Kelompok Tua Tergoyahkan Pandemi
Sepanjang pandemi, kaum lansia mengalami pergulatan psikologis antara pilihan penggunaan platform digital yang tidak menjadi kebiasaannya ataupun memilih cara belanja konvensional.
Perilaku digital kurang lekat pada kalangan berusia tua. Tatkala pandemi Covid-19 menerjang, adaptasi tidak terhindarkan. Dibandingkan dengan yang berusia lebih muda, sebenarnya pandemi Covid-19 lebih banyak melahirkan persoalan pada kaum berusia tua.
Dalam keseharian, sangat jelas jika Covid-19 paling rentan mengancam keselamatan jiwa mereka yang berusia tua. Terlebih, pada kalangan tua yang memiliki riwayat gangguan penyakit.
Namun, selain ancaman kesehatan, kaum tua sepanjang pandemi ini dihadang persoalan psikologis lain yang tak kalah rumit. Pasalnya, kali ini mereka harus beradaptasi dengan pola kehidupan baru, di mana dimensi ruang fisik dan sosial menjadi semakin berjarak. Dalam keterpilahan ruang tersebut, perilaku konvensional mereka terancam.
Bagi kalangan berusia lebih muda, bisa jadi pandemi tidak sedemikian drastis mengancam sisi eksistensial mereka. Kehadiran teknologi digital menjadi jawaban paling manjur mempercepat adaptasi. Meskipun interaksi sosial semakin berjarak, pemenuhan kebutuhan tetap terfasilitasi teknologi. Inilah keuntungan bagi digital native, yang sejak dilahirkan sudah bersentuhan dengan dunia teknologi digital.
Sayangnya, tidak demikian bagi kalangan berusia lebih tua. Inovasi acap kali lebih dipandang sebagai beban ketimbang instrumen yang mempermudah kehidupan.
Dalam berbagai kajian, proses adopsi inovasi teknologi lebih banyak resistensi penolakannya pada kalangan tua. Mereka bukan early adopter, yang berada pada baris terdepan perubahan, tetapi menjadi kalangan laggard yang berada pada barisan terakhir perubahan.
Kondisi psikologis yang problematik semacam inilah yang kini berlangsung.
Merujuk hasil survei Litbang Kompas, 20-23 Oktober 2021, terdapat perbedaan antarkelompok usia atau generasi yang memengaruhi pola adaptasi sepanjang pandemi, khususnya penggunaan platform digital.
Hasil survei menggambarkan bagaimana penggunaan platform digital tidak lepas dari pola pemenuhan kebutuhan setiap individu. Sebelum masa pandemi, tercatat hingga 70 persen responden pernah bertransaksi menggunakan platform digital. Sisanya mengaku tidak pernah.
Penggunaan platform digital terkategorikan dalam lima kelompok, yaitu jasa transportasi online (Gojek, Gocar, Grab), pemesanan makanan (Gofood, Grabfood, Shopeefood), pembelian barang kebutuhan (Tokopedia, Blibli, Bukalapak), pemesanan tiket transportasi udara, kereta api, penginapan (Traveloka, Tiket.com, Booking.com), dan pembayaran transaksi barang ataupun jasa (Gopay, Link Aja, Ovo, Dana).
Ketika pandemi menerjang, tercatat 72,3 persen yang memanfaatkan platform digital. Namun, jika dilihat intensitasnya, terjadi peningkatan yang sangat signifikan. Mereka yang sebelumnya tercatat hanya sesekali menggunakan platform digital menjadi semakin intensif.
Jika ditelusuri, pemanfaatan platform digital terkait juga dengan kondisi sosial ekonomi responden. Kalangan berstatus ekonomi menengah ke atas jauh lebih besar dan lebih intens penggunaannya ketimbang kelompok menengah ke bawah.
Menariknya, pola penggunaan platform digital sebagai mediasi transaksi pemenuhan kebutuhan ini tampak berbeda pada setiap generasi usia.
Tidak terbantahkan jika perilaku digital menjadi lekat dengan kalangan muda. Hasil survei menunjukkan, semakin muda usia, semakin besar proporsi yang menggunakan platform digital. Sebaliknya, semakin tua usia semakin sedikit proporsi penggunaan platform digital.
Baik sebelum ataupun semasa pandemi, mereka yang terkategorikan sebagai generasi Z (berusia kurang dari 24 tahun) paling besar memanfaatkan berbagai platform digital (grafik). Terbanyak, khususnya dalam pemesanan makanan, transaksi barang/jasa, dan pembayaran transaksi barang dan jasa. Layanan Gofood, sistem pembayaran melalui Gopay yang sangat akrab dalam kehidupan mereka.
Besaran pemanfaatan platform digital juga dominan pada kalangan generasi Y (berusia 24-39 tahun) atau kerap disebut kaum milenial, khususnya dalam pembelian barang kebutuhan pada berbagai platform market place dan sistem pembayaran digital. Namun, jika dibandingkan dengan perubahan semasa pandemi, kaum generasi Z lebih signifikan peningkatannya.
Di luar kelompok muda, dalam era pandemi pemanfaatan platform digital menjadi serba dilematik. Keterpilahan ruang fisik dan sosial sepanjang pandemi tidak banyak menyisakan alternatif dalam beradaptasi. Pola kebiasaan bersifat konvensional mendapat tantangan.
Tidak heran jika sepanjang pandemi, pergulatan psikologis antara pilihan penggunaan platform digital yang tidak menjadi kebiasaannya ataupun memilih konvensional dengan segudang risiko era pandemi dihadapi.
Dalam pergulatan tersebut, lagi-lagi usia menjadi penentu. Hasil survei menunjukkan, mereka yang berusia relatif lebih muda (40-55 tahun), atau kalangan generasi X, lebih banyak memanfaatkan platform digital ketimbang kelompok yang lebih tua (di atas 55 tahun).
Sebelum masa pandemi, masih 39,7 persen kalangan generasi X yang mengaku tidak menggunakan platform digital dalam bertransaksi kebutuhan apa pun. Namun, sejak masa pandemi berkurang tinggal 33,5 persen. Dengan demikian, sepanjang pandemi sudah dua pertiga dari kelompok generasi X yang bertransaksi digital.
Peningkatan penggunaan platform digital tidak terjadi secara signifikan pada usia di atas 55 tahun atau kelompok generasi baby boomer. Jika sebelum pandemi tercatat 47,7 persen tidak menggunakan platform digital, sepanjang pandemi berkisar 48,9 persen. Masih relatif sama besar antara yang menggunakan dan tidak.
Penelusuran lebih jauh, sekalipun terindikasi adanya peningkatan penggunaan platform digital sepanjang pandemi, tidak tampak merata. Peningkatan lebih terkonsentrasi pada platform pemesanan makanan, barang, hingga sistem transaksi pembayaran. Di luar itu belum banyak perubahan yang terjadi. Tampaknya, persoalan waktu saja yang menggerus pola kebiasaan kaum berusia tua. (LITBANG KOMPAS)