Geliat dan Lanskap Bisnis Restoran di Era Pandemi
Restoran menjadi satu di antara sekian banyak bisnis yang terpuruk akibat pandemi Covid-19. Seiring kebijakan pelonggaran, diharapkan bisnis restoran kembali bangkit di tengah perubahan lanskap bisnisnya di era pandemi.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2F20211003ags36_1633347378.jpg)
Warga menikmati kuliner di sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Cakung, Jakarta Timur, Minggu (3/10/2021). Relaksasi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM di wilayah Jawa dan Bali perlahan mendorong perekonomian kembali bergerak. Sektor-sektor saham yang mendapatkan keuntungan dari relaksasi ini, antara lain, adalah sektor ritel dan pengelola pusat perbelanjaan.
Pandemi Covid-19 telah menyebabkan krisis di berbagai sektor usaha di tanah air, termasuk diantaranya bisnis restoran dan rumah makan. Selama masa pandemi, pelaku usaha restoran dan rumah makan mengalami keterpurukan yang berdampak pada berkurangnya omset penjualan dan pengurangan tenaga kerja.
Penyebabnya, kebijakan pembatasan aktivitas dan mobilitas masyarakat, demi menekan laju penularan virus corona, memaksa pengelola restoran dan rumah makan mengurangi jam layanan atau bahkan menutupnya sama sekali.
Jika tahun lalu digulirkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tahun 2021 ini pemerintah menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Terakhir, pemerintah memperpanjang kebijakan PPKM yang akan berlaku hingga 18 Oktober 2021 nanti.
Imbas dari kebijakan tersebut, tidak sedikit dari pemilik restoran/rumah makan yang terpaksa menutup usahanya untuk sementara waktu seperti tampak dari hasil survei BPS terkait Perilaku Masyarakat pada Masa Pandemi Covid-19 periode 13-20 Juli 2021 lalu.
Selama PPKM Darurat, sebanyak 39,6 persen responden menyatakan kegiatan di warung/rumah makan, kafe, pedagang kaki lima (PKL) tutup sementara. Angka tersebut meningkat dibandingkan sebelum PPKM Darurat diberlakukan, yakni hanya 12,1 persen. Responden lainnya yang menyatakan masih buka dengan protokol ketat sebesar 25,9 persen dan hanya 10,3 persen yang menyatakan buka secara normal.

Pengunjung menikmati kuliner di food court di pusat perbelanjaan di kawasan Senayan, Jakarta, yang telah dizinkan untuk makan di tempat di masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3, Sabtu (18/9/2021).
Kendati pelaku usaha restoran/rumah makan telah melakukan efisiensi biaya, namun melemahnya arus kas selama penerapan PSBB maupun PPKM Darurat memicu dampak lanjutan dari sisi tenaga kerja hingga berujung pada keberlangsungan bisnis.
Padahal, jumlah usaha penyedia makan minum relatif besar di Indonesia. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, diketahui usaha penyedia makan minum skala mikro kecil (UMK) berdasarkan Sensus Ekonomi 2016 hampir 4 juta usaha, dengan rata-rata jumlah tenaga kerja 3 orang. Kondisi ini hampir merata di seluruh provinsi di Indonesia.
Sementara itu, usaha penyedia makan minum berskala menengah besar (UMB) di Indonesia sebanyak 12.602. Dari jumlah itu, sebagian besar (49,12 persen) berlokasi di kawasan mall/pertokoan/ perkantoran. Sedangkan usaha yang berada di lokasi kawasan wisata hanya sebanyak 5,23 persen, di pusat kuliner sebanyak 6,68 persen dan lokasi lainnya seperti di kawasan industri, hotel, dan lokasi lainnya (kawasan perumahan, permukiman) sebanyak 38,97 persen.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F07%2F78b97de6-9dda-45b7-925d-4f124de4d901_jpg.jpg)
Warga menikmati sarapan pagi di warteg Mamoka Bahari di Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur, Selasa (27/7/2021). Pemerintah memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 Jawa-Bali menjadi 2 Agustus 2021.
Beragam sebab
Kelesuan bisnis restoran/rumah makan tersebut tak lepas dari adanya pembatasan operasional dan larangan menerima kunjungan makan di tempat (dine-in) serta hanya melayani pesanan bawa pulang (take away) dan pesan antar (delivery order).
Padahal menurut data BPS, porsi penjualan terbesar bisnis restoran/rumah makan adalah dikonsumsi di tempat, yaitu mencapai 55,54 persen. Sementara yang melalui pesan antar dan dibawa pulang oleh konsumen/ pelanggan sebesar 26,16 persen, dan sisanya melalui online 18,30 persen.
Pelaku usaha restoran tidak bisa sepenuhnya mengandalkan pengalihan pola bisnis, seperti penyediaan produk kemasan. Musababnya, minat masyarakat membeli produk kemasan berbentuk makanan beku tak sebesar makan di tempat.
Selain itu, dengan bekerja dari rumah (WFH), pendapatan restoran di sekitar perkantoran sudah pasti anjlok. Begitu pun saat aktivitas di pusat perbelanjaan atau mal sepi, apalagi sampai tidak beroperasi, akan berimbas pada kelangsungan hidup bisnis restoran. Terlebih, pengusaha restoran juga harus bersaing dengan banyaknya usaha rumahan yang menjual makanan dan minuman secara daring.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2F6e85ea59-e8c6-453a-8a46-30baf424f301_jpg.jpg)
Restoran di bioskop CGV Grand Indonesia, Jakarta Pusat, masih ditutup karena larangan makan dan minum di bioskop, Kamis (16/9/2021). Aturan ini berlaku setelah bioskop kembali dibuka dalam penyesuaian kebijakan pelonggaran PPKM Level 3.
Di sisi konsumen, lesunya bisnis restoran dipengaruhi pula oleh perilaku konsumen yang cenderung menghindari interaksi dengan orang lain di tempat umum. Alih-alih pergi ke restoran, di saat pandemi, orang-orang lebih memilih berbelanja bahan makanan serta bahan-bahan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Kondisi tersebut mengakibatkan usaha rumah makan atau restoran bisa dalam kondisi “besar pasak daripada tiang”, yaitu tingginya biaya operasional yang harus dibayar pengusaha. Sementara di sisi lain, pendapatan menurun sebagai dampak pembatasan kegiatan bisnis restoran.
Merujuk pada data survei yang dilakukan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) pada Desember 2020, pada Desember 2020 lalu, total restoran yang tutup permanen di Jabodetabek mencapai 1.033 unit usaha. Sedangkan, sekitar 400 restoran memutuskan tutup sementara.
Jumlah restoran tutup tersebut hanya memperhitungkan area Jabodetabek. Belum menghitung potensi restoran gulung tikar di seluruh Jawa dan luar Jawa, yang juga diberlakukan kebijakan PPKM.
Tak hanya pemilik usaha restoran/rumah makan saja yang terdampak, puluhan atau bahkan ratusan ribu orang yang mengandalkan pendapatan dari pekerjaan di restoran-restoran tersebut juga bisa menderita pengurangan pendapatan atau bahkan kehilangan pekerjaan.

Sejumlah kurir pemesanan makanan daring menunggu pesanan di restoran Burgreen di kawasan Darmawangsa, Jakarta, Kamis (26/3/2020). Pemesanan makanan melalui aplikasi daring seperti Go Food dan Grab Food menjadi andalan warga selama pandemi Covid-19.
PHRI melaporkan hingga Desember 2020 sudah terjadi PHK terhadap 200 ribuan pegawai restoran. Jika biasanya restoran mempekerjakan sampai 30 pegawai, kini tinggal tersisa 6-7 orang saja. Para pegawai yang di-PHK umumnya berstatus karyawan harian maupun kontrak. Sementara yang kini bertahan adalah karyawan tetap.
Terpuruknya bisnis rumah makan dan restoran selama pandemi itu tentu berdampak pula terhadap perekonomian nasional. Pasalnya, usaha kuliner, termasuk di dalamnya usaha restoran atau rumah makan, merupakan salah satu dari 17 subsektor ekonomi kreatif yang menjadi penyumbang terbesar struktur produk domestik bruto (PDB), yakni Rp 455,44 triliun atau 41 persen dari total PDB ekonomi kreatif sebesar Rp 1.134,9 triliun pada tahun 2020.
Di samping itu, bisnis kuliner merupakan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Sekitar 9,5 juta tenaga kerja diserap industri ini.
Lanskap Bisnis Restoran
Kebijakan pelonggaran aktivitas warga seiring dengan situasi pandemi yang terus membaik, tentu memberi angin segar bagi pelaku bisnis restoran/rumah makan untuk kembali bangkit dari keterpurukan.
Seperti tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 43 Tahun 2021, restoran/rumah makan dan kafe boleh buka malam hari dengan jam operasional 18.00-00.00 WIB waktu setempat. Kebijakan ini berlaku bagi provinsi yang berstatus PPKM level 3 dan 2. Selain itu, pusat perbelanjaan alias mal juga sudah boleh beroperasi, meski terbatas dan tidak di seluruh wilayah.
Pelonggaran tersebut membuat kunjungan ke restoran melonjak drastis. Hasil survei Mandiri Institute pada periode 22-28 Agustus 2021, menyebutkan angka kunjungan ke restoran di 8 kota besar naik drastis.
Kunjungan ke restoran pada periode itu melonjak ke tingkat 62 persen dari sebelumnya anjlok dan berada di tingkat 39 persen pada 1-11 Agustus 2021. Data ini berasal dari 7.828 restoran yang tersebar di 8 kota besar, yaitu Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Medan, Makassar, Surabaya, dan Denpasar.
Namun demikian, di tengah lonjakan pengunjung restoran tersebut, bisnis restoran atau rumah makan perlu menyesuaikan kembali dengan kondisi terkini sejalan dengan perubahan lanskap bisnis restoran di era normal baru.

Dalam buku kajian “Tren Industri Pariwisata 2021” yang diterbitkan oleh Kemenparekraf 2021, disebutkan perubahan lanskap bisnis restoran di era normal baru terbagi menjadi tiga lingkaran yaitu perubahan (luar), kompetisi (tengah), dan konsumen (dalam).
Pandemi Covid-19 memicu beberapa faktor yang mengubah lanskap bisnis restoran seperti resesi ekonomi, lesunya sektor pariwisata, gangguan rantai pasok pangan, percepatan ekonomi digital, dan kebijakan pembatasan sosial.
Hal ini turut mempengaruhi perilaku konsumen yang semakin banyak makan di rumah, beradaptasi terhadap platform digital (digital maturity), dan semakin berorientasi terhadap nilai, yaitu harga, kenyamanan, dan kecepatan.
Selain itu, konsumen semakin meminati konsep fast and casual dining yang memungkinkan konsumen untuk makan tanpa berlama-lama di lokasi dengan memperhatikan aspek kenyamanan.
Konsep bisnis restoran yang juga akan semakin populer adalah restoran luar ruangan (outdoor dining), inovasi menu (makanan beku dan siap masak), dan dapur bersama (ghost kitchen). Selain itu, transaksi nirsentuh juga akan semakin digandrungi oleh konsumen yang semakin peduli mengenai kebersihan, kesehatan, dan lingkungan berkelanjutan (CHSE) dan melek digital.

Wisatawan domestik memilih ikan segar di tempat makan Kampung ujung di Labuhan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Kamis (30/9/2021). Pariwisata di Labuhan Bajo kembali mulai bergeliat seiring dengan pelonggaran yang dilakukan pemerintah.
Kemudian, era normal baru juga melahirkan enam segmen restoran yang merupakan kombinasi dari tiga jenis penawaran, yakni pencari pengalaman makan, pencari nilai, dan pencari CHSE serta dua jenis akses, yakni loyalis makan di tempat dan penggiat pesan antar.
Strategi yang dapat dilakukan para pelaku usaha restoran untuk bertahan di era normal baru adalah beralih ke platform penjualan daring. Layanan pesan antar yang disediakan oleh platform daring yang akan semakin diminati oleh masyarakat.
Dari lanskap bisnis restoran tersebut, kreativitas tetaplah menjadi kunci untuk bisa beradaptasi di masa pandemi. Hal ini juga menjadi bagian dari inovasi model bisnis, konten makanan hingga pemasarannya. (LITBANG KOMPAS)