Facebook Files Ungkap Fakta Tersembunyi Dampak Buruk Instagram pada Remaja
Seberapa buruk dampak negatif penggunaan Instagram bagi penggunanya? Liputan investigasi “The Wall Street Journal” yang mengangkat dokumen "Facebook Files" mengungkap fakta tersembunyi dampak Instagram bagi remaja.
Di balik manfaat jejaring media sosial, Instagram menyimpan dampak buruk bagi kelompok remaja khususnya remaja perempuan. Melalui Facebook Files, liputan investigasi The Wall Street Journal mengungkap fakta dan data yang ditutupi pihak pengelola Instagram dari publik sejak 2019.
Instagram merupakan platform media sosial peringkat ketiga yang paling banyak digunakan oleh penduduk dunia setelah WhatsApp dan Facebook. Merujuk pada publikasi Digital 2021: July Global Statshot Report yang dirilis We Are Social dan Hootsuite menyebutkan bahwa Instagram merupakan media sosial favorit kalangan perempuan.
Sebanyak 33 persen pengguna media sosial dari usia 16 hingga 24 tahun berjenis kelamin perempuan menyatakan paling sering menggunakan Instagram di antara sembilan platform lainnya seperti Facebook atau Twitter. Indonesia dengan 270 juta penduduknya menjadi salah satu negara dengan aktivitas media sosial yang terbilang tinggi di dunia.
Lanskap pengguna Instagram di negeri ini serupa dengan proporsi pengguna dunia, yaitu didominasi oleh kalangan perempuan. Jumlah pengguna platform ini di tahah air mencapi 93 juta jiwa. Angka ini berada pada posisi keempat setelah India, Amerika Serikat, dan Brasil.
Rata-rata warga Indonesia menghabiskan 17 jam dalam sebulan untuk mengakses Instagram. Tiga motivasi dominan yang mendorong para pengguna untuk mengaksesnya yaitu untuk menjalin pertemanan dan mengikuti pergaulan, kemudian untuk melewatkan waktu luang, dan yang ketiga memperoleh kabar atau berita terkini.
Bila dicermati, fungsi utama Instagram sebagai media untuk memantau kabar pertemanan di lingkaran pergaulan para pengguna. Hal ini bisa berdampak positif, yaitu untuk terus dapat terhubung dengan lingkungan sosial di kala terbatasnya ruang gerak akibat pandemi Covid-19.
Namun, di sisi lain mengintai dampak negatif yang perlu diwaspadai supaya tidak terlanjur terlambat untuk menghindarinya. Pengguna dari kalangan perempuan remaja sebagai kelompok pengguna terbanyak menjadi pihak yang paling diperhatikan dalam pelacakan dan penanggulangan dampak buruk yang mungkin dihadapi.
Selama ini publik menduga-duga tentang kaitan antara dampak negatif media sosial terhadap perubahan sikap seseorang, khususnya pada kelompok remaja. Gejala yang berpotensi timbul akibat dampak penggunaan media sosial yang dapat diamati antara lain timbul perasaan cemas berlebihan dan merasa tertekan. Pada tahap lebih lanjut bisa timbul perubahan sikap, mudah marah, dan yang paling berbahaya adalah memicu kasus bunuh diri.
Pada pertengahan September 2021 praduga publik mulai terjawab dengan publikasi liputan investigasi dari The Wall Street Journal yang membeberkan dokumen Facebook tentang dampak negatif Instagram bagi penggunanya.
Demi pasar remaja
Dokumen yang disebut Facebook Files membeberkan data hasil survei internal perusahaan terhadap pengguna Instagram dari kalangan remaja di Amerika Serikat dan Inggris. Facebook Files mengungkap bahwa perusahaan telah melakukan survei selama dua tahun, yaitu pada 2019 hingga 2020. Temuan survei mencapai kesimpulan tentang dampak negatif Instagram terhadap kelompok remaja.
Sayangnya, petinggi Facebook sebagai pengelola Instagram tidak mengambil langkah tegas dan segera, bahkan cenderung menutupi temuan tersebut. Keputusan ini disinyalir didasari oleh motif bisnis.
Dugaan tersebut meruncing berdasar catatan linimasa ketika Facebook membeli Instagram senilai 1 milliar dollar AS pada 2012. Latar belakang pembelian itu didorong oleh kepentingan menguasai pasar media sosial di kelompok remaja. Konteksnya, ketika Instagram muncul, pengguna Facebook dari kalangan remaja bermigrasi Instagram. Kala itu Instagram masih merupakan perusahaan rintisan dengan 13 pegawai, tetapi sudah mampu menggaet pasar dunia.
Secara bisnis hal ini lebih menguntungkan bagi Facebook untuk mengakuisisi Instagram dari pada menciptakan media sosial baru untuk meraup pasar remaja yang sudah bisa dijaring Instagram. Dari sinilah muncul motif kuat perusahaan untuk menutupi temuan survei tentang dampak negatif platform ini terhadap remaja.
Secara garis besar, hasil survei internal Instagram yang terangkum dalam Facebook Files dapat ditarik dua aspek yang perlu diperhatikan. Pertama yaitu dampak buruk dominan yang dialami pengguna. Kedua, dampak paling berbahaya risikonya, yaitu yang dapat mengancam nyawa atau dapat memicu bunuh diri.
Survei dilakukan pada periode 2019 hingga 2020 di Amerika Serikat dan Inggris dengan melibatkan 2.604 responden usia remaja. Hasilnya, tiga dampak terbanyak yang dialami oleh remaja perempuan yaitu yang timbul keinginan kuat untuk menampilkan foto yang tampak sempurna di Instagram. Kondisi ini dialami oleh 45 persen responden.
Kemudian yang kedua, timbul pikiran bahwa tubuh mereka tidak cukup menarik untuk ditampilkan (42 persen). Dampak ketiga adalah timbul perasaan tidak memiliki cukup uang untuk dapat mendukung keinginan supaya dapat tampil sempurna di media sosial.
Media sosial khususnya Instagram telah membentuk cara pandang remaja perempuan tentang kondisi kehidupan sosial yang ideal. Padahal, tampilan di media sosial mayoritas adalah hal yang indah, ideal, bahkan sempurna di mata audiens. Sangat jarang memperlihatkan proses atau kegagalan seseorang tahap demi tahap hingga mencapai apa yang disepakati sebagai kondisi ideal.
Merasuknya gambaran ideal kehidupan dari media sosial pada realitas sosial dunia nyata menyulitkan para remaja untuk memilah mana hal yang sesuai dengan kebutuhan diri dan mana yang tidak perlu diikuti. Kebuntuan untuk mengikuti tren berujung pada kondisi depresi. Pada beberapa kasus bahkan berpotensi mengancam nyawa.
Depresi
Survei yang dilakukan di Amerika Serikat dan Inggris tersebut mengungkapkan bahwa 10 persen responden mengaku berpikir ingin bunuh diri dan 8 persen berniat melukai diri sendiri. Hal tersebut dipicu oleh depresi akibat tidak mampu untuk memenuhi ekspetasi seperti yang digambarkan pada media sosial.
The Wall Street Journal menggambarkan bahwa media sosial bagi remaja di era digital bagaikan kantin sekolah atau kafetaria virtual. Di situ terjadi interaksi antar teman yang bersifat positif maupun negatif.
Jenis interaksi negatif terjadi beragam kekerasan yang dilontarkan melalui kekerasan dan perundungan secara virtual. Hal ini dapat dilontarkan oleh warganet yang merupakan lingkaran pertemanan atau bahkan warganet secara umum kepada seseorang.
Tidak dapat terpenuhinya ekspetasi gambaran kehidupan ideal serta rawan terjadi kekerasan di media sosial berujung pada kondisi tidak percaya diri hingga ingin mengakhiri hidup. Risiko tersebut dihadapi oleh setiap remaja pengguna media sosial. Peran orang tua sebagai pendamping sangat diperlukan.
Muncul di pemberitaan beberapa kasus remaja melakukan bunuh diri akibat interaksi melalui Instagram. BBC memberitakan seorang remaja di Inggris berusia 14 tahun ditemukan dalam kondisi tak bernyawa oleh keluarganya di dalam kamar pada Januari 2019. Ditemukan bahwa dirinya mengikuti konten bertemakan menyakiti diri dan bunuh diri di Instagram.
Di Malaysia, pada Mei 2019 diberitakan oleh Malay Mail tentang kasus bunuh diri seorang remaja 16 tahun setelah melakukan polling tentang apakah dirinya akan memutuskan untuk mengakhiri atau melanjutkan hidupnya melalui akun Instagramnya. Korban merasa depresi dan berkeinginan kuat untuk melakukan bunuh diri.
Julie Jargon kolumnis bertema keluarga dan teknologi di The Wall Street Journal mengusulkan tiga tindakan yang dapat dilakukan orang tua untuk melindungi anak mereka dalam bermedia sosial. Melalui artikelnya “Sadfishing, Predators and Bullies: The Hazards of Being ‘Real’ on Social Media 2019” usulan pertama yang dikemukakan adalah akun media sosial anak perlu diatur dalam mode privat, sehingga orang lain yang tidak ada dalam lingkaran pertemanan atau follower tidak dapat mengakses konten yang diunggah.
Perlu adanya komunikasi terbuka antara anak dengan orang tua dalam bermedia sosial. Anak perlu diberi pemahaman tentang cara menjaga diri dengan memilah akun yang mengikuti atau hendak diikuti.
Usulan yang kedua yaitu jalin diskusi antara anak dengan orang tua tentang materi yang diunggah di media sosial. Seringkali media sosial menjadi wadah untuk mencurahkan uneg-uneg dengan harapan mendapatkan dukungan moral dari warganet. Namun yang terjadi bisa sebaliknya, warganet dapat merundung seseorang karena konten sambat yang mereka lontarkan ke media sosial.
Saran ketiga yaitu berupaya membimbing tanpa kesan menggurui atau memerintah. Anak memiliki kencenderungan untuk mengikuti keinginan dirinya sendiri. Orang tua sebaiknya tidak melawan kehendak anak secara frontal.
Trik yang dapat dilakukan adalah dengan mendengarkan apa yang diketahui anak dan menyisipkan saran-saran untuk menghindarkan anak dari sikap membangkang yang bahkan dapat menimbulkan risiko lebih kompleks. Perlakukan anak sebagai ahli dan orang tua mendengarkan, pada proses diskusi, anak akan mengambil keputusan berdasar logikanya sendiri, bukan dari cara berpikir orang tua yang dipaksakan pada anak.
Sebagai sebuah produk teknologi, media sosial tentu memiliki dampak negatif. William Gibson, penulis dan penggagas genre cyberpunk mengungkapkan bahwa keberadaan teknologi sebenarnya bersifat netral, hingga kita para pengguna memanfaatkannya dengan berbagai tujuan, baik atau jahat.
Instagram telah membentuk cara pandang remaja tentang kondisi kehidupan yang ideal di dunia maya. Namun, tidak semua remaja dapat memenuhi tingkat ideal tersebut
Terungkapnya dampak negatif Instagram seperti yang dimuat Facebook memberi gambaran fenomena berbahaya media sosial. Munculnya dampak buruk media sosial menuntut pembenahan teknologi dari pihak pengelola untuk meminimalkan dampak negatif bagi penggunanya.
Terlebih, sekarang ini terjadi proses monopoli perusahaan media sosial. Saat ini Facebook memegang kendali empat media sosial yang paling banya digunakan di dunia, yaitu Facebook, Facebook Messenger, WhatsApp, dan Instagram.
Baca juga: "Dark Social" Ketika Media Sosial Menjadi Sumber Berita
Dari sisi pengguna, ancaman dampak buruk harus diimbangi literasi digital bagi konsumen agar dapat bersikap ekstra hati-hati menanggapi landskap media sosial yang dinamis. Kemampuan literasi ini membuat kendali penggunaan media sosial ada di tangan para warganet, bukan individu yang dikendalikan oleh media sosial.
Sebagai bagian dari komunitas warganet yang bijak, kita diundang untuk bukan hanya melindungi diri sendiri, tapi juga keluarga, teman, dan juga mereka yang berusia anak serta remaja supaya terhindar dari dampak negatif media sosial. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mari Berdayakan Media Sosial dengan Baik