2019 sebesar 5,02 persen berada di urutan ke-8 penghasil emisi CO2 terbesar (618 juta Mt CO2). Setelah mengalami kontraksi minus 2,07 persen pada 2020, diperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 akan pulih menjadi 3,2 persen (versi IMF) dan 5,9 persen pada 2022. Dengan penggunaan EBT yang masih minim, peningkatan emisi CO2 akan terus terjadi.
Riset dari lembaga Sigmaphi Indonesia dalam webinar bertajuk ”Menuju COP 26 Glasgow: Transisi Energi, Financing, dan Kesiapan Industri”, Jumat (29/10/2021), menyebutkan bahwa peningkatan ekonomi Indonesia menghasilkan risiko karbon yang tinggi.
Peningkatan aktivitas ekonomi domestik sebesar 1 persen akan menimbulkan emisi karbon hampir dua kali lipat. Kondisi ini menunjukkan betapa aktivitas ekonomi Indonesia menyebabkan potensi degradasi lingkungan yang tinggi.
Terkait penggunaan energi, riset Sigmaphi juga memperlihatkan peningkatan biaya pokok produksi (BPP) tenaga listrik, susut energi, serta subsidi listrik cenderung berkorelasi positif terhadap peningkatan emisi GRK dan emisi CO2 dari sektor listrik. Semakin tinggi BPP tenaga listrik, susut energi, serta subsidi listrik, maka emisi GRK dan CO2 berpotensi meningkat secara signifikan.
Selain itu, penelitian dari Sigmaphi juga menemukan ada dampak yang positif dan signifikan antara pendapatan per kapita (GDP per kapita) terhadap degradasi lingkungan atau kenaikan emisi karbon, kecuali di AS dan Inggris.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Petugas Dinas Lingkungan Hidup DKI memasukkan alat penguji emisi ke knalpot kendaraan saat berlangsung uji emisi secara gratis di kompleks kantor di kawasan Cililitan, Jakarta, Selasa (2/11/2021).
Di AS dan Inggris, kenaikan pendapatan per kapitanya malah menurunkan emisi CO2. Artinya, kenaikan kesejahteraan masyarakat di kedua negara tersebut sejalan dengan tujuan untuk menurunkan emisi karbon.
Hal tersebut bisa dimaklumi karena negara-negara yang berpendapatan tinggi seperti AS dan Inggris memiliki modal yang cukup untuk beralih pada adaptasi teknologi yang ramah lingkungan. Sumber pembiayaan untuk mewujudkan penggunaan EBT tersedia juga lebih banyak.
Perubahan-perubahan harus dilakukan untuk mencegah degradasi lingkungan akibat aktivitas ekonomi yang meningkat. Pembangunan infrastruktur dan kegiatan industri tidak bisa dibendung untuk mewujudkan kesejahteraan. Namun, dampak negatifnya terhadap lingkungan harus bisa dikurangi. Apalagi kesejahteraan merupakan jalan atau modal untuk menurunkan emisi karbon.
Langkah efisiensi dan konservasi energi di sektor industri mutlak dilakukan. Kementerian Perindustrian memperkirakan sektor industri dapat melakukan penghematan konsumsi energinya sebesar 10-30 persen.
Salah satu langkah efisiensi adalah melalui pengembangan industri hijau. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian sudah diatur mengenai industri hijau.
Pasal 3 huruf (c) menyebutkan, perindustrian diselenggarakan dengan tujuan mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta industri hijau.
Industri hijau adalah industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
Strategi untuk mewujudkan industri hijau ada dua, yaitu menghijaukan industri eksisting yang sudah ada dan penciptaan industri hijau yang baru.
Implementasi industri hijau adalah dengan melakukan proses 4R (reduce, reuse, recycle, recovery), penghematan energi, air, dan material, penggunaan teknologi rendah karbon, penggunaan produk ramah lingkungan, penggunaan energi alternatif, serta manajemen pengolahan limbah terintegrasi.
Kompas/Hendra A Setyawan
Petugas mengisi daya mobil listrik kendaraan di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) Pertamina, Jalan Fatmawati, Jakarta, Rabu (1/9/2021). Pemerintah menargetkan sebanyak 15 juta kendaraan listrik, terdiri dari 2 juta unit roda empat dan 13 juta unit roda dua, beroperasi di Indonesia pada tahun 2030. Hal itu dapat menghemat impor BBM setara 77.000 barel per hari, menghemat devisa 1,8 miliar dollar AS, dan menurunkan emisi gas karbon 11,1 juta ton.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, sepanjang 2010-2019 terdapat 895 perusahaan industri yang mendapat penghargaan industri hijau.
Pada tahun 2019, dari implementasi industri hijau, berhasil dilakukan penghematan energi yang setara dengan Rp 3,4 triliun. Sementara penghematan air juga berhasil yang ekuivalen dengan Rp 228,9 miliar.
Di industri semen, efisiensi bisa dicapai antara lain dengan efisiensi energi sebanyak 6,15 persen dan penggunaan energi alternatif 5,79 persen. Adapun emisi karbon bisa dikurangi sebanyak 797.010 ton CO2.
Efisiensi juga dilakukan oleh sektor industri lainnya, seperti industri pupuk dan petrokimia, logam, pulp dan kertas, serta industri lainnya.
Transformasi ke penggunaan EBT menjadi kunci untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih berpihak pada kelestarian lingkungan. Percepatan implementasi EBT butuh komitmen yang kuat dan menjadi penentu keseriusan Indonesia berkontribusi mencapai tujuan COP 26, yaitu mewujudkan Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. (LITBANG KOMPAS)