Perkecil Peluang untuk Korupsi
Kejahatan korupsi sulit hilang dari Tanah Air karena selama ini berbagai kenyamanan diberikan kepada koruptor. Tidak heran jika para koruptor ini tidak pernah tertunduk takut saat ditangkap aparat penegak hukum.
Jika ada kejahatan luar biasa yang masih terus terjadi di masa pandemi Covid-19, korupsi adalah salah satunya. Ringannya tanggung jawab para koruptor membuat mereka tidak pernah takut untuk korupsi.
Meski pandemi melanda, ruang gerak virus korupsi masih tak terbatas dan terus menggerogoti negeri ini. Tiga hari setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama korona di Indonesia, Kejaksaan Tinggi Papua menetapkan Bupati Waropen Yermias Bisay sebagai tersangka penerimaan gratifikasi Rp 19 miliar.
Kasus terbaru, KPK menahan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin yang diduga tersangkut pengurusan perkara di Lampung Tengah, Sabtu (25/9/2021). Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan juga menetapkan mantan Gubernur Sumsel Alex Noerdin sebagai tersangka dugaan korupsi dana hibah Masjid Raya Sriwijaya yang merugikan negara hingga Rp 130 miliar.
Secara total, pada periode 2020 hingga 31 Maret 2021 ada 126 tersangka korupsi yang diproses hukum KPK. Ini di luar yang ditangani Kejaksaan dan Kepolisian. Kondisi ini menggambarkan tetap suburnya praktik korupsi walau Indonesia masih menghadapi kondisi darurat kesehatan nasional akibat wabah korona.
Tidak tanggung-tanggung, koruptor bahkan juga menggarong duit penanganan pandemi. Sebut saja bekas Menteri Sosial Juliari Batubara yang didakwa menerima uang suap Rp 32,482 miliar dalam proyek pengadaan bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 pada 2020.
Ada pula Bupati Bandung Barat Aa Umbara Sutisna yang ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan barang tanggap darurat bencana pandemi Covid-19 di Dinas Sosial Kabupaten Bandung Barat pada 2020.
Modus suap juga dilakukan Amry Ady Haris, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) di Dinkes Sulawesi Tenggara. Ia didakwa menerima suap dari pihak swasta dalam pengadaan alat tes PCR dan reagen PCR dengan nilai total Rp 3,1 miliar.
Kasus penggelapan dari penjualan vaksin Covid-19 senilai Rp 271 juta juga diungkap Polda Sumatera Utara. Kasus ini melibatkan empat tersangka, termasuk pejabat dan dokter di Dinas Kesehatan Sumut.
Rentetan korupsi yang terus terjadi ini menimbulkan pertanyaan, apa yang membuat para pejabat korup ini masih berani melakukan penyelewengan yang merugikan rakyat dan melukai nurani bangsa Indonesia?
Pertanyaan ini mudah dijawab dengan melihat betapa ringannya tanggung jawab yang dijalani para koruptor. Tanggung jawab ringan ini dapat dilihat secara menyeluruh sejak mereka dituntut ringan, mendapat vonis ringan, leluasa menikmati aspek kenyamanan di penjara, tidak menjalankan kewajiban uang pengganti, mendapat remisi hukuman, hingga masih ada jaminan menjadi pejabat publik setelah menjalani hukuman.
Leluasa
Deretan fasilitas mewah ini dimulai dari perlakuan istimewa bagi terdakwa korupsi saat menjalani sidang pengadilan. Kajian ”Tren Vonis Korupsi 2020” yang dilakukan lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan tuntutan dan vonis yang relatif ringan (0-4 tahun penjara) bagi para koruptor.
Dari 1.298 terdakwa korupsi yang menjalani persidangan pada 2020, lebih dari separuhnya (56 persen) dituntut hukuman di bawah 4 tahun penjara. Tuntutan ringan membuat hukuman yang diterima juga relatif minim. Sebanyak 760 koruptor hanya dihukum di bawah 4 tahun penjara. Sementara hukuman di atas 10 tahun penjara dikenakan kepada 18 koruptor.
Bagi yang beruntung, vonis yang diterima bukan lagi ringan, melainkan bebas. Dalam catatan ICW pada 2020, sebanyak 66 terdakwa koruptor bebas dari hukuman. Jumlah vonis bebas tersebut terus meningkat dalam empat tahun terakhir.
Selepas menerima vonis, para koruptor menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Namun, penjara bukanlah suatu lokasi yang menakutkan dan membuat mati gaya. Sebagian dari mereka masih leluasa mendapatkan fasilitas mewah.
Beberapa narapidana bisa leluasa pergi-pergi keluar penjara. Pada Juni 2019, publik Indonesia dihebohkan dengan tersebarnya foto terpidana korupsi Setya Novanto di sebuah toko bangunan di Bandung Barat. Sebelumnya, Novanto juga pernah kedapatan sedang makan di sebuah restoran.
Aksi keluyuran juga pernah dilakukan Gayus Tambunan, seorang narapidana korupsi pajak, diketahui sedang menonton pertandingan tenis di Bali pada 2010. Kemudahan akses bagi narapidana ini makin terungkap setelah mantan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Wahid Husen dihukum karena menerima suap dengan memberikan sejumlah fasilitas kepada narapidana korupsi.
Wahid memfasilitasi para napi menggunakan pendingin udara, televisi, telepon genggam, serta diberi kemudahan keluar lembaga pemasyarakatan. Salah satu narapidana korupsi yang menikmati fasilitas itu adalah Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan.
Di balik nyamannya penjara, para koruptor ini juga tidak perlu rumit-rumit memikirkan uang pengganti kejahatan mereka. ICW menyebutkan, pada 2020, nominal uang pengganti yang disebutkan pengadilan sebesar Rp 19,6 triliun. Padahal, jumlah uang kerugian negara yang ditimbulkan dari praktik korup mencapai Rp 56,7 triliun.
Bahkan, tidak semua kewajiban uang pengganti tersebut dibayarkan. Riset yang dilakukan Indonesia Legal Analytic System menemukan, dari hasil kajian 694 putusan terpidana korupsi sepanjang 2011-2015, sebanyak 642 terpidana atau 92 persen tidak melakukan pengembalian kerugian negara (Kompas, 28/10/2019).
Berulang
Nyamannya para koruptor masih ditambah dengan pemberian pengurangan hukuman. Tahun ini, ada 214 narapidana korupsi yang mendapat remisi pada peringatan HUT Ke-76 Kemerdekaan RI.
Salah satu yang menikmati pengurangan hukuman itu adalah Joko Tjandra, terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih utang Bank Bali. Joko yang sempat menjadi buron selama 11 tahun mendapat remisi dua bulan.
Upaya lain yang bisa dilakukan para korutor untuk mengurangi hukuman adalah mengajukan peninjauan kembali. Diskon hukuman ini dinikmati, antara lain, bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, pengacara OC Kaligis, bekas Ketua DPD Irman Gusman, serta bekas Bupati Talaud Sri Wahyumi Manalip.
Keberhasilan ini menginspirasi rekan-rekan sejawat koruptor lainnya untuk mengajukan peninjauan kembali. Pada 2020, KPK mencatat ada 65 terpidana korupsi yang mengajukan upaya PK untuk mengurangi hukumannya agar segera bebas dari penjara.
Selepas dipenjara, para koruptor ini tidak perlu khawatir menjadi pengangguran. Aturan yang berlaku memperbolehkan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam pilkada atau mencalonkan sebagai anggota legislatif.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PPU-XVII/2019 menyebutkan mantan terpidana korupsi dapat maju di pilkada setelah lima tahun menyelesaikan hukuman penjara. Namun, sebagai catatan, ancaman hukuman pidananya tidak lebih dari 5 tahun.
Penjara bukanlah suatu lokasi yang menakutkan dan membuat mati gaya. Sebagian dari mereka masih leluasa mendapatkan fasilitas mewah.
Untuk anggota legislatif, pada September 2018 Mahkamah Agung memutuskan membatalkan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 dan Nomor 26 Tahun 2018, yang melarang bekas narapidana perkara korupsi menjadi calon anggota legislatif di Pemilu 2019.
Dengan demikian, lengkap sudah keistimewaan yang dialami para koruptor di Indonesia, mulai dari tuntutan yang menguntungkan mereka hingga jaminan masih bolehnya menjadi pejabat publik sebagai anggota legislatif dan kepala daerah.
Kenyamanan bagi para koruptor ini membuat mereka tidak jera dan akan terus melakukan aksinya mengambil uang Negara. Contohnya adalah bekas Bupati Kudus M Tamzil. Pada April 2020, oleh Pengadilan Tipikor Semarang ia dihukum 8 tahun penjara terkait dugaan suap pengisian jabatan. Di periode sebelumya, Tamzil pernah dihukum 1 tahun 10 bulan penjara pada 2015 juga karena korupsi saat menjabat sebagai bupati.
Melihat ringannya tanggung jawab para koruptor, penerapan hukuman yang membuat jera dan pembatasan aktivitas politik perlu diterapkan secara lugas kepada pelaku korupsi. Tanpa itu semua, berbagai terobosan pencegahan korupsi berupa transparansi anggaran atau penggunaan teknologi informasi dalam memperkuat akuntabilitas penyelenggara negara akan menjadi sia-sia.
Baca juga : Ketika Bekas Terpidana Korupsi Berkontestasi
Jika para koruptor masih berani menelikung uang rakyat karena hukumannya ringan, nyaman di penjara, tidak membayar uang pengganti, mendapat remisi, hingga masih bisa menjadi pejabat publik, langkah sebaliknya harus segera diambil negara untuk menghentikan praktik korupsi.
Selagi itu tidak dilakukan, para koruptor ini tidak pernah tertunduk takut saat ditangkap aparat penegak hukum dan tanpa ragu akan terus melakukan korupsi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Reformasi yang Belum Tuntas