Partai Baru Berjalan di Lorong Sempit
Partai politik baru harus mampu melalui lorong sempit di tengah dominasi partai-partai besar yang sudah mapan. Tak jarang lorong sempit itu sekaligus berjalan terjal dan bergelombang. Bisakah partai baru melaluinya?
Kehadiran partai politik baru menjelang pemilihan umum di satu sisi menjadi sinyal positif bahwa antusiasme publik tetap terjaga dan tidak apatis dengan kondisi politik.
Namun, di sisi lain, masa depan partai politik baru akan menemui tantangan yang tidak mudah. Ibaratnya, partai baru akan berjalan di lorong sempit, yang tak mudah dilaluinya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Setidaknya ada tiga lorong sempit yang harus dilalui partai politik baru untuk berlaga di panggung politik. Lorong sempit pertama adalah makin terbatasnya peluang partai baru mendapat dukungan politik di tengah makin menguatnya dominasi partai-partai lama yang selama ini sudah menguasai parlemen.
Hasil survei Litbang Kompas, Oktober 2021, menangkap pesan bahwa tingkat keterpilihan partai politik lama yang selama ini mewarnai panggung politik nasional masih mendominasi pilihan publik.
Dari konfigurasi partai lama ini pun, tiga besar partai politik hasil Pemilu 2019 tetap berada dalam papan atas tingkat keterpilihan. Tiga besar partai itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Golkar.
Selain ketiga partai besar di atas, partai-partai politik lain yang saat ini memiliki kursi di parlemen nasional diprediksi akan mampu bertahan menjadi barisan partai-partai lama yang sudah memiliki pasar pemilih.
Partai-partai itu adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Harapan partai baru untuk mendulang suara dari pemilih partai-partai yang relatif sudah mapan ini tentu bukan hal mudah. Apalagi jika mengacu hasil survei yang menangkap bahwa pemilih mula dan pemilih muda pun sebagian besar juga masuk dalam kelompok pemilih partai-partai yang sudah mapan ini.
Dari kelompok responden generasi Z yang notabene pemilih mula (17 tahun hingga < 24 tahun) tercatat sepertiga (31,2 persen) dari mereka mendistribusikan pilihannya ke partai tiga besar, yakni PDI-P, Gerindra, dan Partai Golkar.
Hal yang sama juga terekam dari kelompok responden dari generasi Y atau milenial (24-39 tahun). Sebanyak 33,7 persen dari mereka menjatuhkan pilihan ke tiga partai besar yang sama. Artinya, porsi terbesar dari pemilih pendatang baru pun sudah ”terkooptasi” dengan partai-partai lama.
Fakta ini pada akhirnya melahirkan lorong sempit kedua bagi partai baru, yakni adanya gejala keengganan pemilih untuk melirik partai baru dalam pemilu nanti. Hampir 60 persen responden dalam survei Kompas, Oktober lalu, menyatakan tidak tertarik untuk memberikan suaranya untuk partai-partai baru di Pemilu 2024 nanti.
Ketidaktertarikan ini terkonfirmasi dengan masih banyaknya responden yang belum mengetahui keberadaan partai baru tersebut. Ibarat pepatah mengatakan, ”tak kenal, maka tak sayang”, bisa jadi itu menjadi problem bagi partai politik baru untuk meningkatkan popularitasnya ke hadapan pemilih.
Dengan meningkatkan eksposur, boleh jadi akan mendongkrak kesadaran publik akan hadirnya partai baru tersebut.
Setidaknya hal ini diperkuat dengan data survei yang merekam hampir mayoritas responden (83.1 persen) tidak mengetahui nama-nama partai politik baru yang akhir-akhir ini muncul.
Dari responden yang menjawab tahu pun, masih saja menyebutkan nama-nama partai yang sudah pernah berlaga di Pemilu 2019, seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), dan Partai Berkarya. Bahkan, Partai Nasdem yang sudah menjadi peserta pemilu sejak 2014 masih saja dikategorikan partai baru oleh sebagian kecil responden.
Sementara partai-partai baru yang memang lahir menjelang Pemilu 2024 hanya disebutkan sebagian responden. Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) disebutkan oleh 4,3 persen responden, diikuti oleh Partai Masyumi, Partai Indonesia Damai (PID), dan Partai Ummat yang dimotori oleh mantan Ketua MPR Amien Rais. Keempat partai baru ini menempati partai politik baru yang paling atas disebutkan responden.
Baca juga : Ujian Politik Partai Politik Baru
Modal sosial
Lorong sempit ketiga yang harus dihadapi partai politik baru adalah bagaimana meyakinkan kepada calon pemilih bahwa mereka memiliki modal sosial yang kuat sehingga pemilih secara sukarela, tanpa paksaan, akan mengalihkan suaranya kepada partai-partai baru ini.
Setidaknya, survei Litbang Kompas menangkap ada lima modal sosial yang harus dimiliki sebuah partai dan hal ini menjadi pertimbangan pemilih menentukan pilihan politiknya.
Kelima hal tersebut adalah ideologi dan nilai-nilai yang diperjuangkan partai, ketokohan, popularitas, visi dan misi, serta program kerja partai. Kelimanya menjadi aspek yang dipertimbangkan oleh pemilih dalam menentukan pilihan terhadap partai politik.
Tentu, jika mengacu partai-partai politik yang sudah mapan, sebagian besar aspek tersebut sudah dimiliki. Salah satu aspek yang paling menonjol tentu adalah ketokohan.
Siapa yang tidak kenal sosok Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI-P ataupun sosok Prabowo Subianto yang memimpin Partai Gerindra selama ini.
Selain aspek ketokohan, tentu aspek popularitas partai juga tidak bisa diabaikan. Partai-partai yang sudah mapan secara elektabilitas sebagian besar juga sudah ditopang oleh popularitas mereka yang seiring dengan aspek ketokohan maupun ideologi dari partai yang selama ini sudah melekat.
Nah, tentu ini menjadi lorong sempit yang mau tidak mau harus dilalui oleh partai politik baru. Apalagi dengan popularitas yang masih minim, bukan hal yang mudah mereka bisa berlaga dalam panggung kontestasi politik nasional.
Baca juga : Menguji Kemapanan Pilihan Partai Politik
Ujian partai
Ketiga lorong sempit yang menjadi ujian sekaligus ”hambatan” bagi partai baru di atas pada akhirnya juga akan menentukan apakah partai baru hadir sekadar meramaikan hiruk pikuk pesta demokrasi lima tahunan atau benar-benar hadir sebagai poros kekuatan partai politik alternatif dari yang sudah ada sebelumnya.
Jika mengacu pengalaman di pemilu-pemilu sebelumnya, hadirnya partai baru tidak semuanya mengalami kemujuran. Hanya sedikit partai baru yang sukses bertahan dan kemudian mampu bertengger di papan menengah atas partai politik nasional.
Itu pun ditopang oleh sosok ketua umumnya yang memang menjadi variabel utama kesuksesan partai tersebut di pemilu. Hal ini dialami di antaranya oleh Partai Demokrat yang pertama ikut pemilu pada tahun 2004 dan berhasil mendulang 7,4 persen suara dalam debutnya.
Publik paham, Demokrat identik dengan sosok Susilo Bambang Yudhoyono, presiden terpilih di pemilihan presiden 2004.
Hal yang sama juga terjadi di Partai Gerindra yang menjalani debutnya di Pemilu 2009 dengan meraup 4,5 persen suara. Sosok Prabowo, diakui atau tidak, menjadi faktor pendorong sikap pemilih untuk memilih partai ini.
Demikian juga lahirnya Partai Nasdem yang mengawali pengalaman sebagai peserta pemilu pada 2014 dengan raihan suara mencapai 6,7 persen. Sosok ketua umumnya, Surya Paloh, juga tak bisa dilepaskan dari partai ini.
Kehadiran partai politik baru adalah hak demokrasi sekaligus potret optimisme publik terhadap kehidupan politik saat ini.
Pada akhirnya, kehadiran partai politik baru harus disambut positif sebagai bagian dari hak demokrasi sekaligus optimisme publik terhadap kehidupan politik saat ini.
Tinggal bagaimana kemudian partai baru mampu menyuguhkan dirinya sebagai kekuatan alternatif untuk menarik perhatian pemilih. Partai baru perlu memiliki strategi dan kalkulasi yang matang agar lebih mudah untuk melewati lorong-lorong sempit yang harus dilaluinya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Kepastian Hukum Jadwal Pemilu