Peluang Pemulihan Ekonomi Wisata Bali dan Yogyakarta
Aktivitas wisata yang taat protokol kesehatan menghadirkan harapan bagi tumbuhnya kembali ekonomi pariwisata di DIY dan Bali.
Oleh
Agustina Purwanti
·6 menit baca
Melandainya laju penularan Covid-19 yang diikuti turunnya level PPKM membawa angin segar bagi dunia pariwisata. Uji coba pembukaan wisata berpotensi meningkatkan kembali ekonomi wilayah yang bergantung pada sektor tersebut seperti Bali dan Yogyakarta. Meski demikian, pengawasan harus diperketat untuk mengantisipasi fenomena wisata “balas dendam”.
Laju penularan Covid-19 mulai melandai setelah satu setengah tahun melanda Indonesia. Memasuki bulan September 2021, jumlah terkonfirmasi positif mulai kurang dari 10.000 kasus per hari setelah mencapai titik puncak pada 15 Juli 2021 dengan 56.757 kasus harian. Bahkan, data termutakhir yang disajikan oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan, jumlah terkonfirmasi positif harian pada 27 September 2021 sudah turun ke angka 1.390 kasus.
Perbaikan tersebut kemudian diikuti dengan turunnya level PPKM hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Menurut Instruksi Menteri Nomor 39 Tahun 2021, hanya tersisa 11 daerah yang menerapkan PPKM level 4 di Jawa-Bali sejak 6 September 2021. Salah satu wilayah yang berhasil keluar dari PPKM level 4 adalah Provinsi DI Yogyakarta.
Perbaikan pun terus berlanjut ditandai dengan tidak ada lagi wilayah di Jawa-Bali yang menerapkan PPKM level 4, hanya PPKM level 3 dan level 2. Provinsi Bali, di mana sebelumnya semua kabupaten dan kotanya masih masuk level 4, menyusul DIY turun ke level 3.
Kondisi yang berangsur-angsur membaik itu kemudian diikuti dengan sejumlah pelonggaran aktivitas, seperti kegiatan sekolah, perkantoran, hingga wisata. Salah satu kebijakan yang diterapkan adalah uji coba pembukaan 20 tempat wisata di Jawa, tiga di antaranya ada di Provinsi DIY. Begitu pula dengan Bali, uji coba pembukaan tempat wisata telah dimulai, meski hanya wisata alam dan budaya.
Uji coba tersebut membawa angin segar bagi wilayah yang ekonominya bergantung pada kegiatan wisata, seperti DIY dan Bali. Pasalnya, sejak pandemi melanda, ekonomi kedua wilayah tersebut sangat terpukul.
Merujuk catatan Badan Pusat Statistik, DIY dan Bali bahkan masuk dalam lima besar provinsi dengan laju pertumbuhan ekonomi terendah tahun 2020. Bali menjadi provinsi dengan kontraksi terdalam, yakni minus 9,31 persen.
Kemerosotan tersebut terjadi lantaran hampir seluruh kegiatan masyarakat dibatasi sejak Covid-19 masuk ke Indonesia pada Maret 2020, termasuk aktivitas wisata. Hal itu dilakukan sebagai upaya pencegahan penularan Covid-19. Padahal, pariwisata menjadi sektor prioritas bagi perekonomian Bali.
Terpuruk
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mencatat, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke Bali tahun 2020 turun drastis menjadi 1,07 juta orang. Sedangkan, tahun 2019 mampu mencapai lebih dari 3,4 juta wisatawan. Artinya, berkurang lebih dari dua per tiganya.
Begitu pula dengan jumlah kunjungan wisatawan domestik. Tahun 2019, sekitar 10,5 juta orang datang ke Bali, namun berkurang lebih dari separuh menjadi 4,5 juta pengunjung pada tahun 2020.
Sebagai imbas dari berkurangnya jumlah wisatawan tersebut, terjadi kontraksi pada sektor akomodasi dan makan minum sebagai representasi dari aktivitas pariwisata. Bahkan, perannya terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Bali pun turut terlibas. Pada 2019, hampir seperempat PDRB Bali disumbang oleh sektor tersebut. Namun, sejak triwulan I 2020, kontribusinya turun menjadi 17 persen.
Hal serupa juga terjadi di Provinsi DIY. Meski bukan satu-satunya sektor unggulan, namun turunnya aktivitas wisata cukup mempengaruhi ekonomi DIY. Pada 2020, jumlah wisman yang masuk melalui Bandara Adisutjipto dan Bandara Yogyakarta International Airport turun 69,8 persen menjadi 18.653 orang. Padahal, tahun sebelumnya mampu mencapai 61.858 orang.
Wisatawan domestik pun berkurang, tergambar dari jumlah wisatawan nusantara yang menggunakan hotel di DIY, baik hotel bintang maupun non bintang. Jumlahnya mampu mencapai 6,1 juta orang pada 2019 namun turun menjadi 1,7 juta orang pada 2020. Berkurangnya pengguna hotel membuat sektor akomodasi dan makan minum terkontraksi sebesar minus 37,44 persen pada triwulan II 2020, atau minus 16,91 persen sepanjang 2020.
Tak hanya itu, sumbangan sektor tersebut pada PDRB DIY pun turun menjadi 6,6 persen pada triwulan II 2020. Padahal, tahun 2019 menjadi sektor dengan kontribusi terbesar ketiga pada PDRB DIY, setelah sektor industri pengolahan dan sektor konstruksi.
Melemahnya bidang pariwisata pun masih berlanjut hingga 2021. Bahkan, pada Juli 2021, tingkat penghunian kamar (TPK) di kedua wilayah tersebut jauh dari rerata nasional. TPK DIY sebesar 13,32 persen dan TPK Bali sebesar 5,23 persen. Sementara rerata TPK nasional berada pada angka 22,38 persen. TPK ini memberikan gambaran berapa persen kamar yang tersedia terisi oleh tamu yang menginap dalam suatu waktu tertentu.
“Revenge Tourism”
Melihat terpuruknya sektor pariwisata di masa pandemi, uji coba pembukaan wisata menghadirkan harapan bagi tumbuhnya kembali ekonomi DIY dan Bali. Meski demikian, pengawasan terhadap kegiatan pariwisata di masa yang akan datang tetap harus diperketat.
Pasalnya, akhir-akhir ini muncul fenomena “revenge tourism” atau “wisata balas dendam”. Istilah tersebut digunakan untuk menyebut fenomena drastisnya peningkatan jumlah pelancong setelah lebih dari setahun kegiatan wisata bisa dikatakan berhenti.
Alih-alih membangkitkan kembali ekonomi wisata, fenomena tersebut justru dapat menjadi bumerang bagi wilayah yang dikunjungi oleh para wisatawan. Seperti yang terjadi di China pada akhir 2020.
Selama masa liburan umum tahunan atau biasa disebut “Golden Week”, pemerintah China memperkirakan ada 550 juta orang yang melakukan perjalanan di dalam negeri. Bahkan saat itu “wisata balas dendam” sengaja dikampanyekan untuk mendorong bangkitnya kembali ekonomi China.
Peningkatan benar-benar terjadi. Pemesanan hotel meningkat dua kali lipat. Bahkan, maskapai penerbangan menambahkan rute untuk memenuhi lonjakan permintaan.
Namun demikian, fenomena tersebut justru memicu naiknya kembali kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di China. Pada 10 Januari 2021, jumlah kasus Covid-19 menyentuh angka 103 kasus dan menjadi yang tertinggi sejak 127 kasus dilaporkan pada 30 Juli 2020.
Tentu hal serupa tak diharapkan terjadi di Indonesia, setelah Indonesia secara keseluruhan mulai pulih dari situasi pandemi. Uji coba pembukaan 20 tempat wisata yang tentu akan diikuti lebih banyak tempat wisata lainnya, harus diimbangi dengan pengawasan dan pengelolaan yang ketat.
Pihak pengelola, dapat mengejar kepemilikan sertifikat CHSE. Sertifikat tersebut diberikan kepada usaha pariwisata, destinasi pariwisata, dan produk pariwisata lainnya untuk memberikan jaminan kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan kepada wisatawan.
Bali masuk dalam lima besar provinsi dengan laju pertumbuhan ekonomi terendah tahun 2020
Di Provinsi DIY, baru terdapat 342 usaha pariwisata yang memiliki sertifikat CHSE. Bidang usaha yang paling banyak memiliki CHSE adalah hotel dengan 153 sertifikat. Sementara, Provinsi Bali sudah memiliki 1.393 sertifikat CHSE, dengan 618 sertifikat dimiliki oleh bidang usaha hotel.
Kepemilikan sertifikat tersebut harus ditingkatkan lantaran belum semua usaha pariwisata memiliki sertifikat tersebut. Sebagai contoh bidang restoran/rumah makan di Bali. Menurut data BPS, terdapat 3.233 restoran/rumah makan di Bali. Namun, hingga 21 September 2021 baru terdapat 331 restoran yang memiliki sertifikat CHSE atau baru mencapai 10 persen.
Langkah kedua adalah percepatan vaksinasi. Hingga 27 September pukul 12.00 WIB, vaksinasi dosis pertama secara nasional baru mencapai 41,85 persen dari target 208,2 juta penduduk. Capaian vaksinasi di DIY dan Bali memang sudah cukup tinggi, 75,3 persen dan 96,2 persen. Namun, boleh jadi wisatawan akan datang dari luar wilayah tersebut mengingat pelonggaran mobilitas juga terjadi seiring turunnya level PPKM.
Di sisi lain, pengawasan dari sisi pengunjung juga harus diperketat. Pasalnya, bukan tidak mungkin wisatawan datang bersama keluarga termasuk anak-anak berusia kurang dari 12 tahun yang belum mendapatkan vaksinasi. Hal tersebut menjadi sangat berbahaya karena akan lebih rentan terpapar virus.
Jika vaksinasi tak segera mencapai target, maka wisata zonasi dapat menjadi pilihan, sehingga pengawasan relatif lebih mudah dilakukan dan ekonomi wisata tetap berjalan. Kerja sama dari seluruh pihak, baik pemerintah, pengelola wisata, maupun masyarakat menjadi sangat penting untuk menciptakan aktivitas wisata yang taat protokol kesehatan.
Hal tersebut dimaksudkan agar kegiatan wisata dapat membangkitkan kembali perekonomian tanpa dibayangi gelombang baru pandemi Covid-19. (LITBANG KOMPAS)