Dunia pendidikan kembali dikejutkan dengan kasus kematian seorang mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jawa Tengah. Kasus ini kembali menguak luka lama praktik kekerasan fisik di perguruan tinggi.
Oleh
Kendar Umi Kulsum
·4 menit baca
Kematian Gilang Endi Saputra (21), mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta, pada Minggu (24/10/2021) menjadi bukti praktik perpeloncoan disertai kekerasan masih terjadi. Gilang meninggal setelah mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan dasar resimen mahasiswa (menwa) UNS yang bertajuk ”Pendidikan Pra Gladhi Patria Angkatan XXXVI Korps Mahasiswa Siaga Batalyon 905 Jagal Abilawa” di kompleks UNS, Kota Surakarta. Kegiatan yang sedianya dilaksanakan pada 23-31 Oktober 2021 itu akhirnya dihentikan.
Dari hasil otopsi, Gilang tewas karena luka akibat benda tumpul yang menyebabkan dia mati lemas. Aparat Kepolisian meningkatkan status pemeriksaan dengan penyidikan menjadi penyelidikan dan menahan enam orang dan telah memeriksa 26 saksi.
Akibat peristiwa ini, Rektor UNS Jamal Wiwoho bertindak tegas dengan membekukan Unit Kegiatan Mahasiswa Menwa UNS melalui Surat Keputusan Rektor UNS yang dikeluarkan pada 27 Oktober 2021. Dalam SK Rektor tersebut disebutkan, Korps Mahasiswa Siaga atau Menwa Batalyon 905 Jagal Abilawa UNS dilarang melakukan aktivitas apa pun.
Potret kekerasan
Kekerasan juga terjadi saat pendidikan dasar mahasiswa pencinta alam (mapala) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta pada Januari 2017 yang mengakibatkan tiga orang tewas dan belasan pesertanya harus menjalani rawat inap dan rawat jalan di rumah sakit.
Pada 2007, dunia perguruan tinggi di Indonesia juga pernah digegerkan oleh video viral kekerasan fisik yang dilakukan praja senior Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) terhadap praja yunior. Seorang praja IPDN, Cliff Muntu, meninggal sangat mengenaskan pada 3 April 2007. Berdasarkan hasil forensik, ia mengalami sembab pada bagian otak, memar di jantung, paru-paru, pendarahan di ginjal, limpa, dan hati, serta memar pada buah zakar. Hasil forensik Cliff Muntu menunjukkan adanya kekerasan dan penganiayaan berat yang dilakukan oleh praja seniornya.
Setelah kasus kekerasan tahun 2007, STPDN berubah menjadi IPDN dan mengubah manajemen perekrutan serta menghapuskan pola pembinaan oleh senior.
Sebelumnya, pada tahun 2003 praja yunior Wahyu Hidayat meninggal karena dianiaya 10 praja STPDN. Belakangan, Pengadilan Tinggi Negeri Sumedang menjatuhkan vonis penjara terhadap para pelaku. Dua tahun sebelumnya, pada 21 Februari 2001, Eri Rahman meninggal karena dianiaya delapan mahasiswa STPDN Jatinangor, tetapi kasus ini tidak pernah mencuat ke publik.
Kekerasan yang terjadi di perguruan tinggi semimiliter milik pemerintah tersebut juga membongkar buruknya inisiasi senior kepada yunior. Kekerasan dalam pendidikan juga kerap meninggalkan trauma mental, cedera berat, dan putus sekolah. Oleh karena itu, kekerasan fisik di kampus tidak dapat dibiarkan karena melawan dari tujuan pendidikan itu sendiri.
Payung hukum
Menteri Pendidikan dan Kebudyaan Nadiem Anwar Makarim telah merencanakan merancang aturan untuk membasmi tiga dosa dalam pendidikan, yaitu intoleransi, kekerasan, dan perundungan, bahkan aturan terkait kekerasan seksual di perguruan tinggi. Dengan demikian, harapan tidak lagi terjadi diskriminasi dan kekerasan, baik kekerasan fisik, mental, maupun kekerasan seksual, di lingkungan pendidikan tinggi.
Kekerasan yang terjadi berulang kali di dunia pendidikan tinggi tentu saja menjadi keprihatinan bersama karena seakan-akan hukum di Indonesia tidak berdaya. Sebenarnya, payung hukum pencegahan kekerasan di lingkungan perguruan tinggi telah ada di Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Menwa saat ini harus berbenah menghadapi situasi perubahan. Menwa sekarang seharusnya berpegang teguh dan merujuk pada konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengajaran, pendidikan, penelitian, dan pengembangan, serta pengabdian pada masyarakat.
Menanggapi tewasnya mahasiswa dalam diksar menwa, Kepala Staf Komando Nasional Resimen Mahasiswa Indonesia M Arwani Denny mengungkapkan bahwa kegiatan diksar tidak boleh menjatuhkan korban jiwa, kecelakaan dianggap sebuah kegagalan organisasi(Kompas, 28/10/2021). Selain itu, menwa telah memiliki aturan bahwa setiap pendidikan harus zero accident, setiap diklatsar harus ada pengawasan untuk mencegah insiden.
Kekerasan seksual
Selain kekerasan fisik, kekerasan seksual juga menimpa dunia pendidikan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berharap adanya kebijakan internal di seluruh jenjang pendidikan untuk memastikan lingkungan pendidikan menjadi ruang aman yang bebas dari kekerasan seksual. Kebijakan ini untuk membangun mekanisme pencegahan, penanganan, dan pemulihan untuk korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Bahkan, untuk pendidikan tinggi telah disahkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Di lingkungan pendidikan di bawah pengawasan Kementrian Agama, misalnya, telah ada Keputusan Dirjen No 5.494/2019 tentang Pedoman Pencegahan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).
Pengesahan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi krusial karena kasus kekerasan seksual semakin menonjol di institusi pendidikan. Korban kekerasan seksual kerapkali menemui jalan buntu untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan karena banyak hambatan saat melaporkan kasus yang menimpanya.
Menghapus kekerasan di dunia pendidikan tinggi menjadi kepentingan berbagai pihak, maka semua pemangku kepentingan harus dapat berjalan bersama. (LITBANG KOMPAS)