Kesempatan Mendorong Audiens Media Digital dan Hiburan Mau Membayar
Konten berkualitas belum tentu segaris lurus dengan capaian finansialnya. Maka dari itu, konten berkualitas perlu disokong oleh model bisnis yang berkelanjutan.
Oleh
Yohanes Advent Krisdamarjati
·5 menit baca
Hasil survei PwC menunjukkan bahwa pendapatan bisnis hiburan dan media Indonesia didominasi dari periklanan, bukan dari pelanggan. Ini artinya, kontribusi masyarakat Indonesia melalui konten berbayar masih minim. Lalu, apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong pertumbuhan pendapatan dari audiens?
Minimnya kontribusi pelanggan Indonesia tecermin dari hasil riset PricewaterhouseCoopers (PwC). Dalam publikasi Global Entertainment and Media Outlook: 2017-2021 Indonesia Data Insight, disajikan data proporsi sumber pendapatan bisnis hiburan dan media di Indonesia. Sebagian besar (61 persen) pendapatan pada 2021 berasal dari iklan yang dikemas dalam format reguler ataupun digital. Sebagian lainnya, 20 persen diperoleh dari layanan akses seperti berlangganan internet dan 19 persen dari belanja langganan konten.
Porsi pendapatan iklan di Indonesia tersebut melampaui rata-rata dunia (30 persen) dan kawasan Asia Tenggara (42 persen). Sedangkan untuk perolehan dari audiens, pemasukan di Indonesia merupakan yang paling rendah dibandingkan dengan angka rerata dunia (41 persen) dan Asia Tenggara (31 persen).
Data tersebut menunjukkan bahwa kondisi pasar media di negeri ini berkebalikan dengan keadaan pasar dunia secara umum. Sektor ekonomi media global mayoritas disokong dari pendapatan audiens yang berlangganan, disusul belanja iklan, dan terakhir dari layanan akses.
Untuk melihat fenomena yang mewakili dunia, dapat diambil contoh dari pasar konten digital negara Amerika Serikat. The New York Times adalah salah satu perusahaan media tradisional atau legacy media yang berhasil menggaet pelanggan berita melalui kanal digitalnya.
Jumlah pelanggan baruThe New York Times pada kuartal I-2021 dilaporkan mencapai 301.000 pelanggan. Hingga Mei 2021, total jumlah pelanggannya mencapai 7,8 juta di seluruh dunia. Diperkirakan, pertumbuhan jumlah pelanggan akan terus terjadi dan pada akhir tahun ini akan mencapai 8,5 juta pelanggan. Bahkan, pada Agustus 2020, pendapatan dari pelanggan digital untuk pertama kali dalam sejarah melampaui pembaca koran versi cetaknya.
Kembali menilik kondisi di Indonesia, PwC dalam publikasinya tidak menyebut nominal perputaran uang di sektor hiburan dan media. Walau demikian, data porsi pendapatan antara iklan, pelanggan, dan layanan akses cukup kuat sebagai dasar untuk menyatakan bahwa tingkat kemauan untuk membayar atau willingness to pay (WTP) konten digital di Indonesia masih rendah.
Dengan demikian, pembuat konten atau content creator di dalam negeri belum dapat mengandalkan pemasukan dari para audiens. Pembuat konten perseorangan hingga perusahaan media menghadapi persoalan serupa. Jika dilihat dari aspek kesehatan iklim bisnis, monetitasi yang bersumber dari audiens perlu dibangun supaya tidak terlalu bergantung pada iklan.
Melihat kondisi yang demikian, hal apa yang dapat diupayakan oleh para pembuat konten untuk dapat memonetisasi audiensnya?
Momentum pandemi
Dalam laporan PwC yang berjudul Power shifts:Altering the dynamics of the E&M industry, terpaan pandemi Covid-19 sejak awal 2020 menciptakan gelombang disrupsi yang mengubah perilaku audiens pada bisnis hiburan dan media dalam dua aspek.
Pertama, pandemi memaksa orang menjauhi wahana hiburan yang menimbulkan kerumunan, seperti menonton film di bioskop dan konser musik live. Perolehan penjualan tiket bioskop di seluruh dunia pada 2020 turun 70 persen dibandingkan dengan periode 2017-2019.
Faktor disrupsi yang kedua yakni mempercepat arus digitalisasi dan mendorong konsumsi pada produk media digital. Netflix adalah salah satu perusahaan yang mendulang manisnya lonjakan pelanggan layanannya di tengah kondisi pandemi. Data dari Q2 2021 Financial Statements Netflix menunjukkan, sepanjang 2020 Netflix berhasil menggaet 36,6 juta pelanggan baru sekaligus menembus 200 juta pelanggan.
Pandemi yang mengubah perilaku konsumen yang membentuk ulang pola konsumsi audiens diamati oleh Werner Ballhaus, pemimpin PwC Jerman dalam bidang Global Entertainment & Media Industry Leader Partner. Ballhaus menyampaikan bahwa pandemi mendorong pergeseran konsumsi dari ruang publik ke ruang privat.
Audiens cenderung memilih menikmati konten digital melalui perangkat mobile, seperti ponsel pintar dan tablet. Hal ini terlihat dari pertumbuhan konsumsi data digital melalui ponsel pintar yang meningkat tiga kali lipat pada 2020 dibandingkan dengan tahun 2016.
Pada 2016, penduduk dunia mengakses 87.000 petabita data melalui perangkat ponsel pintar, dalam rentang lima tahun angka ini meningkat tiga kali lipat menjadi 255.000 petabita. Nilai satu petabita setara dengan satu kuadriliun bita. Menurut prediksi PwC lima tahun mendatang, yakni pada 2025, data yang dikonsumsi warga dunia melalui perangkat mobile berlipat empat kali.
Di sisi lain, pasar konsumen hiburan dan media digital di masa depan akan didominasi oleh generasi muda yang merupakan generasi digital natives. Salah satu ciri dari generasi ini adalah memiliki tingkat mobilitas tinggi karena dapat melakukan kegiatan di mana saja dengan adanya koneksi internet. Keadaan tersebut bisa dipandang sebagai potensi pasar konten digital.
Karakter produk
Karakter konsumsi media generasi digital memunculkan kriteria konten digital yang mengacu pada selera dan kebutuhan masyarakat digital. Salah satunya adalah rendahnya minat audiens terhadap produk dari media tradisional. Dari sini muncul dikotomi antara media tradisional dan media digital atau new media.
Perbedaan media tradisional dengan media digital bukan terletak pada bentuk lembaganya, misalnya perusahaan televisi, media cetak, serta produsen film layar lebar tradisional. Melainkan pada metode produksi dan format sajian yang ditawarkan.
Ambil contoh perusahaan media tradisional yang bertransformasi ke dunia digital seperti The New York Times, The Guardian, dan BBC. Mereka berhasil beradaptasi dengan iklim digital dari segi konten dan distribusinya.
Kaidah jurnalisme yang akurat dan kredibel tetap terjaga, tetapi sajiannya lebih beragam disesuaikan dengan platform yang dimanfaatkan sebagai distribusi konten. Misalnya, ketika menampilkan konten di Twitter akan berbeda dengan format di Instagram, beda lagi di Facebook.
Audiens dari masing-masing platform memiliki karakter yang beragam dan khas antarmedium. Pada poin inilah meracik konten untuk media digital harus mempertimbangkan penempatannya. Tidak bisa dengan membagikan konten dengan format yang seragam di berbagai kanal.
Selain itu, pembuat konten perlu memantau tren dan kebutuhan audiens setianya. Di sinilah peran big data atau mahadata menjadi penting untuk menjaring audiens baru atau mempertahankan yang loyal.
Kebutuhan dan minat audiens di era digital dapat berubah sewaktu-waktu dalam tempo yang singkat. Bisa jadi sebuah topik bertahan dalam hitungan bulan, tetapi ada juga yang hanya bertahan seminggu atau beberapa hari saja.
Pihak yang turut andil bagian dalam memproduksi konten digital tidak hanya dari perusahaan saja, perorangan pun kini dapat menciptakan konten yang sama-sama berkualitas setara dengan institusi besar. Baik lembaga maupun perseorangan dapat memanfaatkan mahadata untuk terus menyediakan kebutuhan konten bagi audiensnya.
Model bisnis
Poin selanjutnya menjawab terkait pendapatan media digital dari audiens, model bisnis bentuk baru perlu dibangun. Perlu disadari bahwa di dunia digital, konten yang laris tidak segaris lurus dengan capaian finansialnya. Maka dari itu, konten berkualitas perlu disokong oleh model bisnis yang berkelanjutan.
Pendapatan tidak hanya dari audiens yang membayar untuk menikmati konten, tetapi perlu nilai tambah yang bersifat personal atau intim. Aspek afeksi audiens perlu diperhatikan, misalnya mengasosiasikan identitas pembuat konten baik perseorangan maupun perusahaan dengan nilai-nilai tertentu.
Nilai yang dimaksud, misalnya kemandirian finansial, peduli terhadap lingkungan, humanis, melek teknologi, atau pendekatan minat khusus pada hobi. PwC pada Juni 2021 melakukan survei Global Consumer Insights Pulse Survey yang salah satunya memotret nilai-nilai yang diyakini oleh konsumen merepresentasikan kepribadiannya.
Responden di Indonesia menyatakan bahwa mengasosiasikan diri dengan nilai ramah lingkungan (86 persen), kesehatan dan kebugaran (83 persen), melek terhadap data (76 persen), serta ada aspek lain, seperti orientasi harga, produk digital, minat menabung, dan menyukai produk lokal.
Minat-minat audiens pada beragam nilai dapat dimonetisasi, misalnya dengan membangun komunitas eksklusif berbayar, menjual produk yang menjembatani media dengan individu, misalnya kaus dengan logo media atau produk digital tertentu.
Pola penggunaan medium berupa ponsel pintar membentuk audiens yang memperhatikan aspek personal dibandingkan dengan medium komunal dan tidak dapat dipersonalisasi seperti televisi, media cetak, bioskop, siaran radio analog.
Jika berniat menggugah kemauan audiens untuk membayar konten digital di Indonesia, perlu dimulai dengan mengeksplorasi aspek-aspek personal audiens untuk membangun keterikatan emosional. Tujuan besarnya adalah membangun ekonomi digital Indonesia berbasis partisipasi audiens, bukan hanya bergantung pada iklan semata. (LITBANG KOMPAS)