Pandora Papers membuka tabir soal praktik penghindaran pajak sekaligus penyembunyian harta kekayaan. Bagaimana orang kaya melakukan modus ini?
Oleh
Rangga Eka Sakti
·4 menit baca
Setelah menganalisis lebih dari 12 juta dokumen rahasia, ratusan jurnalis di seluruh dunia yang tergabung dalam konsorsium internasional jurnalis investigasi atau ICIJ berhasil menyingkap praktik penyembunyian kekayaan, penggelapan pajak hingga pencucian uang yang dilakukan oleh orang orang terkuat dan terkaya di dunia.
Mulai dari monarki, politisi, musisi, hingga pebisnis berpengaruh di seluruh dunia terseret dalam mega skandal ini. Melalui temuan tersebut, kita dapat mengetahui bagaimana skema operasi mereka menghindari kewajiban dan menumpuk kekayaan selama puluhan tahun.
Secara umum, nyaris semua aset dari orang-orang terkaya di dunia ini disembunyikan di daerah surga pajak (Tax Haven) dan melalui mekanisme perusahaan cangkang (Shell Company).
Singkatnya, perusahaan cangkang ialah perusahaan yang pendiriannya hanya ditujukan untuk menampung aset sang pemilik. Biasanya, perusahaan ini bahkan hanya tampak di kertas dan tak memiliki pegawai serta kantor.
Perusahaan ini biasanya bertempat di wilayah dengan aturan perpajakan yang sangat longgar. Dalam wilayah ini, seperti contohnya Panama dan Mauritius, pajak yang diperuntukkan bagi perusahaan jauh lebih kecil dibandingkan dengan pajak yang dikenakan atas harta benda di negara pada umumnya.
Artinya, bagi para ”investor”, akan jauh lebih menguntungkan untuk menjadikan hartanya sebagai atas nama perusahaan cangkang yang ia dirikan di daerah surga pajak.
Dalam beroperasi, para pengemplang pajak ini difasilitasi oleh broker atau perusahaan yang menyediakan jasa pembuatan perusahaan cangkang. Dalam Pandora Papers, terdapat setidaknya 14 perusahaan broker ini yang beroperasi di seluruh dunia.
Sebanyak 14 perusahaan ini tersebar dan berkantor di Panama, Hong Kong, Belize, Kepulauan Virgin Inggris, Swiss, Uni Emirat Arab, Siprus, dan Seychelles. Dari ke 14 perusahaan inilah dana sebesar ratusan miliar dollar AS diputar tiap tahun.
Serupa dengan investigasi sebelumnya, seperti Panama Papers dan Paradise Papers, Pandora Papers mencatut ratusan figur penting yang kedapatan menyembunyikan kekayaannya via perusahaan cangkang.
Di antaranya ialah politisi, seperti Raja Abdullah II dari Jordan, Perdana Menteri Republik Ceko Andrej Babis, Perdana Menteri Pantai Gading Patrick Achi, Presiden Kongo Denis Sassou-Nguesso, Presiden Gabon Ali Bongo, Perdana Menteri Ukrania Volodymyr Zelensky, dan Presiden Montenegro Milo Djukanovic.
Tak hanya mereka yang tengah menjabat, beberapa orang di lingkar kekuasaan juga ikut masuk ke dalam daftar penerima keuntungan Pandora Papers. Beberapa diantaranya termasuk mantan orang dekat Presiden Rusia Vladimir Putin Svetlana Krivonogikh dan Keluarga Aliyev Presiden Azerbaijan. Bahkan, musisis terkenal Shakira pun juga ikut mendirikan perusahaan cangkang.
Dalam hal penyembunyian harta di lingkar politik, terdapat tiga kawasan dengan jumlah kasus tertinggi. Ketiga kawasan itu ialah Eropa sebanyak 14 kasus, Timur Tengah sejumlah 13 kasus dan Amerika Latin dan Karibia sebesar 15 kasus. Sementara kasus figur politik yang tercatut dalam Pandora Papers di kawasan Asia dan Afrika hanya tercatat sebesar 7 kasus dan 8 kasus.
Dari kawasan Amerika Latin dan Karibia, Panama menjadi negara yang paling buruk. Setidaknya, terdapat 3 mantan presiden Panama, yakni Juan Carlos Varela (2014-2019), Ricardo Martinelli (2009-2014) dan Ernesto Perez Balladares (1994-1999) ketahuan menyembunyikan kekayaannya melalui perusahaan cangkang.
Tak mengherankan, Panama sendiri pun menjadi salah satu negara Tax Haven yang menyediakan kenyamanan dan keamanan bagi ribuan ”investor” global.
Satu hal yang perlu dipahami adalah setidaknya dilihat dari fasadnya, praktik yang terungkap dari Pandora Papers ini bukanlah sesuatu yang ilegal.
Tiap sen uang yang terdaftar di berbagai perusahaan ”cangkang”, dicatat oleh puluhan perusahaan ”manajemen investasi” yang legal serta disertai dengan dokumen pendukung yang lengkap.
Namun, praktik ini tentu jauh dari kata etis. Seharusnya, pajak yang harus dibayarkan oleh para investor di perusahaan cangkang ini bisa digunakan untuk keperluan publik, seperti peningkatan layanan kesehatan, pendidikan hingga pembangunan infrastruktur.
Berdasar penelusuran ICIJ pada 2020, setidaknya 10 persen dari total output ekonomi global tersedot ke kawasan-kawasan tax haven ini. Tiap tahun, diperkirakan kerugian pemerintahan di seluruh dunia akibat praktik shell companies ini mencapai angka 800 miliar dollar AS.
Selain itu, fasilitas di kawasan tax haven sebetulnya menyimpan potensi untuk digunakan secara ilegal.
Selain menjadi celah bagi para konglomerat untuk menyembunyikan hartanya dari “bahaya” pajak, praktik mendirikan perusahaan cangkang ini juga rawan dijadikan tempat untuk menyimpang uang hasil dari usaha gelap.
Dengan adanya kemudahan fasilitas di wilayah surga pajak, uang hasil perdagangan narkoba, korupsi dan pencucian uang akan sulit untuk dilacak oleh pihak otoritas.
Bahkan, dalam beberapa kasus, wilayah tax haven ini mengakui dokumen yang ditulis tangan sebagai dokumen yang sah untuk digunakan. Tentu, penggunaan dokumen tulis tangan ini akan membuat aktivitas ilegal semakin sulit untuk dilacak karena nyaris tak meninggalkan jejak digital. (LITBANG KOMPAS)