KTT ASEAN Mempertahankan Marwah
Selama dua dekade, ASEAN dianggap gagal menyelesaikan persoalan, termasuk pelanggaran HAM di Rohingya, hingga instabilitas keamanan di Laut China Selatan. Bagaimana KTT ASEAN tahun ini, apakah ada perubahan?
Selama ini, ASEAN sebagai organisasi regional tak lekang oleh kritik. Selama dua dekade terakhir saja, organisasi negara-negara Asia Tenggara ini dianggap gagal menyelesaikan berbagai persoalan, termasuk pelanggaran hak asasi manusia di Rohingya, hingga instabilitas keamanan di Laut China Selatan.
Di tengah bertambahnya persoalan yang dihadapi setelah peristiwa kudeta di Myanmar dan pandemi hantaman Covid-19, Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN kali ini harus melahirkan hal yang konkret jika tak ingin kehilangan marwahnya di mata dunia.
KTT ASEAN kali ini terbilang spesial. Selain dihadiri oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden, tantangan yang dihadapi di KTT ini juga lebih kompleks dibandingkan dengan sebelumnya.
Setidaknya terdapat tiga agenda penting yang perlu dicari jalan keluarnya di pertemuan tingkat tinggi tahun ini, yakni situasi di Myanmar, penanganan Covid-19, dan stabilisasi kawasan Laut China Selatan.
Instabilitas politik dan sosial di Myanmar memang menjadi salah satu masalah yang mengerak di kawasan Asia Tenggara setidaknya selama setengah dekade terakhir.
Sebelum goyang akibat kudeta militer tahun lalu, situasi sosial politik di negara ini pernah menjadi sorotan akibat serangkaian pelanggaran HAM yang dialami oleh kelompok Muslim Rohingya.
Akibat hal ini, Aung San Suu Kyi yang dahulu didukung oleh dunia internasional kehilangan kredibilitasnya akibat dianggap tutup mata terhadap pelanggaran HAM yang dialami warganya sendiri.
Tak hanya itu, kelompok minoritas yang sebelumnya menaruh harapan akan perubahan setelah demokrasi hadir mulai kehilangan kesabaran dengan Suu Kyi yang dianggap justru terlalu bersahabat dengan militer.
Hilangnya kepercayaan pada Suu Kyi dari dalam dan luar negeri ini sontak menjadi peluang bagi militer Myanmar untuk kembali berkuasa setelah sekian lama menyimpan dendam akibat terus-menerus kehilangan kekuatan politiknya.
Dalam menghadapi krisis demi krisis ini, pendekatan ASEAN cenderung sama. Di bawah prinsip non-intervensi, ASEAN terpaksa harus duduk di kursi penonton tanpa banyak bisa berbuat apa-apa.
Di bawah prinsip ini, Myanmar sebagai negara berdaulat berhak untuk tidak ”diganggu” oleh intervensi asing dan ASEAN sebagai organisasi regional tidak berhak untuk turut campur pada urusan domestik negara anggotanya.
Padahal, dampak dari persoalan Myanmar ini mengalir hingga ke negara tetangganya. Lebih dari 700.000 orang mengungsi akibat pelanggaran HAM di Rakhine, sejumlah kecil mengungsi dan terdampar hingga ke Aceh.
Dengan semakin genting dan berlarut-larutnya situasi di Myanmar pascakudeta, jutaan orang berpotensi untuk melarikan diri dan mencari suaka ke negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Tsunami pengungsi ini tentu merupakan persoalan serius yang harus dihadapi oleh ASEAN secara kolektif.
Hingga saat ini, pihak junta militer Myanmar terbukti tidak konsekuen. Lima poin konsensus yang disampaikan semenjak Mei silam belum juga ditindaklanjuti.
Bahkan, tidak hadirnya perwakilan Myanmar dalam KTT saat ini menunjukkan hubungan antara pihak militer dan ASEAN tampak merenggang. Tanpa adanya kepercayaan serta keyakinan akan ASEAN sebagai organisasi yang perlu dihormati, sulit rasanya berharap akan ada kemajuan dalam waktu dekat.
Baca juga: Peran Sentral ASEAN Vital di Kawasan
Laut China Selatan
KTT dengan AS saat ini sebetulnya bisa menjadi kesempatan bagi ASEAN untuk berbicara soal agresivitas China di Laut China Selatan. Memang, pemimpin para negara anggota, termasuk Presiden Joko Widodo, telah menegaskan untuk tidak ingin terperangkap dalam rivalitas yang merugikan antara China dan AS.
Namun, tidak mengambil sikap yang jelas juga tidak akan memberikan solusi terhadap persoalan keamanan menahun ini.
Pasalnya, selama ini Pemerintah Indonesia cenderung lembek dalam menanggapi sikap semena-mena China. Selama tahun ini saja telah beberapa kali insiden pelanggaran zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang dilakukan oleh kapal-kapal China di Natuna.
Salah satu yang masih segar dalam ingatan terjadi pada awal September lalu, di mana kapal survei China yang dikawal oleh belasan kapal perang dengan santainya melakukan riset di ZEE. Hingga kini belum ada respons tegas yang diberikan oleh pemerintah terhadap pelanggaran tersebut.
Sementara negara-negara lain di luar kawasan justru lebih panas. Sebagai respons, Australia, AS, dan Inggris meningkatkan kehadiran militernya di kawasan Laut China Selatan.
Tak hanya hadir, mereka pun tak segan membawa segudang persenjataan mutakhirnya, termasuk rudal balistik yang mampu menjangkau jarak hingga ribuan kilometer.
Jika tak dimitigasi, reaksi-reaksi ini justru dapat memicu perlombaan senjata (arms race) yang justru akan membuat situasi kawasan semakin panas dan tidak stabil.
ASEAN sebetulnya bisa berperan sentral dalam menengahi ketegangan ini. Di satu sisi, Indonesia dan ASEAN memiliki akses untuk menekan China melalui mekanisme yang ada.
Peneliti senior CSIS, Lina Alexandra, mengatakan, setidaknya terdapat beberapa cara bagi ASEAN untuk melakukan diplomasi dengan China, termasuk melalui ASEAN+3 dan operasionalisasi ASEAN Outlook for Indo-Pacific (Kompas, 3/10/2021).
Di sisi lain, ASEAN juga dapat mendinginkan negara di sekitar kawasan yang mulai panas, seperti Australia dan Jepang beserta dengan aliansinya, termasuk AS dan Inggris. Dengan begitu, ASEAN dapat menunjukkan sentralitasnya dalam persoalan Laut China Selatan.
Baca juga: Sentralitas dan Kelembagaan ASEAN Perlu Terus Diperkuat
Pengendalian Covid-19
Secara umum, tren pengendalian Covid-19 di kawasan Asia Tenggara bergerak ke arah yang positif. Setidaknya, tujuh dari sepuluh negara anggota ASEAN mencatatkan penurunan rerata kasus mingguan di kisaran 10-43 persen.
Tren serupa juga terlihat dalam hal kasus kematian di mana tujuh dari sepuluh negara di kawasan ini mengalami penurunan berkisar 13-58 persen.
Meskipun begitu, terdapat beberapa negara yang justru situasi Covid-19 mengalami perburukan. Negara-negara ini ialah Singapura, Laos, Filipina, dan Vietnam.
Singapura menjadi negara dengan perburukan yang paling signifikan dengan peningkatan kasus mingguan sebesar 17 persen dibandingkan seminggu lalu. Tingkat kematian di negara ini juga melonjak hingga di atas 34 persen.
Setelah Singapura, perburukan yang cukup tajam juga dialami oleh Laos. Dibandingkan seminggu sebelumnya, rerata kasus mingguan di negara ini mengalami peningkatan sebesar 14 persen. Tak hanya itu, jumlah kasus kematian mingguan di Laos juga naik sebesar 30 persen.
Meski mengalami perburukan, situasi di Filipina dan Vietnam cenderung lebih terkendali. Walau mengalami penurunan kasus secara signifikan, tingkat kematian mingguan di Filipina meningkat sedikit sebesar 7 persen.
Adapun Vietnam mengalami sedikit kenaikan kasus mingguan di angka 6 persen di tengah tren positif penurunan kasus kematian mingguan di kisaran 22 persen.
Momentum positif pengendalian Covid-19 di kawasan ini perlu dijaga. Agenda termasuk Strategic and Holistic Initiative Link ASEAN Responses to Emergencies and Disasters (ASEAN SHIELD) ASEAN harus terus dikawal.
Dengan saling bahu-membahu, tiap negara anggota akan berhasil keluar dari tekanan pandemi dalam dimensi kesehatan, ekonomi, hingga sosial. Karena, 1,5 tahun pandemi tentu memberi pelajaran berharga bagi ASEAN bahwa perburukan di satu negara akan menjadi potensi bahaya bagi satu kawasan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: ASEAN Harus Curi Kesempatan