Peristiwa pelanggaran HAM dan perdamaian berada dalam sebuah labirin panjang. Masing-masing mencari cara bertemu, namun masih sama-sama tersesat di dalamnya.
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·6 menit baca
Hari Perdamaian Dunia (World Peace Day) diperingati secara internasional tiap 21 September. Di bulan yang sama, ada lima peristiwa pelanggaran HAM yang masih menjadi luka ibu pertiwi. Penuntasan kasus dan pemulihan hak para korban menjadi jalan panjang demi Indonesia damai.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pertama kali menetapkan Hari Perdamaian Dunia pada 1981 untuk memperingati dan memperkuat cita-cita perdamaian dunia di antara bangsa-bangsa. Dua dekade kemudian, pada 2001, Majelis Umum PBB memperbarui teks resolusi sebagai periode tanpa kekerasan dan gencatan senjata. Tujuannya, untuk mengingatkan semua orang berkomitmen pada perdamaian yang mengatasi segala bentuk perbedaan dan berkontribusi dalam membangun budaya perdamaian.
PBB telah menetapkan tema untuk tahun ini ialah “Memulihkan dengan lebih baik untuk dunia yang adil dan berkelanjutan”. Menurut PBB, 2021 adalah tahun untuk memulihkan kondisi dari pandemi Covid-19 sekaligus mendorong secara kreatif dan kolektif untuk membantu sesama. Saat pemulihan ini juga menjadi momentum untuk mengubah dunia kita menjadi dunia yang lebih setara, lebih adil, adil, inklusif, berkelanjutan, dan lebih sehat.
Pertengahan tahun ini, konflik regional ataupun internal negara masih terjadi seperti yang terjadi di Afghanistan ketika kelompok Taliban mendudukinya. PBB mengambil sikap untuk menghormati tiap negara dalam mengatasi konflik internal, sambil tetap mengawal masyarakat yang terjebak dalam konflik.
Terkait dengan status konflik yang mengancam perdamaian di tiap negara, PBB bekerja sama dengan Institute for Economics and Peace (IEP) untuk mengawalnya melalui indeks penilaian. PBB dan IEP menetapkan 23 indikator untuk menilai 163 negara tiap tahunnya. Indikator yang digunakan antara lain tingkat konflik politik, tingkat kriminal dan pembunuhan, hingga kekerasan di ranah domestik atau rumah tangga.
Indonesia berada di posisi ke-42 atau peringkat ke-7 di regional Asia Pasifik. Terkait dengan indikator, IEP menyoroti kejadian demonstrasi besar-besaran pada 2019 lalu yang menyiratkan ketidakstabilan politik di tengah pandemi Covid-19 yang belum berakhir. Selain itu, secara implisit disebutkan pula tentang konflik di Papua yang masih perlu dikawal karena rentan dengan pelanggaran hak asasi manusia.
Jika dirunut sejak 2008, peringkat Indonesia dalam Indeks Perdamaian Global Indonesia mengalami naik turun. Paling baik ketika di 2012, Indonesia berada di peringkat ke-34. Sedangkan tahun lalu, Indonesia justru berada di peringkat ke-44.
September Hitam
Jika dicermati, tema PBB untuk Hari Perdamaian Dunia memuat satu kata kunci penting, yaitu pemulihan. Perdamaian pun, erat kaitannya dengan pemulihan hak asasi manusia. Tepat di situlah, rentetan peristiwa pelanggaran HAM sepanjang September di Indonesia masih menjadi tumpukan tugas yang menunggu dituntaskan.
Kejadian penting pertama ialah peristiwa 30 September 1965 atau yang dikenal sebagai G30S/PKI. Berawal dari terbunuhnya sejumlah perwira tinggi TNI dan anggota polisi yang disebut para Pahlawan Revolusi. Tragedi ini menyeret masyarakat yang dituduh sebagai anggota maupun terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Akibatnya, diperkirakan antara 500 ribu hingga lebih dari dua juta orang mengalami penangkapan sewenang-wenang, penahanan tanpa proses hukum, penyiksaan, perkosaan, kekerasan seksual, kerja paksa, pembunuhan, penghilangan paksa, wajib lapor dan lain sebagainya.
Dari hasil penyelidikan Komnas HAM, sekitar 32.774 orang diketahui telah hilang dan beberapa tempat diketahui menjadi lokasi pembantaian para korban. Penangkapan-penangkapan ini sebagian berakhir ke pembuangan di Pulau Buru.
Tragedi 1965 sudah memasuki tahun yang ke-56, tetapi pemerintah, masyarakat dan komponen negara lainnya belum mampu mengembalikan keseimbangan keadilan terhadap para korban. Selain kemandekan pada proses hukumnya, hak-hak pemulihan yang seharusnya diterima korban juga tidak kunjung diupayakan secara maksimal. Setiap kali ada upaya untuk mendamaikan antara pelaku dan korban, ada kelompok lain yang menolak karena merasa menjadi pihak yang “berbuat salah” di masa lalu.
Kejadian lainnya seperti Peristiwa Tanjung Priok yang terjadi pada 12 September 1984. Peristiwa ini bermula dari permintaan seorang aparat kepada warga untuk mencopot baliho dan spanduk yang berisi kritikan kepada pemerintah di sebuah tempat mushala. Setelah bersitegang dan terjadi kekerasan antar kedua belah pihak, akhirnya empat warga ditangkap.
Demonstrasi dari warga lain pun muncul, menuntut pembebasan empat warga yang ditangkap itu. Karena demontrasi menjadi brutal, akhirnya serentetan timah panas menghujani peserta aksi agar membubarkan diri. Sebanyak paling tidak 24 warga tewas akibat aksi penembakan oleh aparat dan 55 warga lainnya luka-luka. Demikian pula Peristiwa Semanggi II yang terjadi pada 24 September 1999, ketika mahasiswa berdemonstrasi dan dibubarkan paksa oleh aparat.
Dalam Peristiwa Semanggi II yang terjadi pada 24 September 1999, mahasiswa berdemonstrasi dan dibubarkan paksa oleh aparat. Aksi ini mengakibatkan tewasnya mahasiswa Universitas Indonesia, Yap Yun Hap di Semanggi, Jakarta. Tim Relawan Kemanusiaan mencatat total 11 orang meninggal dan luka-luka 217 orang dalam peristiwa tersebut.
Juga dibunuhnya aktivis Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) Munir Said Thalib. Peristiwa terbunuhnya Munir sempat menghadirkan proses hukum, namun KONTRAS menilai pemerintah hanya menghukum pelaku lapangan tanpa menyentuh aktor intelektual di belakangnya.
Terbunuhnya Salim Kancil pada 26 September 1965 akibat dikeroyok sekitar 40 orang dengan menggunakan senjata tajam, batu, dan kayu juga merupakan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat desa dan masyarakat. Dalang pelaku pengeroyokan ini adalah Haryono Kepala Desa Selok Awar-Awar, Kabupaten Lumajang. Salim Kancil diduga dibunuh terkait aktivitasnya dengan kelompoknya Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Selok Awar-Awar yang memprotes penambangan pasir di desanya.
tema PBB untuk Hari Perdamaian Dunia memuat satu kata kunci penting, yaitu pemulihan. Perdamaian pun, erat kaitannya dengan pemulihan hak asasi manusia
Terakhir, di 24 September 2019 terjadi aksi demonstrasi besar di sejumlah wilayah akibat pemerintah mengajukan pembahasan Omnimbus Law dan beberapa RUU tanpa melibatkan partisipasi publik yang memadai. Tindakan represi dari aparat berujung pada kekerasan kepada para peserta aksi. Dua mahasiswa di Sulawesi Tenggara, seorang warga, dan dua pelajar di Jakarta menjadi korban tewas dalam aksi unjuk rasa tersebut.
Seluruh catatan pelanggaran hak asasi menusia tersebut terjadi pada bulan September, dan menunjukkan bahwa kedewasaan berdemokrasi dan menghormati hak asasi dibutuhkan baik dalam bernegara, berpolitik maupun bermasyarakat.
Jaminan HAM
Keadilan kerap diletakkan berdampingan dengan kedamaian. Tiada kedamaian apabila belum tercapai keadilan. Meski demikian, pemenuhan rasa keadilan sepenuhnya dalam hidup bernegara bisa jadi sangat sulit dicapai, apalagi jika sudah bersentuhan dengan kepentingan politik kekuasaan dan SARA.
Di sisi lain, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM secara layak dapat menjadi bukti atas hadirnya pemerintah dalam menjamin hak dasar hidup bagi tiap warga negaranya. Tidak tuntasnya kasus pelanggaran HAM di masa lalu justru rentan menjadi legitimasi untuk kejadian serupa yang dapat terjadi di masa yang mendatang.
Sesungguhnya, negara tidak tinggal diam di hadapan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Komnas HAM RI telah menyelesaikan 12 (dua belas) berkas penyelidikan pelanggaran HAM yang berat berdasarkan mandat Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Namun, untuk peristiwa sebelum tahun 2000, harus melalui persetujuan DPR untuk pembentukan pengadilannya. Artinya, harus ada persetujuan politik dari (wakil) rakyat. Hal ini karena sejumlah pengakuan atas pelanggaran HAM berat seperti peristiwa G30S/PKI, menyentuh kelompok massa keagamaan yang besar dan kelompok aparat militer yang justru bisa memicu sikap kontra.
Komnas HAM dalam pemenuhan dan pemulihan korban pelanggaran HAM yang berat mempunyai mekanisme penerbitan surat keterangan korban pelanggaran HAM (SKKP HAM). SKKP HAM menjadi penanda bagi korban bahwa negara hadir mengakui keberadaan mereka. Dengan pendampingan dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), para korban dapat menerima layanan bantuan medis dan psikososial.
Barangkali, memang begitulah lika-liku perjalanan kasus pelanggaran HAM dan perdamaian. Bagaikan dalam sebuah labirin demokrasi yang panjang, keduanya berupaya untuk saling bertemu namun masih terpisah dan tidak kunjung bertemu hingga hari ini. (LITBANG KOMPAS)