Memandang Revolusi Peradaban Masyarakat 5.0 dari Perspektif Indonesia
Belum lama era digital dan masyarakat informasi (4.0) mewarnai peradaban dunia, kini Masyarakat 5.0 sudah berada di depan mata. Seperti apa kesiapan sumber daya manusia Indonesia menyambut era 5.0?

Konsep revolusi Masyarakat 5.0 memiliki misi utama meratakan kesejahteraan kepada segenap lapisan masyarakat dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan dan internet of things (IoT). Apabila sungguh dapat terwujud, Indonesia sebagai negara kepulauan akan sangat terbantu dalam mendistribusikan kesejahteraan.
Gagasan tentang Masyarakat 5.0 pertama kali dicetuskan oleh mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada kesempatan konferensi internasional dalam pameran teknologi CeBIT (Centrum der Büroautomation und Informationstechnologie und Telekommunikation) di Hannover, Jerman pada Maret 2017.
Adalah Keidanren atau Kamar Dagang Jepang yang menggodok peta rencana Masyarakat 5.0. Secara garis besar, rancangan tersebut merupakan upaya mengintegrasikan cyberspace atau ruang maya dengan dunia nyata untuk menyediakan berbagai produk sehari-hari sesuai dengan kebutuhan unik tiap individu.
Tulang punggungnya berupa kecerdasan buatan dan bigdata yang datanya berasal dari berbagai perangkat sensor yang ada di dunia nyata. Pada Masyarakat 4.0 perikalu manusia dilacak dari aktivitasnya di dunia maya atau internet, kondisi ini menyisakan celah antara aktivitas maya dan fisik.

Contoh yang sudah diterapkan adalah ketika masa pandemi Covid-19, diciptakan aplikasi di ponsel pintar untuk memantau lokasi seseorang melalui lokasi perangkatnya. Data kesehatan pengguna ponsel didapat dari input data hasil tes Covid-19 yang dilakukan tenaga kesehatan. Sayangnya, bila seseorang tidak pernah melakukan tes maka data tidak tersedia.
Pada konsep Masyarakat 5.0 dibutuhkan perangkat sensor yang secara realtime mengirimkan data tentang kondisi fisik seseorang, misalnya melalui perangkat smart watch. Nantinya perangkat lunak berupa kecerdasan buatan akan terintegrasi dengan perangkat keras berupa sensor di berbagai bidang kehidupan.
Penerapan pada bidang infrastuktur, misalnya, sensor yang ditanam di bendungan, jembatan, gedung, dan bangunan lainnya dapat secara realtime memantau kondisi struktur bangunan. Hal ini dapat membantu insinyur dalam mengawasi dan menjamin keselamatan manusia.
Tercetusnya Masyarakat 5.0 merupakan kelanjutan dari perkembangan industri generasi keempat. Pada perhelatan Hannover Fair 2011 yang merupakan ajang pameran teknologi bergengsi tingkat dunia, Jerman pertama kali memaparkan kepada dunia tentang konsep Industri 4.0.

Mantan Kanselir Jerman Anglea Merkel melihat melalui sebuah alat bersama dengan mantan presiden Amerika Serikat Barack Obama di gerai pameran teknologi perusahaan automasi Jerman pada acara pameran teknologi industri di Hannover Jerman (25/4/2016).
Saat ini, dunia telah mengalami yang digambarkan oleh Jerman sebagai era industri dengan pondasi teknologi otomasi dan kecerdasan buatan. Titik berat dari Industri 4.0, yaitu pada pembaruan industrialisasi dunia, sedangkan Masyarakat 5.0 berfokus pada pemanfaatan teknologi yang ada pada Industri 4.0 dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dunia.
Konsep Masyarakat 5.0 masih menjadi perdebatan di antara pakar. Artikel yang dipublikasikan UNESCO pada Februari 2019 memberikan pandangan bahwa konsep ini bermula dari persoalan domestik yang dialami oleh Jepang. Belum ada bukti di lapangan bahwa rancangan ini akan sesubur Industri 4.0 yang digagas Jerman.
Kendati demikian, beragam persoalan yang saat ini dialami Jepang seperti kesehatan masyarakat, dominasi penduduk usia tua, transportasi, energi, ekonomi, serta perubahan iklim pada waktunya dialami juga oleh negara-negara lain. Hal ini menjadi dasar untuk mempertimbangkan kemungkinan yang terjadi di masa depan sehingga dapat diantisipasi sejak dini.
Sampai pada titik ini perlu kembali melihat ke belakang tentang sejarah perkembangan yang semula bersifat evolusi menjadi revolusi. Masyarakat 1.0 ditandai dengan cara hidup peradaban manusia awal dengan berburu dan meramu. Dilanjutkan dengan masyarakat agraris atau 2.0 pada tahun 13.000 sebelum Masehi.

Berselang lebih dari 13 milenium, manusia mencapai masyarakat industri pada akhir abad ke-18 dengan adanya penemuan mesin uap. Era ini disebut juga dengan istilah Masyarakat 3.0 atau mekanisasi yang dipicu oleh revolusi industri 1.0 di Inggris.
Perubahan yang tadinya lambat kini semakin cepat, pada pengujung abad ke-20 sampailah peradaban pada Masyarakat 4.0 yang disokong oleh teknologi digital dan internet. Kini, menginjak abad ke-21 kehidupan manusia semakin tidak terpisahkan dengan pemanfaatan teknologi digital, khususnya pada jenis kecerdasan buatan dan internet of things (IoT).
Lantas bagaimana peluang dan modal yang dimiliki Indonesia sebagai bagian dari komunitas dunia dalam mengadopsi revolusi tatanan masyarakat yang kelima ini?

Moorissa Tjokro adalah insinyur asal Indonesia yang fokus pada bidang data dan pengembangan kecerdasan buatan (2/1/2021). Moorissa bekerja pada perusahaan Tesla di California, Amerika Serikat, untuk mengembangkan fitur Full-Self Driving mobil produksi Tesla.
Keterampilan digital
Merujuk dari paparan Standardization activities on ”Society 5.0” in Japan, dua tujuan utama Masyarakat 5.0, yaitu mencapai keseimbangan antara memajukan ekonomi digital dan menemukan solusi untuk persoalan sosial. Sebagai gambaran, ragam produk dari revolusi masyarakat ini meliputi bidang layanan sosial, kesehatan, ekonomi, transportasi, hingga infrastruktur.
Ragam produk yang baru dan khas mengedepankan personalisasi hingga tingkat individu. Salah satu contohnya, yaitu penyediaan obat berdasar data DNA tiap individu. Hal ini memungkinkan pengobatan yang lebih efisien sehingga meningkatkan peluang kesembuhan dan menekan biaya perawatan.
Untuk dapat mewujudkan produk-produk tersebut, perlu modal kuat dalam penguasaan dan pemanfaatan teknologi digital pada suatu komunitas atau warga negara. Karena itu, keterampilan digital yang dimiliki oleh sumber daya manusia di Indonesia menjadi salah satu modal penting di era teknologi.
Publikasi dari lembaga survei AlphaBeta berjudul Keterampilan untuk Masa Depan: Memperkuat Ekonomi Indonesia dengan Meningkatkan Keterampilan Digital (2021) mengungkap kondisi modal dan peluang Indonesia dalam meningkatkan keterampilan sumber daya manusia untuk menyongsong Masyarakat 5.0.

Pada 2019 para pekerja yang berketerampilan digital menyumbang pendapatan domestik bruto (PBD) Indonesia senilai Rp 908 triliun. Angka ini menyumbang enam persen dari total PDB Indonesia pada 2019 yang mencapai Rp 15.833 triliun.
Sumbangan nilai PDB dari kelompok pekerja berketerampilan digital dapat dibagi menjadi dua jenis berdasar bidang kerjanya. Mayoritas PDB dari tenaga kerja digital (73 persen) disumbang oleh pekerja digital dan non-digital yang berkecimpung di sektor non-teknologi yang berketerampilan digital.
Mereka adalah para tenaga kerja pabrik yang mengoperasikan mesin-mesin produksi berteknologi digital. Selain itu ada juga para insinyur yang memanfaatkan teknologi digital untuk membuat desain dan rencana bangunan atau mesin industri.
Sementara kelompok pekerja di sektor produksi teknologi hanya menyumbang 27 persen dari nilai PDB tenaga kerja digital. Sumber daya manusia di sektor ini sehari-hari bekerja mengembangkan perangkat lunak dan kecerdasan buatan. Dengan kata lain, di Indonesia aktivitas pekerjaan di bidang digital masih didominasi oleh kegiatan penggunaan atau konsumsi dibandingkan dengan produksi atau penciptaan.

”Digital nation”
Kondisi ini masih belum jauh berubah dari hasil laporan AlphaBeta pada 2017 yang berjudul Digital Nation: Policy levers for investment and growth (2017). Disebutkan dalam laporan bahwa aspek yang paling lemah ada pada SDM berketerampilan digital, di sisi lain hal yang dapat dijadikan peluang adalah besarnya potensi pasar produk digital di Indonesia.
Masih lemahnya daya saing digital Indonesia di kancah dunia juga terlihat dari laporan dari lembaga IMD World Competitiveness Center berjudul Digital Competitiveness Ranking 2021. Indonesia berada di peringkat ke-53 dari 64 negara yang disurvei. Sementara di kawasan ASEAN kedudukan Indonesia di posisi keempat dari lima negara yang diteliti, yaitu Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Pada 2019, para pekerja yang berketerampilan digital menyumbang pendapatan domestik bruto (PBD) Indonesia senilai Rp 908 triliun.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Johnny G Plate, dalam Rapat Kerja Nasional Akselerasi Transformasi Digital di Jakarta pada 24 Februari 2021, menerangkan langkah-langkah Indonesia dalam menapaki jalan menuju bagian dari Digital Nation di antara negara-negara dunia. Diungkapkan bahwa pemerintah terus berupaya menyiapkan SDM yang terampil dan produktif dalam melakukan kegiatan di ruang digital.
Namun, jika ditilik lebih jauh, pengembangan SDM yang dimaksud oleh pemerintah masih berkutat pada penanggulangan risiko dunia siber, seperti disinformasi, misinformasi, perundungan siber (cyberbullying), dan tindak kriminal siber lainnya.

Pemanfaatan teknologi digital dalam perekonomian nasional pun masih belum maksimal digunakan dalam bidang mendorong penjualan produk UMKM di pasar digital. Menurut publikasi dari Kominfo pada Juli 2021, kegiatan UMKM yang sudah memanfaatkan e-dagang baru pada angka 21 persen. Artinya, masih lebih banyak UMKM yang belum menggunakan teknologi 4.0.
Sampai saat ini, masih ada sederet daftar pekerjaan yang belum tersentuh oleh Indonesia dalam menerapkan Industri 4.0 pada era serba digital. Pada era yang lebih baru, apabila ditilik dari tujuan dan kebutuhan SDM untuk berpartisipasi dalam kerangka Masyarakat 5.0, Indonesia masih perlu menyiapkan langkah-langkah terukur.
Pasalnya, dilihat melalui sumbangan nilai PDB dari aktivitas ekonomi tenaga ahli yang mampu membangun infrastruktur teknologi digital proporsinya masih terbilang kecil. Di sisi lain, skema revolusi Masyarakat 5.0 membuka peluang meratakan kesejahteraan kepada segenap lapisan masyarakat dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan dan IoT.
Baca Juga: Kecerdasan Buatan Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dunia
Dalam konteks negara kepulauan yang terpisah ruang jarak pulau dan lautan, peluang distribusi kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia melalui pemanfaatan teknologi pada era Masyarakat 5.0 dapat lebih terbantu.
Kemampuan sebuah bangsa dalam menguasai teknologi dan menciptakan produk-produk mutakhir menentukan nilai tawar dalam pergaulan internasional. Dengan membuat rancangan kebijakan stategis dan terukur, masih terbuka kemungkinan bagi Indonesia untuk dapat menjadi kreator dan tidak hanya sebagai pengekor di era 5.0. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Peluang di Tengah Pandemi