Membaca Asa Pariwisata Bali dari Kacamata Pengendalian Pandemi
Tren positif pengendalian Covid-19 terjadi di Bali. Kondisi ini belum menjamin pariwisata aman kembali dibuka untuk umum. Sejumlah aspek tetap perlu diperhatikan.
Bali mencatatkan tren positif dalam upaya pengendalian Covid-19 selama beberapa pekan terakhir. Namun, ada beberapa aspek yang perlu menjadi perhatian khusus sebelum pariwisata di wilayah ini dibuka untuk umum.
Upaya pengendalian Covid-19 di Bali menunjukkan perbaikan dalam beberapa pekan terakhir. Hal ini terekam dalam indeks pengendalian Covid-19 Indonesia (IPC-19) dari Kompas.
Indeks ini merekam capaian pengendalian Covid-19 pada setiap provinsi di Indonesia berdasarkan dua aspek, yakni manajemen pengobatan dan manajemen infeksi. Dari skala 0-100, semakin tinggi capaian skor indeks suatu daerah, semakin baik pula pengendalian Covid-19 di wilayah itu.
Setelah mengalami perburukan pada Juli 2021, kondisi pengendalian Covid-19 di Bali perlahan berhasil membaik sejak pekan pertama Agustus 2021. Sama seperti daerah-daerah lain di Pulau Jawa, Bali terus mengalami tren perbaikan pengendalian hingga periode 20 September 2021.
Bahkan, untuk pertama kalinya Bali berhasil mencapai skor IPC-19 di atas rata-rata nasional. Jika sejak Juli hingga pekan kedua September 2021 skor yang diraih Bali tidak pernah berada di atas rata-rata skor nasional, pada periode penghitungan per 20 September lalu, Bali berhasil mencatatkan skor sebesar 75, lebih tinggi satu poin dibandingkan rata-rata skor IPC-19 nasional.
Bali juga menjadi satu dari 13 provinsi di Indonesia yang berhasil mencatatkan kenaikan skor indeks secara konsisten setiap pekan selama lima minggu terakhir. Artinya, upaya pengendalian pandemi di Bali mulai membuahkan hasil.
Baca juga : Di Balik Angka Indeks Pengendalian Covid-19
Faktor pendorong
Ada beberapa faktor pendorong membaiknya skor indeks pengendalian Covid-19 di Bali. Pertama, dari sisi kebijakan, pengendalian pandemi di Bali dilakukan secara paralel dengan daerah-daerah di Pulau Jawa.
Kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Jawa-Bali turut memperketat upaya pengendalian pandemi di wilayah ini. Pembatasan aktivitas sosial, wisata, hingga pendidikan berjalan seiring dengan kebijakan yang juga diterapkan pada daerah-daerah lain di Pulau Jawa.
Kondisi inilah yang mendorong perbaikan skor indeks di Bali bergerak paralel seiring dengan perbaikan yang terjadi di daerah-daerah lain di Pulau Jawa saat penerapan PPKM darurat.
Selain itu, masih dari sisi kebijakan, Bali merupakan daerah yang menjadi target prioritas program vaksinasi. Keinginan pemerintah untuk mempercepat pemulihan di Bali guna menggiatkan pariwisata berbanding lurus dengan upaya vaksinasi yang dilakukan di wilayah ini.
Jika merujuk data Kementerian Kesehatan per 23 September 2021, Bali merupakan daerah kedua yang mencatatkan persentase vaksinasi dosis lengkap tertinggi di Indonesia.
Dari 4,3 juta penduduk di wilayah itu, 58,4 persen telah menerima vaksinasi dosis lengkap. Bali hanya tertinggal dari DKI Jakarta yang telah memberikan vaksinasi dosis lengkap kepada 73,4 persen penduduk pada saat yang sama.
Vaksinasi juga diberikan secara merata di setiap wilayah di Bali. Jika menengok catatan Kementerian Kesehatan tentang capaian vaksinasi dosis lengkap, setiap kabupaten/kota di Bali telah memberikan vaksin kepada lebih dari 50 persen target. Kondisi ini cukup berbeda dibandingkan beberapa provinsi lain dengan pemberian vaksin masih terpusat di kota-kota besar.
Kedua, dari sisi kehidupan sosial, Bali merupakan daerah dengan karakteristik masyarakat yang cukup homogen, baik dalam aspek sosial maupun politik. Kondisi ini juga turut memudahkan upaya penerapan kebijakan penanganan pandemi yang dirumuskan pemerintah.
Selain itu, kehadiran pecalang, petugas keamanan tradisional di Bali, juga turut mendorong perbaikan pengendalian pandemi di wilayah ini. Selama PPKM darurat, misalnya, pecalang turut aktif melakukan pengawasan aktivitas masyarakat, terutama di kawasan wisata, agar masyarakat tidak melanggar ketentuan yang ditetapkan.
Faktor-faktor inilah yang turut mendorong perbaikan pengendalian Covid-19 di Bali. Jika dikaitkan dengan indikator yang digunakan dalam pengukuran IPC-19, faktor pendorong ini berbanding lurus dengan raihan yang dicapai, yakni membaiknya tren pada aspek manajemen infeksi.
Aspek ini mengukur tingkat kenaikan kasus Covid-19, rata-rata perbandingan jumlah kasus dengan tes yang dilakukan, dan capaian vaksinasi dosis lengkap dibandingkan dengan jumlah penduduk. Selama delapan pekan berturut-turut, skor pada aspek manajemen infeksi konsisten mengalami perbaikan.
Bahkan, pada 20 September 2021, Bali bersama Kepulauan Riau menjadi daerah dengan skor tertinggi kedua di Indonesia pada aspek manajemen infeksi. Artinya, secara preventif, Bali sudah berada pada kondisi yang lebih baik dalam mencegah lonjakan kasus dibandingkan situasi pada Juli 2021.
Baca juga : Jawa-Bali Tetap Harus Waspada
Geliat pariwisata
Membaiknya kondisi di Bali turut disikapi pemerintah dengan melahirkan wacana untuk membuka kegiatan pariwisata. Jika tidak ada hambatan yang berarti, pariwisata di Bali akan dibuka dengan hati-hati pada Oktober 2021 mendatang.
Pada satu sisi, wacana ini terbilang wajar mengingat Bali adalah salah satu magnet pariwisata yang diandalkan Indonesia untuk menarik wisatawan mancanegara. Apalagi, pariwisata Bali tahun ini sangat terpuruk seiring penutupan tempat-tempat wisata.
Badan Pusat Statistik mencatat, kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali pada periode Januari-Juni 2021 turun sebesar 99,9 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Membaiknya situasi dan upaya pengendalian pandemi di Bali tentu menjadi harapan bagi geliat pariwisata di wilayah ini.
Namun, pembukaan pariwisata di wilayah Bali perlu mempertimbangkan beberapa aspek. Pasalnya, di samping membaiknya upaya pencegahan yang ditandai skor manajemen infeksi, Bali masih memiliki pekerjaan rumah dari aspek manajemen pengobatan.
Bali adalah daerah dengan skor indeks terendah pada aspek manajemen pengobatan di antara provinsi lain di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Bahkan, dibandingkan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, raihan skor Bali masih terpaut cukup jauh. Artinya, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dari aspek kuratif di tengah wacana pembukaan pariwisata di Bali.
Aspek manajemen pengobatan melihat tiga hal sebagai indikator pengukuran, yakni total sembuh terhadap total kasus, rata-rata kematian terhadap total kasus, dan rata-rata tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit khusus Covid-19 selama tujuh hari. Dari ketiga indikator ini, Bali perlu memberi perhatian khusus pada upaya menekan angka kematian serta keterisian tempat tidur khusus Covid-19.
Meskipun telah menunjukkan tren yang membaik untuk kedua indikator ini, situasi yang dialami Bali belum lebih baik dibandingkan daerah lain, terutama Jawa dan Nusa Tenggara.
Keterisian tempat tidur, misalnya. Pada 20 September 2021, keterisian tempat tidur untuk pasien Covid-19 di Bali secara rata-rata selama tujuh hari mencapai 25,77 persen, lebih tinggi dibandingkan daerah tetangga, seperti Jawa Timur (11,35 persen), NTB (11,07 persen), dan NTT (15,85).
Angka keterisian tempat tidur khusus Covid-19 di Bali juga lebih tinggi dibandingkan angka nasional sebesar 12,01 persen.
Kondisi ini menyiratkan bahwa Bali perlu memperkuat fasilitas layanan kesehatan di tengah wacana pembukaan kegiatan pariwisata pada Oktober mendatang.
Meski upaya preventif menunjukkan hasil yang baik, persiapan penanganan bagi pasien juga perlu diperhatikan. Jika tidak, hal itu akan sangat berisiko mengingat Bali akan didatangi banyak orang dari sejumlah negara.
Pada akhirnya, jika indeks pengendalian Covid-19 dibedah, dapat dipahami bahwa Bali berhadapan dengan dua sisi yang kontradiktif dalam penanganan pandemi.
Di satu sisi bisa dilihat, membaiknya kondisi di Bali tidak terlepas dari keberhasilan pemerintah dan masyarakat dalam upaya tindakan preventif yang ditandai dengan membaiknya skor manajemen infeksi.
Namun, di sisi lain, indeks ini juga merekam bahwa Bali masih memiliki pekerjaan rumah yang tak kalah penting sebelum membuka pariwisata. Penguatan fasilitas dan layanan kesehatan menjadi kunci yang harus dibenahi agar benar-benar dapat bersiap menerima wisatawan mancanegara dengan segala kondisi dan risiko. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Indeks Covid-19 Bantu Masyarakat Pantau Pemda