Menanti Pengakuan Profesi Pekerja Rumah Tangga
Inti sari dari pengakuan profesi pekerja rumah tangga atau PRT adalah kesamaan setiap warga untuk memiliki hak mendapatkan perlindungan hukum.
Sebagian besar pekerja rumah tangga di dunia adalah perempuan. Memberikan pengakuan profesi pada pekerja rumah tangga secara tidak langsung juga memberikan perlindungan dan jaminan hak asasi manusia pada kaum perempuan.
Dominannya perempuan sebagai pekerja rumah tangga terlihat dari data Organisasi Buruh Internasional (ILO). Dalam publikasi ”Making Decent Work a Reality for Domestic Workers: Progress and Prospects Ten Years After the Adoption of the Domestic Workers Convention 2011”, ILO menyebutkan, di seluruh dunia terdapat 75,6 juta pekerja rumah tangga yang berusia di atas 15 tahun.
Laporan yang dirilis Juni 2021 tersebut mencatat, dari total pekerja rumah tangga tersebut, sebanyak 57,7 juta orang adalah perempuan. Data tersebut memberikan gambaran bahwa tiga dari empat pekerja rumah tangga di seluruh dunia berjenis kelamin perempuan.
Amerika Latin dan Amerika merupakan dua kawasan yang memiliki persentase pekerja rumah tangga perempuan paling tinggi di dunia, yaitu 89 persen. Di wilayah Asia Pasifik, dari total 38,3 juta pekerja rumah tangga, 78,4 persen adalah perempuan.
Negara-negara di Asia Pasifik yang banyak terdapat pekerja rumah tangga adalah China, India, Filipina, Bangladesh, dan Indonesia. Dalam catatan ILO, jumlah pekerja rumah tangga di Indonesia pada 2018 mencapai 1.228.017 orang. Sebagaimana tren di dunia, mayoritas domestic workers di Tanah Air didominasi perempuan, yaitu 1.036.703 orang.
Jumlah riil pekerja rumah tangga di Indonesia bisa jadi lebih dari angka tersebut. Merujuk laporan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) bertajuk ”National Network for Domestic Workers Advocacy” (2015-2017), data jumlah pekerja rumah tangga yang ada sejauh ini hanya sebatas estimasi pada 2015 yang mencapai sekitar 4,2 juta orang (Kompas, 21/2/2021).
Mengetahui latar belakang pekerja rumah tangga menjadi salah satu aspek yang diangkat ILO untuk memperingati 10 tahun terbitnya Konvensi ILO 189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Salah satu hal yang ditekankan dalam konvensi tersebut adalah perlindungan dari segala bentuk pelecehan dan kekerasan.
ILO mengutip hasil riset yang dilakukan Federasi Pekerja Rumah Tangga Internasional (IDWF) di 13 organisasi pekerja rumah tangga di Asia sepanjang 2017-2018. Semua organisasi yang disurvei menerima pengaduan kekerasan dan pelecehan terhadap PRT yang menjadi anggotanya. Pelaku kekerasan dan pelecehan adalah pekerja rumah tangga lain, anggota keluarga dari majikan, hingga perantara pekerjaan (penyalur).
Fenomena senada juga ditemukan di Indonesia. Jala PRT menyebutkan, sepanjang 2012-2020 terdapat 4.061 laporan kekerasan yang dialami pekerja rumah tangga. Kasus yang paling banyak muncul adalah kekerasan psikis, seperti pelecehan, perendahan, isolasi/penyekapan, penahanan oleh agen penyalur, serta pencemaran nama baik.
Secara mendasar, praktik kekerasan dan pelecehan yang dialami membuat perempuan merasa takut serta dapat menghambat kemajuan bagi perempuan. Kekerasan dan pelecehan membuat suasana teror bagi kaum perempuan untuk melakukan aktivitas di ruang-ruang publik, termasuk bekerja. Padahal, suasana aman dan jaminan terhindar dari segala bentuk kekerasan merupakan hak dasar yang tercantum dalam Konvensi Antidiskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
Namun, bukan hanya jaminan terhadap tindakan kekerasan dan pelecehan pekerja rumah tangga semata yang menjadi semangat munculnya Konvensi ILO 189. Yang juga penting adalah pemberdayaan perempuan secara menyeluruh, mulai dari pengakuan profesi hingga pengembangan diri PRT.
Pengakuan
Aspek mendasar adalah definisi dan lingkup pekerjaan rumah tangga. Konvensi ILO 189 memberikan pengakuan profesi pekerja rumah tangga sebagai pekerjaan yang dilaksanakan di sebuah rumah tangga atau beberapa rumah tangga.
Keberadaan pekerjaan tersebut membuat kebutuhan akan pihak yang dipekerjakan dalam pekerjaan rumah tangga di dalam sebuah hubungan kerja. Lingkup pekerjaan pekerja rumah tangga tersebut mencakup tugas-tugas rumah tangga, seperti membersihkan rumah, memasak, mencuci dan menyetrika baju, merawat anggota keluarga, berkebun, menjaga rumah, menyetir kendaraan, serta merawat binatang peliharaan.
Pengakuan profesi ini selanjutnya membuka perbaikan nasib pekerja rumah tangga, antara lain munculnya hak-hak dasar, seperti penghapusan diskriminasi serta perlindungan dari kekerasan dan pelecehan.
Di samping itu, jaminan akan kejelasan jam kerja, upah, keselamatan kerja, jaminan sosial, penyelesaian perselisihan, hingga peluang mendapatkan pendidikan lanjutan dan pelatihan kerja untuk meningkatkan kemampuan diri.
Konvensi ini menjadi terobosan dalam upaya perlindungan hak pekerja rumah tangga. Pengakuan akan profesi PRT tersebut mendobrak sejumlah sistem nilai dan kenyamanan sosial, seperti polemik kedudukan PRT sebagai pekerjaan informal atau bukan, anggapan bahwa PRT tidak termasuk dalam definisi buruh/pekerja, dan apakah PRT itu bisa masuk ke sistem ketenagakerjaan formal.
Hal lain adalah posisi PRT yang tidak berada di bawah Undang-Undang Ketenagakerjaan, tetapi lebih tepat di bawah hukum adat, serta relasi kerja PRT yang cenderung sebagai hubungan patron-klien.
Pengakuan profesi dan kedudukan PRT dalam sistem hukum tersebut juga dinilai akan membuat anggota keluarga ”kelas dua” ini memiliki daya tawar yang kuat terhadap keluarga ”kelas satu” atau pemberi kerja, seperti dalam hal mendapatkan fasilitas, jam kerja, dan upah.
Padahal, sesungguhnya inti sari dari pengakuan profesi tersebut adalah kesamaan setiap warga untuk memiliki hak mendapatkan perlindungan hukum. Jaminan perlindungan tersebut juga berlaku dalam sektor pekerjaan, tidak terkecuali bagi PRT.
Sayangnya, hingga saat ini PRT masih minim mendapatkan pengakuan atas profesinya. Dari lima negara yang memiliki populasi PRT terbanyak di Asia Pasifik, baru Filipina yang telah meratifikasi konvensi tersebut. Tidak mengherankan jika refleksi 10 tahun berlakunya Konvensi ILO 189 masih mencatat, belum maksimalnya pengakuan ini membuat hak-hak dasar PRT belum terlindungi serta rentan mendapat perlakuan kekerasan dan dikriminasi.
Perlindungan hak-hak ini semakin terasa di masa pandemi Covid-19. ILO melaporkan, pekerja rumah tangga merupakan pihak yang rawan mengalami pemutusan hubungan kerja atau pengurangan jam kerja akibat pemberlakuan pembatasan aktivitas sosial dan dampak penurunan pendapatan yang menimpa pemberi kerja.
Akibat pandemi, jumlah pekerja domestik di Eropa berkurang hingga 20 persen, sementara di Amerika Latin berkurang 50 persen pada kuartal II-2020. Di kedua kawasan tersebut, pekerja rumah tangga juga kurang mendapatkan akses yang memadai terhadap alat pelindung diri (APD) dan bantuan sosial selama masa pemberlakuan darurat pandemi Covid-19.
Pemberdayaan
Faktor lain yang menjadi semangat munculnya perlindungan bagi pekerja rumah tangga adalah pemberdayaan perempuan. Banyaknya perempuan yang menjadi pekerja rumah tangga memberikan kesadaran tentang pentingnya meningkatkan kualitas sumber daya perempuan dan kesejahteraan bagi kaum perempuan.
Dunia masih menghadapi sejumlah kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam pembangunan sumber daya manusia. Di Indonesia, kesenjangan ini, antara lain, terlihat dari aspek pendidikan dan ketenagakerjaan.
Dalam pantauan Badan Pusat Statistik, kesenjangan di bidang pendidikan antara laki-laki dan perempuan tecermin dari angka rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas. Rata-rata lama sekolah laki-laki pada 2019 telah mencapai 9,08 tahun, sedangkan perempuan tertinggal pada 8,42 tahun.
Kondisi ini menggambarkan, rata-rata lama sekolah pada perempuan baru mencapai kelas IX SMP. Profil Perempuan Indonesia 2019 juga menunjukkan, angka melek huruf laki-laki (97 persen) lebih tinggi dibandingkan perempuan (93 persen).
Demikian pula dalam hal bekerja, perempuan masih tertinggal dibandingkan laki-laki. Rata-rata upah atau gaji pekerja laki-laki mencapai Rp 3,16 juta, sedangkan pekerja perempuan baru sebesar Rp 2,45 juta.
Dari sisi jumlah, dari lima penduduk terdapat tiga laki-laki yang bekerja. Jumlah tersebut lebih banyak dari perempuan yang bekerja. Itu pun kategori bekerja paling banyak yang dilakukan perempuan adalah mengurus rumah tangga (37 persen).
Hal lain yang patut dicermati adalah banyaknya perempuan yang bekerja di sektor informal. Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan, pada 2020 ada 61 persen pekerja perempuan di sektor informal.
Keberadaan pekerja perempuan di sektor informal ini memiliki risiko belum terpaparnya jaminan perlindungan hak dasar sebagai tenaga kerja dan kerentanan pada kekerasan berbasis jender.
Melihat kondisi di atas, sudah saatnya negara memberikan perhatian kepada nasib perempuan yang lebih banyak bekerja di sektor-sektor informal, termasuk sebagai pekerja rumah tangga. Upaya perlindungan ini dapat dimulai dengan memberikan pengakuan pada profesi pekerja rumah tangga melalui regulasi.
Dukungan nyata untuk membuat aturan hukum perlindungan PRT juga disuarakan publik. Hasil jajak pendapat Kompas pada 20-23 Oktober 2021 memperlihatkan, tiga dari empat responden mendukung keberadaan UU PPRT.
Regulasi ini dipandang perlu dan mendesak sebagai pijakan hukum perlindungan dan perbaikan nasib PRT di Indonesia. Selain membuat peraturan khusus untuk pekerja rumah tangga, hal lain yang dipandang responden harus dilakukan pemerintah adalah memberikan pelatihan kepada PRT untuk meningkatkan kemampuan mereka di dunia kerja.
Baca juga : PRT Penyangga Kehidupan Modern
Pengakuan yang diikuti program pengembangan diri ini dapat mendorong terwujudnya hak-hak dasar dan kesejahteraan yang sekaligus mewujudkan perlindungan pada hak asasi manusia. Dengan landasan hukum yang memberikan jaminan perlindungan, upaya pemberdayaan yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan pekerja rumah tangga juga dapat terwujud.
Pengakuan ini juga membuat pekerja rumah tangga yakin akan kejelasan profesinya dan secara tidak langsung dapat membuat banyak orang yang masih didera kemiskinan dan pengangguran dapat mencari celah pekerjaan di bidang ini. Selain itu, pengakuan tersebut juga dapat meningkatkan kualitas dan kesejahteraan kaum perempuan yang banyak bekerja sebagai pekerja rumah tangga. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Panggil Mereka Pekerja Rumah Tangga, Bukan Pembantu