Tidak dapat disangkal, China memegang peranan penting dalam isu perubahan iklim di kancah internasional.
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·5 menit baca
AP PHOTO/POOL/ALBERTO PEZZALI
Para pemimpin dunia berfoto bersama saat malam resepsi menandai pembukaan KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26 di Glasgow, Skotlandia (1/11/2021). KTT iklim ini digelar untuk memaparkan visi para pemimpin dunia dalam mengatasi tantangan pemanasan global.
Absennya Presiden China Xi Jinping secara langsung dalam di Konferensi Tingkat Tinggi ke-26 tentang Perubahan Iklim (COP 26) memberikan banyak tafsiran dan wacana. Padahal, China adalah negara terbesar yang menyumbangkan emisi karbon bagi bumi. Karenanya, isu perubahan iklim mau tidak mau akan bergantung pada kebijakan Pemerintahan China.
Konferensi Tingkat Tinggi Ke-26 tentang Perubahan Iklim (COP 26), yang berlangsung di Glasgow, Skotlandia, pada 31 Oktober-12 November kemarin tidak dihadiri oleh sejumlah pemimpin negara. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Brasil Jair Bolsonaro, dan tentu saja Presiden China Xi Jinping yang lebih memilih bergabung melalui konferensi video.
Di antara para pemimpin yang tidak hadir, hanya Xi Jinping yang mampu menyedot perhatian publik dengan ketidakhadirannya secara langsung. Absennya Xi dikarenakan rapat besar Partai Komunis China yang berlangsung pada 8-11 November 2021.
Keikutsertaan Xi dalam COP 26 secara daring justru menjadi bahan sindiran oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Sindiran Biden dilontarkan saat ia diberikan pertanyaan oleh salah seorang wartawan ketika menyampaikan pernyataan dalam COP 26.
AFP/GREG BAKER
Foto yang diambil pada 29 September 2021 ini memperlihatkan Presiden China Xi Jinping (tengah) tiba bersama Perdana Menteri Li Keqiang (kiri) untuk menghadiri acara resepsi Hari Nasional China di Gedung Balai Agung Rakyat di Beijing, China.
Menurut Biden, China dan Rusia telah melakukan kesalahan besar dengan tidak hadir langsung dalam KTT. Ia menambahkan bahwa permasalahan iklim adalah hal terpenting bagi belahan dunia manapun, tapi kedua negara tersebut tidak mampu memberikan penegasan atas perannya sebagai pemimpin dunia.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, yang dikenal diplomat agresif Pemerintah China membalas bahwa AS yang berusaha mendiskreditkan China di COP 26, padahal AS sendiri memiliki rekam jejak buruk terkait mitigasi krisis iklim.
Pada Kesepakatan Paris 2015, Presiden AS Donald Trump memilih mundur dan mengutamakan perekonomian AS. Pemerintah China merasa memiliki hak seperti negara-negara Barat di masa lalu yang melepaskan karbon dioksida dalam proses mengembangkan ekonominya dan menguruangi tingkat kemiskinan rakyatnya.
Sindir menyindir antara AS dan China di COP 26 kali ini hanyalah salah satu percikan yang menandakan sejumlah konflik lainnya di antara kedua negara besar itu. Konflik berkepanjangan di Taiwan, pelanggaran hak asasi manusia etnis Uighur, konflik Laut China Selatan, dan tuduhan asal-usul Covid-19 menjadi deretan kritik yang terus ditelan oleh Pemerintah China. Di sisi lain, China sedang gencar mendekati negara-negara berkembang dengan proyek Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative atau BRI) miliknya.
Beban China
Dapat dikatakan, China menghadapai tantangan paling besar dalam persoalan penurunan emisi karbon dibandingkan negara lainnya. Total emisi karbon yang dihasilkan China pada 2020 mencapai 10,7 miliar ton per tahun. Dengan kata lain, China menyumbangkan sepertiga dari total keseluruhan emisi karbon dunia pada tahun yang sama.
Jika melihat jumlah emisi karbon tiap negara, jumlah emisi karbon yang dihasilkan China memang terbilang fantastis dibandingkan negara lainnya. Memang, negara Amerika Serikat, India, Rusia, dan Jepang menjadi deretan negara penyumbang terbesar emisi karbon. Meski begitu, jika angka emisi karbon keempat negara tersebut dijumlahkan, totalnya masih lebih besar emisi karbon dari China per 2020.
Merujuk pada laporanGlobal Carbon Project, China menjadi penyumbang emisi karbon terbesar sejak 2006 hingga kini. Sebelumnya, penyumbang karbon terbesar dihuni oleh AS sejak pendataan dimulai pada 1959. Di 2006, emisi karbon China tercatat 6,5 miliar ton per tahun dan AS 6,1 miliar ton per tahun.
CHINA OUT AFP PHOTO
Foto udara menunjukkan kabut asap menyelimut kota Wuhan, Provinsi Hubei, China tengah, 3 Desember 2009. China adalah salah satu pengemisi terbesar gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.
Latarnya dapat dilacak dalam pemerintahan China di bawah komando Presiden Jiang Zemin kala itu. Ia memang dikenal sebagai pemimpin yang gencar meningkatkan hubungan China dengan dunia luar termasuk AS dan Rusia, sekaligus mempertahankan kontrol ketat Partai Komunis China dalam urusan internal pemerintahan. Pada Desember 2001 lalu, ia memutuskan untuk bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan sejak itulah manufaktur di sana mulai berkembang masif di bawah kontrol pemerintahan.
Dengan demikian, emisi karbon China juga melonjak. Rata-rata peningkatan laju emisi setiap tahun dari tahun 2002 hingga 2007 mencapai 13 persen kala itu. Ekspansi produksi ini membawa China menjadi konsumen energi dan penghasil karbon dioksida terbesar di dunia.
Presiden Xi mengatakan bahwa China akan mengurangi secara bertahap penggunaan batu bara mulai 2026. Dengan begitu emisi karbon akan terus berkurang sebesar pengurangan 60 persen hingga 65 persen hingga target pada 2030 nanti. Pernyataan ini juga termuat dalam kebijakanNationally Determined Contributions (NDC) yang dirancang sejak 2016 dan mengalami beberapa kali pembaruan terakhir pada 28 Oktober 2021.
KOMPAS/KRIS RAZIANTO MADA
Bus bertenaga listrik beroperasi di jalan-jalan Beijing, China (18/2/2018). Kendaraan bertenaga listrik adalah salah satu China menekan polusi udara.
Secara ringkas, dalam NDC tersebut China memastikan mencapai puncak emisi pada 2025. Lalu, secara bertahap China mengurangi pemakaian batubara sejak tahun 2026 dan pada 2030 China berjanji meningkatkan kapasitas listrik bersih dari tenaga matahari dan angin menjadi 1.200 gigawatt. Target akhirnya ialah dekarbonisasi pada tahun 2060.
Namun demikian, proyek NDC China tetap mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan, karena targetnya yang terlihat ambisius semata. Media kenamaan asal AS, Bloomberg, bahkan mengulas tajam persoalan ini dengan menyoroti perusahaan-perusahaan raksasa di China yang memberikan sumbangan besar emisi.
Misalnya, perusahaan besi dan baja terkemuka di dunia, China Baowu, yang menghasilkan emisi karbon lebih besar dibandingkan dengan keseluruhan wilayah Pakistan. Begitu juga dengan anak perusahaan Sinopec Group bernama China Petroleum & Chemical yang berkontribusi lebih besar pada pemanasan global tahun lalu dibandingkan keseluruhan Kanada. Kedua perusahaan itu tidak lain dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah China.
AFP/STR/CHINA OUT
Warga mengisi daya untuk kendaraan listriknya di sebuah stasiun layanan pengisian daya di Hangzhou, Provinsi Zhejiang Timur China, Senin (14/1/2019). Stasiun pengisian ini salah satu stasiun pertama di negara ini yang menawarkan layanan pengisian bahan bakar gas alam (CNG) dan mobil listrik.
Jawaban China
Pemerintah China tampaknya sadar diri ketika saat ini sebagian besar negara di dunia menuding dirinya terhadap permasalahan pemanasan global saat ini. Dalam membalas sindiran Presiden AS Joe Biden, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin menyatakan bahwa negara-negara di COP 26 jangan hanya melihat hanya dari kehadiran (fisik), tetapi dari janji dan penerapannya.
Memang nyatanya, China menghasilkan lebih banyak tenaga surya dan angin ketimbang negara lainnya sebagai penerapan transisi ke teknologi hijau. Data terbaru dari Badan Energi Terbarukan Internasional (International Renewable Energy Agency atau IRENA), total energi dari instalasi listrik ramah lingkungan milik China jauh lebih banyak dari negara manapun. Pada 2019, tercatat 1,61 petawatt energi milik China yang dihasilkan dari teknologi hijau seperti tenaga surya, olahan organik, dan tenaga air.
Begitu juga dalam mendorong produksi kendaraan listrik, China masih unggul dibandingkan negara lainnya. Tahun lalu, China tercatat memproduksi 4,5 juta unit kendaraan listrik, sedangkan Amerika Serikat hanya mampu memproduksi 1,78 unit saja. Pada 2025 nanti, China memproyeksikan produksi baterai kendaraan listriknya bertambah dua kali lipat dibandingkan 2020 kemarin.
Getty Images/Kevin Frayer
Pekerja dari Wuhan Guangsheng Photovoltaic mengerjakan proyek panel surya di atap sebuah gedung bertingkat 47 di Wuhan, China, Senin (15/7/2018). China merupakan produsen energi surya terbesar di dunia. Kapasitas di China mencapai 77 gigawatt pada 2016
Melihat semua data ini, maka terlihat posisi sentral China dalam permasalahan pemanasan global di bumi. Di satu sisi China memang menjadi penyumbang terbesar emisi karbon, tapi di sisi lain menjadi negara yang paling inovatif dan produktif dalam mencari jalan keluarnya. Perlu diakui, industri manufaktur di China, terutama milik pemerintah memiliki peluang besar dalam hal sumber daya manusia, strategi jangka panjang, dan memobilisasi investasi skala besar.
Bagaimana dengan Indonesia? Tentunya usaha menjalin kerja sama dan relasi yang baik dengan Pemerintah China menjadi jalan paling aman untuk ditempuh hingga saat ini. Harapannya, di dalam relasi itulah terjalin transfer ilmu pengetahuan dan teknologi demi membangun bangsa ini. (LITBANG KOMPAS)