Citra parlemen di hadapan publik masih belum membaik. Kinerja pengawasan, penganggaran, dan legislasi dinilai masih lemah. Gaya hidup mewah dan kasus korupsi sejumlah anggota DPR mengakibatkan kepercayaan publik luntur.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI/ LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Suasaan rapat paripurna DPR di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/9/2021). Pada rapat tersebut Loedwijk F Paulus dilantik menjadi Wakil Ketua DPR menggantikan Azis Syamsuddin.
Peringatan Hari Parlemen Nasional pada 16 Oktober 2021 menjadi momentum untuk memperkuat kembali peran DPR agar lebih dekat dengan suara dan kepentingan rakyat. Potret lembaga legislatif yang dipandang masih berjarak dengan aspirasi publik menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.
Masih belum membaiknya citra DPR terlihat dari hasil survei tatap muka periodik yang dilakukan Litbang Kompas pada Oktober ini. Persepsi publik yang ditangkap survei sepanjang tujuh tahun terakhir ini mencatat rata-rata hanya separuh responden yang menyatakan citra lembaga legislatif nasional tersebut baik. Separuh responden lain menyatakan sebaliknya.
Persepsi publik yang masih melihat sisi minor dari lembaga legislatif ini tidak lepas dari penilaian bahwa perilaku anggota DPR cenderung jauh dari kehidupan rakyat yang diwakilinya. Salah satu di antaranya terkait potret gaya hidup.
Mayoritas responden (lebih dari 88 persen) menilai anggota parlemen di Indonesia cenderung lebih dekat dengan kehidupan mewah. Bahkan, separuh lebih di antara responden menilainya sangat mewah. Isu mewahnya gaya hidup anggota parlemen ini tak hanya melekat pada anggota DPR di Jakarta. Pasalnya, sekitar tiga perempat responden memandang gaya hidup anggota legislatif daerah (DPRD) juga tak jauh beda.
Namun, kemewahan hidup para anggota legislatif ini dinilai kurang sebanding dengan kinerjanya. Sebagian besar dari responden menilai kinerja anggota DPR dan DPRD belum bisa dianggap setara dengan melimpahnya penghasilan yang didapatkan. Hanya sekitar seperempat responden yang merasa kinerja mereka pantas diganjar dengan bayaran yang mahal.
Potret penilaian kemewahan yang kurang berkorelasi dengan kinerja ini tidak datang dari persepsi publik saja. Data kinerja DPR menyebutkan, pencapaian dalam penyelesaian pembentukan undang-undang tiap tahun cenderung belum optimal. Pada 2020, misalnya, dari 37 rancangan undang-undang (RUU) prioritas, hanya 13 undang-undang yang disahkan. Namun, sebagian besar merupakan RUU kumulatif terbuka.
Pandemi Covid-19 selama 1,5 tahun terakhir ini bisa jadi penghambat bagi kinerja parlemen. Namun, jika dilihat tahun sebelumnya, kinerja DPR juga selalu jauh di bawah target. Capaian legislasi yang rendah sama dengan capaian pada 2018 ketika situasi masih relatif normal.
Selain kinerja yang belum sebanding, publik juga menyoroti pemanfaatan dana reses anggota DPR yang secara teori diberikan untuk menyerap aspirasi konstituen di daerah pemilihan masing-masing. Dana tersebut dipakai untuk membiayai berbagai kegiatan penyerapan aspirasi rakyat, yang hasilnya akan kembali kepada rakyat.
ANAS THAHIR
Anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Anas Thahir berdialog dengan warga Situbondo, Jawa Timur, saat masa reses.
Namun, publik tampaknya belum melihat implementasi dari kegiatan penyerapan aspirasi ini. Sebanyak 77 persen responden dalam jajak pendapat ini kurang atau tidak merasakan manfaat dana tersebut. Meskipun, bisa jadi, ada mispersepsi pemahaman publik bahwa dana reses adalah dana publik yang seharusnya diberikan atau dihibahkan sebagai bentuk bantuan materi.
Akuntabilitas
Keraguan publik juga tampak didasarkan pada anggapan minimnya pertanggungjawaban dan transparansi pengelolaan dana oleh anggota legislatif. Hampir separuh responden memandang penggunaan dana ini cenderung kurang akuntabel dan tidak transparan.
Isu dana reses sempat ramai diperbincangkan publik setelah adanya pengakuan dari anggota Komisi IX DPR, Krisdayanti, dalam akun Youtube Akbar Faizal Uncensored, 13 September 2021. Dalam pengakuannya, Krisdayanti menyingkap bagaimana dana reses itu dikucurkan. Menurut dia, dana itu langsung mengalir ke rekening pribadi anggota DPR.
Buruknya persepsi publik ini sejalan dengan banyaknya anggota DPR ataupun DPRD yang ditahan KPK karena terjerat korupsi. Pada 2018, misalnya, lebih dari 100 anggota DPR/DPRD terbukti korupsi. Jika dilihat secara total kasus korupsi saat itu, lebih dari 40 persen dilakukan oleh anggota DPR.
Besaran gaji bulanan, dana reses, hingga dana aspirasi tampaknya masih menjadi wilayah abu-abu. Jika gaji bulanan merupakan hak anggota DPR/DPRD yang langsung diterima setiap anggota, maka dana reses dan dana aspirasi bersifat tidak langsung (berdasarkan pengajuan proposal) dan harus mendapat persetujuan dan pengawasan lembaga DPR/DPRD.
Masalahnya, jika dilihat untuk ukuran personal, total gaji anggota DPR plus dana reses/aspirasi dalam setahun terhitung besar, hingga miliaran rupiah. Namun, jika dana itu dipergunakan untuk membiayai kegiatan yang melibatkan ribuan konstituen di berbagai wilayah, ceritanya bisa lain. Dana sebesar itu tetaplah kurang alias ”defisit”. Dan itulah yang menjadi celah pendorong sebagian anggota DPR mencari ”sumber dana” lain hingga tersandung korupsi.
Persoalan transparansi dan pertanggungjawaban dana reses ini, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Roy Salam, wajar apabila dipertanyakan publik. Faktanya, dana reses langsung masuk ke rekening pribadi setiap anggota DPR. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas penggunaannya kemudian cenderung dipertanyakan. (Kompas, 21/9/2021)
Secara teknis, sebetulnya penggunaan dana-dana ini juga diawasi negara. Tiap tahun, dana yang diterima anggota DPR diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Audit dilakukan dengan cara melihat semua bukti pemakaian dana reses oleh anggota DPR.
Godaan korupsi
Kompas/Wawan H Prabowo
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Azis Syamsuddin mengenakan rompi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah menjalani pemeriksaan oleh tim penyidik KPK di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Sabtu (25/9/2021) dini hari WIB. Azis diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap Dana Alokasi Khusus (DAK) di Kabupaten Lampung Tengah.
Minimnya transparansi pengelolaan dana di DPR ini berpotensi mengarah ke praktik yang koruptif. Tak ayal, publik pun turut memandang bahwa tak ada jaminan bagi para anggota untuk tidak korupsi meski penghasilannya relatif besar. Hasil jajak pendapat menunjukkan, lebih dari tiga perempat responden mengaku tidak percaya terhadap integritas antikorupsi para anggota dewan.
Buruknya persepsi publik ini sejalan dengan banyaknya anggota DPR ataupun DPRD yang ditahan KPK karena terjerat korupsi. Pada 2018, misalnya, lebih dari 100 anggota DPR/DPRD terbukti korupsi. Jika dilihat secara total kasus korupsi saat itu, lebih dari 40 persen dilakukan oleh anggota DPR.
Hal ini menunjukkan bagaimana pendapatan yang semakin tinggi setiap tahun tak mengurangi potensi anggota legislatif untuk korupsi. Data laporan tahunan KPK 2020 juga menyebutkan, sebanyak 21 anggota DPR dan DPRD menjadi tersangka korupsi. Jumlah ini setara dengan hampir 20 persen dari total tersangka korupsi yang ditangani KPK sepanjang 2020.
Kasus korupsi di DPR tidak hanya menyeret para anggota, tetapi juga pimpinan. Kasus terbaru pada periode ini ialah penetapan tersangka Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin (Partai Golkar). Pada periode sebelumnya, Ketua DPR Setya Novanto (Partai Golkar) dan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan (Partai Amanat Nasional) juga terjerat korupsi.
Kian dekatnya lembaga legislatif dengan potensi korupsi semakin menambah beban untuk berbenah, memperbaiki citra di hadapan publik. Tentu saja kepercayaan publik tak akan bisa dikembalikan dalam waktu singkat. Perlu pembuktian serius dari anggota parlemen bahwa mandat yang diberikan rakyat tidak disia-siakan.