logo Kompas.id
RisetKonsep ”Welfare State”...
Iklan

Konsep ”Welfare State” Indonesia, dari Era Kemerdekaan hingga Era Digital

Jaring pengaman digital mengupas konsep negara kesejahteraan (”welfare state”) di era digital. Selain memotret kondisi terkini, buku ini juga memberikan gambaran perkembangan negara kesejahteraan di Indonesia sejak awal.

Oleh
Inggra Parandaru
· 5 menit baca

Perubahan yang terjadi akibat kemajuan teknologi di era digital menjadi momentum untuk meninjau ulang konsep negara kesejahteraan (welfare state) di Indonesia.

Di atas kertas, kemajuan teknologi seharusnya memudahkan negara dalam memberikan layanan kesejahteraan. Namun, disrupsi digital ternyata memunculkan persoalan yang harus disikapi dengan prinsip baru dalam memberikan layanan kesejahteraan.

JudulJaring Pengaman Digital
PenulisAjisatria Suleiman
PenerbitPT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit2020
Jumlah halamanviii+332 hlm
ISBN978-602-06-4855-2

https://cdn-assetd.kompas.id/LOMIvwYr482Egpr2imH_9pq6Pdc=/1024x768/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2FJaring-Pengaman-Digital_1634223960.jpg
Kompas

Halaman muka buku berjudul Jaring Pengaman Digital

Konsep welfare state dikenal pertama kali di Inggris dan Jerman yang  merupakan wujud peran aktif negara dalam program jaminan sosial dan bantuan sosial demi memastikan rakyat sejahtera. Konsep ini menjadi dasar lahirnya program jaminan kesehatan sosial, jaminan pensiun, hingga serikat buruh.

Konsep negara kesejahteraan di Indonesia dimulai sejak rapat pendiri bangsa pada sidang Badan Penyelidik Upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dalam rangkaian sidang BPUPKI pada Mei 1945, M Yamin mengusung konsep ”negara kesejahteraan”, sementara Bung Hatta menggunakan istilah ”negara pengurus”.

Kedua konsep ini sama-sama mengusung gagasan negara memiliki kontrol terhadap kesejahteraan yang menguasai cabang-cabang produksi, bumi, air, dan kekayaan alam. Negara juga wajib memastikan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Konsep kesejahteraan ini tecermin pada sila kelima Pancasila.

Dalam rapat PPKI pada 11 Juli 1945, Bung Hatta memberikan masukan mengenai konsep dasar ekonomi Indonesia kepada tim kecil Dr Soepomo. Salah satu usulan tersebut berbunyi fakir dan miskin dipelihara oleh negara. Sistem ekonomi Indonesia ini kemudian tertuang dalam UUD 1945 Pasal 33 dan Pasal 34.

Konsep kesejahteraan awal kemerdekaan

Pada awal-awal kemerdekaan terdapat sejumlah konsep kesejahteraan yang menonjol, yakni dari Sjahrir, Soemitro Kolopaking, dan Boentaran Martoatmodjo. Namun,, konsep negara kesejahteraan ala Sjahrir dan pemikiran jaminan kesehatan ala Boentaran masih sekadar wacana.

Pada era Orde Baru, Prof Siwabessy berhasil merealisasikan konsep pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) hingga pelosok-pelosok Indonesia. Siwabessy merupakan menteri kesehatan pertama di era Orde Baru. Konsep puskesmas pertama kali digagas oleh Menteri Kesehatan J Leimena pada 1950-an untuk membuat konsep berjenjang rumah sakit dari kota hingga desa terpencil.

Sejak awal Orde Baru, pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang mengatur kesehatan bagi PNS. Pada masa itu, Siwabessy sudah memiliki visi agar sistem ini dapat berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia.

Selain jaminan kesehatan, pemerintahan Orde Baru juga mengeluarkan instrumen kesejahteraan rakyat berupa jaminan sosial tenaga kerja. Pada 1977, pemerintah memberlakukan program asuransi sosial tenaga kerja (Astek) yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha swasta dan BUMN mengikuti program ini.

Jaminan kesejahteraan pascareformasi

Setelah kejatuhan Orde Baru, dibutuhkan kebijakan untuk menjaga daya beli dan mencukupi kebutuhan masyarakat. Pada masa transisi, Presiden Habibie memulai program darurat dan paket kebijakan untuk masyarakat kurang mampu dengan istilah jaring pengaman sosial (JPS), yang kemudian dilanjutkan pada era Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri.

JPS terdiri dari beberapa program terkait penciptaan lapangan pekerjaan, bantuan keuangan dan kredit, program ketahanan pangan, serta subsidi kesehatan dan pendidikan (beasiswa) bagi masyarakat tidak mampu. Salah satu contoh program JPS adalah raskin (beras untuk rumah tangga miskin) yang dimulai sejak zaman Presiden Habibie.

Dari berbagai kebijakan pascareformasi, kebijakan yang paling  berdampak besar adalah pencabutan subsidi BBM pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebagian dana pencabutan BBM dialihkan untuk program-program bantuan sosial. Selama 10 tahun pemerintahan SBY, banyak diluncurkan program perlindungan sosial.

Pada 2014, UU BPJS disahkan dan menjadi dasar jaminan sosial di Indonesia. BPJS Kesehatan mulai berlaku sejak 1 Januari 2014, sementara BPJS Ketenagakerjaan mulai berlaku sejak 1 Juli 2015.

Pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi), jaminan sosial disempurnakan dengan lebih memperhatikan user (rakyat). Sejak menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi pernah memunculkan Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP). Jaminan kesehatan model kartu ini diadopsi saat menjadi presiden dengan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Dalam kampanye presiden tahun 2019, Presiden Jokowi memperkenalkan Kartu Prakerja.

”Digital Welfare State”

Di era disrupsi digital, bisnis konvensional menghilang, kebutuhan lapangan kerja berubah, dan risiko hidup di perkotaan semakin tinggi. Di balik kencangnya akselerasi perekonomian, ada masyarakat yang dikorbankan. Risiko bisnis menjadi semakin tinggi, pekerjaan cenderung serabutan, dan gaji tidak dapat mengimbangi meningkatnya biaya hidup. Kondisi serba tidak pasti akibat disrupsi digital membuat negara semakin sulit memprediksi perekonomian.

Situasi ini melahirkan konsep digital welfare state, yang disusun sebagai integrasi jaringan pengaman sosial, dorongan konsumsi masyarakat, dan  transformasi bisnis digital ke dalam suatu kebijakan.

Era digital sebetulnya mempermudah konsep welfare state yang memiliki paradigma perlindungan dasar. Di era digital, negara dapat memberikan memberikan mata pencarian sekaligus bantuan. Dengan demikian, rakyat tidak terus-menerus menjadi obyek santunan pemerintah, tetapi diharapkan santunan sekaligus menjadi modal produksi dan distribusi dalam kegiatan ekonomi digital. Terlebih, kemajuan teknologi memampukan rakyat menjadi produsen, distributor, sekaligus konsumen dan penerima manfaat dari perekonomian digital.

Bentuk digital welfare state sudah dimulai di Indonesia. Para pekerja informal (tukang ojek, pemilik warung, tukang cuci, tukang salon, dan sebagainya) terbantu dengan hadirnya aplikasi daring yang memudahkan mereka bertemu dengan pasarnya. Aplikasi ini tidak hanya menciptakan lapangan kerja baru, tetapi juga menyediakan data pekerja-pekerja informal yang jumlahnya masih mendominasi di Indonesia. Data ini bermanfaat untuk distribusi bantuan sosial, seperti yang terjadi di masa pandemi Covid-19.

Sejak era BPUPKI yang masih sekadar wacana, konsep negara kesejahteraan di Indonesia terus berkembang hingga akhirnya diakui dunia. Namun, program-program yang telah hadir belum tentu siap menghadapi disrupsi digital di era 4.0. Dibutuhkan sinergi dan komitmen berkesinambungan untuk mewujudkan digital welfare state. (Litbang Kompas)

Editor:
santisimanjuntak
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000