Mempertanyakan Pembayaran Digital Melalui Aplikasi PeduliLindungi
Pemerintah semestinya lebih memprioritaskan pembenahan kualitas dan keamanan data pada sistem aplikasi PeduliLindungi agar pemanfaatannya jauh lebih optimal. Bukan malah menambah fungsi aplikasi tersebut dompet digital
Oleh
Eren Marsyukrilla
·5 menit baca
Wacana menjadikan aplikasi PeduliLindungi berfungsi juga sebagai alat pembayaran digital menuai banyak pertanyaan. Langkah ini dinilai berbelok dari tujuan semestinya untuk penanganan Covid-19. Pemerintah semestinya lebih memprioritaskan pembenahan kualitas dan keamanan data pada sistem aplikasi agar pemanfaatannya jauh lebih optimal.
Sambutan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dalam forum virtual bertajuk Pembukaan Puncak Karya Kreatif Indonesia 2021 oleh Bank Indonesia lalu seketika menjadi perbincangan banyak pihak, Sabtu (23/9/2021).
Salah satunya soal pernyataan Luhut soal sistem pembayaran digital melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang akan dikembangkan pada aplikasi digital PeduliLindungi.
Rencana pengembangan aplikasi PeduliLindungi untuk juga dapat memiliki fungsi sebagai alat pembayaran sontak menimbulkan banyak pertanyaan. Terlebih, selama ini publik mengetahui bahwa digital aplikasi itu digunakan sebagai alat pendataan untuk penanganan pandemi Covid-19.
Seperti yang diketahui, aplikasi PeduliLindungi merupakan platform aplikasi digital yang dibangun pemerintah untuk memudahkan pendataan kesehatan dan perjalanan selama masa pandemi.
Setiap orang, kini telah diwajibkan untuk memiliki aplikasi tersebut karena menjadi salah persyaratan yang harus dipenuhi untuk beraktivitas dan mengakses tempat publik seperti restoran, perkantoran, mal, hingga pasar.
Dengan demikian, diharapkan pengendalian penyebaran virus dapat lebih terpantau dan juga dapat dideteksi sedini mungkin untuk langkah penanganan lanjutan.
Sejak awal diperkenalkan kepada publik pada Agustus 2021 lalu, aplikasi PeduliLindungi memang terus disempurnakan seiring dengan semakin meningkatnya jumlah pengguna.
Penggunaan aplikasi digital PeduliLindungi dalam pendataan penanganan Covid-19 di Indonesia memang bukan yang perdana. Sebelumnya, pemerintah yang dinaungi oleh Kementerian Kesehatan telah membuat paspor kesehatan digital (EHac) yang digunakan untuk mendata perjalanan seseorang dimasa pandemi.
Kini, paspor perjalanan digital itu telah terintegrasi dan digabung dalam aplikasi PeduliLindungi. Dengan begitu, data yang terekam dalam aplikasi penanganan Covid-19 ini pun cukup lengkap, mulai dari identitas diri, riwayat vaksin dan terpapar Covid-19, hingga data aktivitas dan perjalanan.
Data dan informasi yang terekam dalam aplikasi PeduliLindungi tersebut tentulah sangat memenuhi syarat untuk dimanfaatkan dalam mengakses layanan pembayaran digital atau biasa disebut dengan dompet digital.
Penggunaan aplikasi PeduliLindungi dengan fungsi dompet digital (e-wallet) tentulah menuai banyak pertanyaan.
Selain karena dinilai melebar dari tujuan utamanya untuk kepentingan penanganan Covid-19, pemanfaatannya sebagai alat pembayaran pun tentu memerlukan pengerjaan teknis dan juga harus dilakukan dengan pertimbangan sesuai peraturan yang berlaku.
Apalagi hal ini menyangkut adanya peralihan dan penggunaan data pribadi secara hukum dilindungi oleh undang-undang.
Kekhawatiran banyak pihak ini tentulah sangat berdasar mengingat performa aplikasi PeduliLindungi yang masih perlu banyak pembenahan. Kendala dan gangguan saat mengakses aplikasi hingga adanya kebocoran data pengguna untuk aplikasi paspor digital kesehatan yang terjadi beberapa waktu lalu seharusnya menjadi pekerjaan rumah prioritas yang dibenahi.
Selain urgensi untuk optimalisasi dan penyempurnaan keamanan data pengguna, banyak ahli yang menyayangkan rencana pemanfaatan platform PeduliLindungi sebagai alat pembayaran.
Pengamat Forensik Digital Ruby Alamsyah menyebutkan, pemerintah seharusnya justru lebih memprioritaskan pembenahan berbagai persoalan yang ditemukan selama menerapkan aplikasi PeduliLindungi untuk fokus pendataan yang mempermudah kerja penanganan Covid-19, seperti mengoptimalkan sistem keamanan data (Kompas.com 25/9/2021).
Selain itu, untuk menjadi penyedia layanan pembayaran digital yang dapat digunakan oleh publik, suatu aplikasi wajib memenuhi syarat yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonsia.
Berdasarkan tujuan fungsi dan realisasi pemanfaatan yang dilakukan hingga hari ini, wacana untuk menjadikan aplikasi PeduliLindungi menjadi alat pembayaran digital tampaknya memang tak berdasar kuat atas kebutuhan masyarakat dan penanganan Covid-19.
Di tengah masih banyaknya ketidakoptimalan fungsi yang harus diperbaiki untuk pendataan monitoring situasi pandemi, rencana membuat dompet digital ini hanya akan mengganggu fokus dan menggoyang kepercayaan publik atas kerja pemerintah dalam penanganan Covid-19.
Dalam cakupan fungsional dan ranah kerja pemerintahan, rencana tersebut juga berpotensi menimbulkan banyak mispersepsi yang menimbulkan kesan kementerian atau lembaga negara terkait justru sedang memanfaatkan kesempatan yang tak berlandas pada kepentingan masyarakat yang tengah kesulitan mengahadapi pandemi.
Apalagi banyak pula publik berpendapat bahwa urusan pengembangan pembayaran digital yang sarat akan kepentingan komersial tersebut semestinya bukan ditangani oleh kementerian, namun telah menjadi ranah kerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dalam hal ini, perusahaan plat merah negara juga telah masuk ke pasar persaingan dompet digital dengan meluncurkan aplikasi Link Aja.
Menjadikan platform PeduliLindungi dengan basis pengguna yang terus masif berkembang memang cukup menggiurkan di tengah pertumbuhan pasar dompet digital yang sangat signifikan.
Keberadaan dompet digital di Indonesia memang terus berkembang sangat pesat, bahkan data Bank Indonesia mencatat, selama pandemi Covid-19 ada kenaikan hingga 20 persen untuk penggunaan dompet digital dalam transaksi non tunai (data hingga November 2020).
Dalam laporan yang diluncurkan oleh Buko Inc. bertajuk "Mobile Wallets Reports 2021", mengungkap bahwa total pengguna e-wallet di Indonesia mencapai 63,6 juta. Diprediksi jumlahnya akan terus meningkat menjadi 202 juta pengguna hingga tahun 2025 mendatang.
Lebih lanjut, temuan dalam kajian itu juga menunjukkan bahwa pasar dompet digital sangat potensial. Sepanjang tahun 2020, nilai transaksi e-wallet di tanah air mencapai tak kurang dari US$ 28 miliar dengan volume transaksi hingga 1,7 miliar kali.
Hingga kini, berbagai penyedia layanan e-wallet pun terus bermunculan dan menggeser perilaku lama pembayaran dengan menggunakan uang tunai. Data tahun 2020, jumlah penyedia layanan e-wallet di telah mencapai lebih dari 50 operator yang telah mendapatkan izin regulasi dari Bank Indonesia.
Merujuk pada "Mobile Wallets Reports 2021", terdapat sejumlah e-wallet yang populer dan telah merajai pasar dalam negeri yaitu OVO, Shopee pay, Link Aja, Gopay, dan Dana.
OVO, misalnya, tercatat sebagai e-wallet yang paling besar menguasai pangsa pasar nasional hingga 38,2 persen dengan total nilai transaksi mencapai US$ 10,75 miliar sepanjang 2020 lalu. Dalam lima tahun ke depan, diperkirakan nilai transaksinya dapat meningkat hingga US$ 40,91 miliar.
Besarnya potensi e-wallet di Indonesia tentulah begitu menggiurkan untuk dapat dikembangkan dan melibatkan banyak aplikasi digital besutan dalam negeri.
Namun demikian, rencana mentransformasikan PeduliLindungi sebagai alat pembayaran daring akan terus menimbulkan polemik, selagi masih belum matangnya pertimbangan dan pengkajian akan hal tersebut.
Langkah yang diambil pemerintah kini sejatinya memang harus lebih prioritas pada kegunaan dan tujuan awal dibentuknya aplikasi digital tersebut. (LITBANG KOMPAS)