Risma Kembali ”Mengancam”
Mantan Wali Kota Surabaya yang kini menjadi Menteri Sosial, Tri Rismaharini, memiliki prospek dan sekaligus potensi mengancam popularitas calon presiden lainnya.
Sempat menurun pada survei sebelumnya, kali ini taji Tri Rismaharini kembali mengancam posisi pesaing politiknya. Apa penyebabnya?
Enam bulan yang lalu, Tri Rismaharini berada dalam situasi yang problematik. Pasalnya, di saat jejak politiknya mulai semakin menasional, sejalan dengan kiprahnya sebagai Menteri Sosial, justru pada saat yang sama preferensi publik cenderung melorot.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Proporsi keterpilihannya saat itu hanya 2,4 persen. Dalam peta persaingan presiden pilihan publik, kala itu Risma memang masih tetap duduk pada papan tengah persaingan. Hanya saja, ia berada pada lapis bawah. Terpaut cukup lebar dengan para penguasa papan tengah, seperti Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Menteri Pariwisata Sandiaga Uno.
Menjadi problem terbesar, tatkala tingkat keterpilihan Risma saat itu menurun dibandingkan sebelum ia menjadi sosok yang bertarung dalam panggung politik nasional. Sebelumnya, awal Januari 2021, ia mampu menguasai dukungan hingga 5,2 persen. Proporsi dukungan yang ia raih kala itu, bahkan melebihi dukungan publik pada Ridwan Kamil dan masih sebanding dengan Sandiaga Uno.
Saat ini, Risma kembali unjuk kekuatan. Proporsi dukungan yang ia raih adalah 4,9 persen. Artinya, ia mulai mendekati proporsi dukungan tertinggi yang pernah ia gapai sebelumnya.
Selain meningkat signifikan, Risma kembali menjadi ”ancaman” bagi lawan-lawan politiknya. Setidaknya, dalam papan tengah persaingan politik, kembali mampu menduduki lapis atas. Sandiaga Uno dan Basuki Tjahaja Purnama terpaut di bawahnya.
Menarik dicermati, perubahan apa yang memungkinkan terjadinya peningkatan dukungan pada Risma? Mencermati hasil survei, setidaknya dua argumentasi penyebab yang kerap kali mendasari laju peningkatan dukungan pada setiap tokoh, termasuk Risma.
Baca juga : Panggung Risma Meluas, Popularitas Justru Melemah?
Pertama, terkait dengan kualitas kinerja Risma yang dipersepsikan publik semakin sesuai dengan ekspektasi. Sebelumnya, persoalan kinerja ini sempat menjadi perbincangan, tatkala sepanjang enam bulan ia bertugas publik tidak melihat sesuatu gebrakan yang luar biasa dari dirinya.
Akan tetapi, pandangan terhadap kualitas kinerja tersebut terpatahkan, lantaran pada survei yang (April 2021) menunjukkan lebih dari dua pertiga bagian masyarakat (71,4 persen) menyatakan rasa puas mereka terhadap kinerja pemerintah dalam mengatasi persoalan-persoalan kesejahteraan sosial masyarakat. Kondisi saat itu meningkat dibandingkan dengan penilaian pada Januari 2021 yang masih sebesar 67,2 persen menyatakan rasa puas.
Begitu pula, terkait dengan upaya dalam pemberian bantuan sosial kepada masyarakat pun dua pertiga (66 persen) responden menyatakan rasa puas mereka. Artinya, jika difokuskan dalam persoalan kinerja, tampaknya relatif sedikit saja yang mempersoalkan capaian Risma.
Kali ini, kinerja juga bukan sesuatu yang menghambat langkah politik Risma. Pasalnya, meskipun saat ini terdapat sedikit penurunan pada kinerja pemerintah dalam mengatasi persoalan-persoalan kesejahteraan sosial (menjadi 68,6 persen), begitu pula terhadap pemberian bantuan sosial (menjadi 64 persen), dukungan terhadap Risma justru menguat.
Kedua, argumentasi peningkatan dukungan yang dikaitkan dengan langkah-langkah politik yang Risma lakukan dan yang terkomunikasikan dalam panggung politik belakangan ini.
Pada periode lalu, di saat posisi elektabilitasnya menurun, dugaan paling kuat sejalan dengan menjauhnya Risma dari polemik kunjungan tugas yang ia jalankan.
Saat itu, ketika baru saja ia menjabat sebagai menteri, Risma mencoba bergerak cepat. Sesuai tugas yang ia emban dalam mempercepat realisasi bantuan sosial, pembenahan pendataan kelayakan penerima bantuan, dan membersihkan oknum-oknum di kementeriannya yang terindikasi korupsi, ia banyak beraksi. Namun, aksi-aksi kunjungan kerja Risma kala itu dikesankan sebagian kalangan cenderung provokatif dan sempat mendapat penolakan dari aparat pemerintah daerah terkait.
Di awal masa jabatannya, Risma banyak menuai polemik. Sebagian kalangan, terutama yang berseberangan pandangan, menilai aksinya tidak lebih dari suatu pencitraan dalam upaya memperluas pengaruh politiknya. Tidak sedikit pula yang menganggap Risma tengah berinvestasi politik dan secara khusus menyasar kursi Gubernur DKI pada periode mendatang.
Sebaliknya, sebagian kalangan lainnya justru mendukung langkah enerjik Risma. Blusukan Risma di wilayah kumuh DKI, bagi para pendukungnya, seolah dinilai sebagai jawaban dari surutnya perhatian pemerintah daerah selama ini terhadap persoalan sosial wilayah.
Bahkan, tidak kurang PDI-P, partai politik yang selama ini menjadi penyokong Risma, menyatakan bahwa pola blusukan yang ia lakukan sudah menjadi role model bagi kader partai yang ditugaskan kepada jabatan eksekutif, legislatif, ataupun jabatan pada struktural partai.
Di tengah polemik aksi Risma, popularitasnya sontak meroket. Berdasarkan hasil survei Kompas, misalnya, terjadi peningkatan yang signifikan terhadap sosoknya. Ia dirujuk menjadi salah satu tokoh yang layak dinominasikan sebagai salah satu calon presiden. Berdasarkan hasil survei Januari 2021, sebanyak 5,2 persen responden memiliki preferensi kepada Risma. Padahal, pada survei opini sebelumnya, dilakukan pada Agustus 2020, preferensi publik terhadap dirinya masih relatif kecil, 1,7 persen saja.
Namun selepas itu, sejalan dengan menjauhnya Risma dari berbagai polemik kunjungan kerja terkait bantuan sosial, elektabilitasnya redup. Penjelasan terhadap penurunan elektabilitas yang terkait polemik tersebut semakin mendapat pembenarannya kali ini.
Belakangan ini kembali kunjungan kerja Risma menuai polemik. Bermula dengan kekesalannya terkait dengan layanan perbankan milik negara (himbara) yang tidak menjemput bola dalam penyaluran bansos agar tepat sasaran.
Selanjutnya, kemarahan Risma pada aparatur terkait data di Gorontalo yang memancing ketersinggungan Gubernur Gorontalo awal Oktober lalu, menyusul selanjutnya cekcok dan demonstrasi penolakan terkait program Bantuan Pangan Non Tunai di Lombok Timur, kembali memantik sosoknya dalam panggung politik nasional.
Dengan berpolemik di bidang kerja yang ia tangani, tampaknya menjadi argumentasi penguat terhadap kenaikan kembali popularitasnya. Selain itu, sisi lain yang menarik dicermati, sikap-sikap yang ia tunjukkan di tengah kontroversi perdebatannya justru tidak sama sekali meninggikan derajat penolakan yang signifikan terhadap sosok Risma.
Sebagai bukti penguat, berdasarkan hasil survei saat ini, tingkat penolakan (resistensi) pada sosoknya sebagai presiden pilihan publik relatif kecil. Hanya di bawah 1 persen yang menyatakan ia paling tidak layak jadi presiden dibandingkan tokoh-tokoh lainnya.
Baca juga : Sentuhan Khusus ala Tri Rismaharini
Dengan demikian, jika terdapat 4,9 persen menganggap Risma paling layak sebagai presiden dari berbagai tokoh yang dipreferensikan responden, sebaliknya sebanyak 0,9 persen yang menyatakan ia paling tidak layak.
Dengan ukuran saling bertolak tersebut, antara akseptasi dan resistensi publik, langkah Risma terbilang positif. Ia punya prospek dan sekaligus potensi mengancam popularitas calon presiden lainnya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Risma-Basuki Bangun Rusunawa untuk Tunawisma