Pajak Karbon dan Penanganan Krisis Iklim Indonesia
Skema pajak karbon adalah salah satu langkah lugas Pemerintah Indonesia dalam pengelolaan lingkungan, khususnya perubahan iklim karena emisi karbon.

Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan materi dalam Seminar Towards Zero Carbon di Bandung (12/7/2018). Menkeu mengingatkan, pemanasan global bisa meningkat 1,5 derajat celsius jika tidak ada pengurangan emisi karbon dunia.
Urgensi pengendalian krisis iklim melalui pembatasan emisi karbon membesar saat ancaman dan kerugian yang ditimbulkan bencana hidrometeorologi makin tinggi. Dibutuhkan komitmen Indonesia untuk berperan aktif, salah satunya melalui penerapan pajak karbon.
Dampak krisis iklim makin nyata dirasakan oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Fenomena siklon tropis di kepulauan NTT sekitar April 2021 lalu hingga banjir besar atau kekeringan karena anomali cuaca, menjadi penanda nyatanya krisis iklim.
Sedikitnya delapan dari sepuluh bencana yang terjadi di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi yang erat kaitannya dengan krisis iklim karena gas rumah kaca atau emisi karbon. Jutaan penduduk harus mengungsi dan kehilangan keluarganya saat terjadi bencana.
Sebagai bentuk komitmen untuk mengurangi dampak krisis iklim, Indonesia menyiapkan skenario pajak karbon. Opsi tersebut menjadi perpanjangan skema ratifikasi Paris Agreement 2015 lalu.

Petugas kepolisian mengarahkan kendaraan untuk mengikuti uji emisi kendaraan sekaligus sosialisasi penerapan sanksi Pergub DKI Jakarta No.66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan di kawasan Tanjung Barat, Jakarta Selatan (30/12/2020).
Pajak karbon telah diterapkan oleh banyak negara di dunia, khususnya yang memiliki konsentrasi besar terhadap keberlanjutan lingkungan. Satu dekade terakhir Indonesia memiliki permasalahan terkait emisi karbon, yaitu rata-rata menghasilkan karbon dioksida sekitar 508,83 juta ton.
Jutaan karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer karena aktivitas ekonomi perlu mendapat konsekuensi pembiayaan sebagai bentuk tanggung jawab jasa lingkungan. Dalam dokumen RPJMN 2020-2024, target nasional penurunan emisi ditetapkan sebesar 27,3 persen pada 2024.
Munculnya skema pajak karbon tidak jauh dari faktor eksternalitas dalam ekonomi, yaitu tindakan satu pihak membuat pihak lain lebih buruk atau lebih baik. Sayangnya, pihak pertama tidak menanggung biaya atau menerima manfaat dari tindakannya.
Terkait pajak karbon dan eksternalitas, fenomena yang disoroti adalah pemanasan global akibat emisi bahan bakar fosil. Adanya emisi bahan bakar fosil, memunculkan kerugian bagi orang lain, sehingga dibutuhkan instrumen pembiayaan yang bersifat disinsentif atau pajak.
Pajak karbon juga memiliki fungsi pengendalian industri atau kegiatan ekonomi secara umum agar tidak memperburuk kondisi lingkungan. Dalam dokumen Naskah Akademik RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, tercatat empat tujuan utama pajak karbon.

Tujuan pertama adalah sebagai bentuk komitmen Indonesia mengendalikan emisi gas rumah kaca, kemudian dilanjutkan sebagai upaya peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak. Tujuan berikutnya adalah pergeseran ke ekonomi hijau yang tidak mengandalkan eksploitasi sumber daya alam.
Tujuan terakhir fokus pada pengisian gap pembiayaan krisis iklim di Indonesia. Implementasi yang dilakukan dapat berujung pada bentuk-bentuk investasi energi ramah lingkungan dan terbarukan. Sebagai catatan, Indonesia memiliki komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030.
Skema pajak karbon Indonesia masih dalam tahapan pembahasan, khususnya besaran nilai dan sasaran pajak tersebut. Tawaran awal nilai tarif pajak karbon adalah paling rendah sebesar Rp 75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Dua sasaran utama pajak karbon adalah semua kegiatan pembelian barang yang mengandung karbon dan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Dari dua sasaran tersebut, maka subjek pajak meliputi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan.

Foto udara matahari terbit dengan langit biru di kawasan Kanal Timur, Duren Sawit, Jakarta Timur (30/5/2020). Studi berbasis pengamatan satelit di sejumlah negara menunjukkan, pandemi Covid-19 telah memangkas lebih dari 8 persen emisi karbon global, yang merupakan penurunan tertinggi sejak Perang Dunia II.
Jasa lingkungan
Bentuk pembiayaan untuk jasa lingkungan sebenarnya beragam, seperti penghapusan subsidi BBM atau pengembangan teknologi rendah karbon. Khusus untuk menekan emisi gas rumah kaca, dua bentuk pembiayaan yang umum digunakan adalah pajak karbon dan skema perdagangan emisi (ETS).
Secara umum, keduanya memiliki kemiripan konsep pembayaran jasa lingkungan untuk karbon. Perbedaannya terletak pada bagaimana penentuan teknis transaksi, serta batasan minimal harga yang perlu dibayarkan oleh penghasil karbon.
Pajak karbon menitikberatkan pada penetapan secara langsung harga atau tarif berbasiskan kandungan karbon yang dihasilkan dari bahan bakar fosil. Mekanisme ini menawarkan tarif yang stabil, sehingga penghasil emisi lebih mudah menyesuaikan, tanpa ada kekhawatiran tarif yang fluktuatif.
Sementara ETS, atau disebut juga sistem cap-and-trade, memiliki basis teknis pembatasan tingkat emisi gas rumah kaca berdasarkan sektor penghasil karbon. Apabila ada industri yang memiliki emisi rendah, mereka dapat menjual kuota aman emisinya kepada industri yang menghasilkan emisi lebih besar.

Petugas mengisi daya mobil listrik di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) Pertamina, Jalan Fatmawati, Jakarta (1/9/2021). Pemerintah menargetkan sebanyak 15 juta kendaraan listrik beroperasi di Indonesia pada 2030. Hal itu dapat menurunkan emisi gas karbon 11,1 juta ton.
Dengan demikian, pajak karbon jauh lebih stabil untuk penentuan tarif pajaknya. Sedangkan ETS menciptakan penawaran dan pemintaan untuk tunjangan atau kuota sisa emisi yang dapat dijual dan dibeli.
Skema harga karbon yang saat ini sedang dibahas di RUU KUP berbasis pajak karbon dengan harga sekitar Rp 75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen. Apabila dikonversi ke satuan ton, maka pajak karbon setiap ton mencapai 5,26 dollar AS atau sekitar Rp 75.000.
satu dekade terakhir, Indonesia menghasilkan emisi karbon dioksida sekitar 508,83 juta ton
Sejumlah negara menerapkan pajak denghan nominal bervariasi. Data Bank Dunia pada April 2021 menyebutkan, Jepang mengenakan pajak sebesar 2,61 dollar AS atau Rp 37.227, sedangkan Meksiko memungut 3,18 dollar AS, Singapura (3,71 dollar AS), serta Kolombia (5 dollar AS).
Sedangkan negara dengan pajak karbon termahal adalah Swedia, yaitu 137,24 dollar AS atau Rp 1,96 juta setiap satu ton emisi karbon dioksida. Tarif mahal juga berada di Swiss (101,47 dollar AS), Finlandia (72,83 dollar AS), Norwegia (69,33 Dollar AS), serta Perancis (52,39 dollar AS).

Komitmen
Skema pajak karbon yang akan diterapkan di Indonesia menguatkan target pembangunan nasional di sektor lingkungan hidup. Salah satu sasaran utamanya adalah penanganan emisi karbon secara nasional. Dalam dokumen RPJMN 2020-2024, ada tiga target pembangunan lingkungan hidup, yaitu peningkatan kualitas lingkungan hidup, ketahanan bencana dan iklim, serta pembangunan rendah karbon.
Ukuran kuantitatif untuk peningkatan kualitas lingkungan hidup adalah Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang mencapai 73,25-75,25 pada tahun 2024. Hingga tahun 2020, IKLH nasional telah mencapai 70,27. Nilai indeks tersebut meningkat 3,72 poin dibandingkan 2019.
Terkait target ketahanan terhadap dampak bencana dan bahaya iklim, Indonesia menetapkan rasio kerugian ekonomi karena bencana terhadap PDB sebesar 0,21 persen di tahun 2024. Sebagai catatan, Badan Kebijakan Fiskal RI mengestimasi kerugian bencana alam setiap tahunnya adalah Rp 22-23 triliun.

Warga mencai ikan di sekitar hutan mangrove di Desa Samudra Jaya, Kecamatan Tarumajaya, Bekasi, Jawa Barat (19/11/2020). Selain menjadi pengaman pantai dari bencana dan tempat biota laut, hutan bakau juga menyerap karbon dioksiada.
Pembangunan lingkungan hidup terakhir memprioritaskan pembangunan rendah karbon. Target utuh penurunan emisi gas rumah kaca adalah 27,3 persen di tahun 2024 dibandingkan tahun 2020. Upaya yang dilakukan meliputi energi terbarukan, industri hijau, serta pemulihan ekosistem pesisir dan kelautan.
Indonesia juga melakukan pelaporan sektor prioritas yang perlu ditangani agar target penurunan emisi karbon tercapai. Dalam dokumen Updated Nationally Determined Contribution Republic of Indonesia 2021, menyebutkan lima sektor prioritas, yaitu energi, pertanian, kehutanan dan lahan, limbah, dan industri.
Baca juga: Pengaruh Iklim terhadap Covid-19
Kelimanya adalah tumpuan secara nasional dalam penanganan krisis iklim. Oleh sebab itu, target akhir tahun 2030 adalah emisi karbon turun hingga 29 persen dengan usaha sendiri, atau 41 persen dengan bantuan internasional.
Sebagai catatan akhir, skema pajak karbon adalah salah satu titik terang keseriusan Indonesia dalam pengelolaan lingkungan, khususnya perubahan iklim karena emisi karbon. Skema tersebut perlu mendapat dukungan dan masukan, agar rumusan akhirnya tepat sasaran dan mudah diimplementasikan di lapangan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Pascapandemi