Pendekatan Kultural untuk Genjot Vaksinasi di Aceh
Provinsi Aceh berada di peringkat terakhir dari 34 provinsi di Indonesia dalam hal vaksinasi dosis kedua atau vaksin penuh.
Oleh
Yohanes Advent Krisdamarjati
·4 menit baca
Provinsi Aceh masih menghadapi problem minimnya capaian vaksinasi Covid-19. Rendahnya vaksinasi berdampak pada minimnya skor Indeks Pengendalian Covid-19.
Masih minimnya vaksinasi di Aceh tampak dari data Cakupan Vaksinasi Covid-19 di Indonesia. Hingga 19 Oktober 2021, vaksinasi dosis kedua baru mencapai 14,4 persen. Angka ini adalah yang terendah dibandingkan dengan 33 provinsi lain. Rendahnya capaian vaksinasi ini memengaruhi Indeks Pengendalian Covid-19 di Aceh, terutama dari aspek manajemen infeksi.
Merujuk pada Indeks Pengendalian Covid-19 Indonesia-Kompas (IPC-19) di Pulau Sumatera, sebagian besar provinsi telah mencapai skor yang terbilang tinggi, bahkan melampaui skor nasional. Namun, Provinsi Aceh tertinggal dan berada di peringkat terbawah di wilayah Sumatera, bahkan nasional. Ketertinggalan Aceh diakibatkan lambatnya laju vaksinasi. Diperlukan pendekatan kultural untuk menembus keengganan masyarakat menerima vaksin Covid-19.
IPC-19 Indonesia-Kompas merupakan indeks yang disusun dari data harian epidemologi terkait pandemi Covid-19. Penghimpunan data dan analisis dimulai sejak dilakukan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada 12 Juli 2021. Hingga 18 Oktober 2021 telah dilakukan pemantauan sepanjang empat belas minggu. Skor indeks yang disajikan dengan rentang angka nol hingga seratus dapat menjadi indikator performa pemerintah provinsi dalam menangani pandemi.
Terdapat dua komponen yang diukur melalui IPC-19 Indonesia-Kompas, yaitu manajemen infeksi dan manajemen pengobatan. Manajemen infeksi mengindikasikan capaian dari tiga indikator, yaitu rerata kasus positif Covid-19 selama tujuh hari terakhir terhadap kasus maksimum yang dialami provinsi, angka rasio positif (positivity rate) tujuh hari terakhir, serta persentase cakupan vaksinasi lengkap atau dosis kedua terhadap total penduduk provinsi.
Adapun manajemen pengobatan mencakup jumlah angka kesembuhan terhadap jumlah kasus positif Covid-19, rerata kematian akibat Covid-19 selama tujuh hari terakhir, serta rerata keterpakaian tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR) rumah sakit selama tujuh hari terakhir di suatu provinsi.
Melalui seperangkat indikator tersebut, skor indeks dapat dimanfaatkan sebagai rambu bagi pemerintah provinsi untuk dapat segera mengambil kebijakan penanganan yang tepat. Melalui indikator tersebut, dapat diketahui bidang apa yang masih perlu dibenahi dan yang sudah cukup baik capaiannya.
Mengatasi ketertinggalan
Sepanjang periode waktu tiga belas minggu sejak PPKM diberlakukan, hingga 19 Oktober 2021 capaian skor indeks Aceh (53 poin) berada di bawah angka wilayah Pulau Sumatera (75 poin) serta angka nasional (76 poin).
Dibandingkan dengan 33 provinsi lainnya, sudah tidak ada provinsi yang skornya berada di bawah 60 poin. Kondisi ini menunjukkan seberapa tertinggalnya capaian Aceh dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.
Ditilik dari tren mingguannya, perjalanan Aceh selama tiga belas minggu menangani pandemi terbilang unik. Pada minggu pertama diberlakukannya PPKM, skor indeks penanganan Covid-19 Aceh (55 poin) terbilang cukup tinggi, bahkan melampaui skor nasional yang hanya 44 poin.
Seiring waktu berjalan dan setiap provinsi mengupayakan berbagai upaya penanggulangan penularan Covid-19, tren capaian skor merangkak naik. Sebaliknya, skor indeks Aceh justru terus turun hingga mencapai titik terendah, yaitu 29 poin pada minggu ketujuh. Di saat provinsi lain membaik kinerjanya, Aceh justru merosot.
Di titik inilah provinsi yang berada di paling barat Indonesia ini mengalami ketertinggalan. Beranjak ke minggu kedelapan (37 poin) hingga minggu ketiga belas, angka skor mulai meningkat walau masih berada di zona ”merah” IPC-19 Indonesia-Kompas.
Anjloknya skor indeks Aceh pada minggu ketujuh atau pada bulan Agustus diakibatkan ledakan kasus penularan gelombang kedua Covid-19 di Indonesia. Pada akhir Agustus hingga September 2021, kasus aktif hampir menyentuh angka 7.000 kasus. Jumlah kasus aktif melonjak dua kali lipat dibandingkan dengan kondisi pada bulan Juli.
Genjot vaksinasi
Kabar baiknya, hingga minggu ketiga belas, kasus penularan dan angka kematian di provinsi ini sudah dapat ditekan. Kasus aktif harian pada 18 Oktober 2021 hanya di angka 286 pasien. Tentu angka ini terbilang kecil dibandingkan pada periode Agustus-September 2021.
Walau kondisi sudah berangsur kondusif, Pemerintah Provinsi Aceh masih harus mempercepat vaksinasi tahap pertama dan kedua bagi seluruh warganya. Data dari Kementerian Kesehatan terkait situasi vaksinasi, pada 19 Oktober 2021 Provinsi Aceh berada di peringkat terakhir dari 34 provinsi dalam hal vaksinasi dosis kedua atau vaksin penuh.
Persoalan ini bukanlah hal baru. Gejala lambatnya vaksinasi di provinsi ini sudah terindikasi sejak sebelum program vaksinasi nasional bergulir. Hal ini terekam dalam laporan Survei Penerimaan Vaksin Covid-19 di Indonesia yang diselenggarakan pada akhir tahun 2020.
Disebutkan bahwa penerimaan warga Aceh terhadap vaksin hanya di angka 46 persen. Angka ini adalah yang terendah dibandingkan dengan provinsi lainnya. Sebagian warga Aceh menolak vaksinasi dengan alasan bertentangan dengan keyakinan agama, selain juga meragukan kehalalan vaksin Covid-19.
Konflik horizontal antara warga dan petugas vaksinasi pernah terjadi di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Ujung Serangga, Kecamatan Susoh, Aceh Barat Daya, 28 September 2021. Peristiwa ini dipicu oleh penolakan beberapa orang yang menganggap keberadaan gerai vaksinasi di pasar ikan menyebabkan pasar sepi. Kehadiran petugas vaksinasi dikhawatirkan membuat calon pembeli enggan datang ke pasar karena takut divaksin.
Berdasarkan data nasional dari Survei Penerimaan Vaksin Covid-19 di Indonesia, penolakan vaksin dengan alasan agama memiliki porsi paling sedikit, yakni hanya 8 persen. Namun, di Aceh hal ini menjadi kendala yang cukup signifikan. Lambatnya vaksinasi di Aceh memerlukan dukungan lebih kuat dari para pemuka agama untuk mempercepat cakupan vaksinasi.
Selain itu, segenap masyarakat di Aceh yang bersikap menerima vaksin dapat memersuasi orang di sekitar atau kerabatnya yang masih enggan divaksin. Masih dari hasil survei yang sama, selain kepada tenaga kesehatan (57 persen), masyarakat berkonsultasi dan berdiskusi dengan anggota keluarga (32 persen) seputar vaksinasi. Hal ini menunjukkan potensi dorongan yang bisa didapat dari individu yang sudah menerima vaksin untuk meyakinkan kerabatnya.
Selain meminta dukungan dari pemuka agama, pendekatan kultural dan personal dengan mengimbau masyarakat yang sudah divaksin untuk mengajak kenalannya ke gerai vaksinasi bisa jadi alternatif strategi. Dibutuhkan peran aktif warga Aceh untuk mengajak sesamanya mengatasi ketertinggalan dalam hal vaksinasi. (LITBANG KOMPAS)