Keamanan Data dan Pelayanan Publik Berbasis Digital
Pandemi Covid-19 menyadarkan pentingnya pelayanan publik digital. Tak hanya infrastruktur, publik menilai SDM pemerintah juga siap. Hanya regulasi untuk melindungi data pribadi belum juga disahkan pemerintah dan DPR.
Oleh
Rangga Eka Sakti/ Litbang Kompas
·5 menit baca
Meski mendulang apresiasi, pelayanan publik berbasis digital belum banyak dimanfaatkan. Selain persoalan infrastruktur, masyarakat masih dihadapkan pada kesulitan untuk terbiasa menggunakan layanan publik berbasis daring ini.
Masih minimnya pemanfaatan fasilitas pelayanan publik dengan teknologi digital ini terlihat dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada pekan ketiga Agustus lalu. Separuh responden (52 persen) mengaku sama sekali belum pernah menggunakan layanan publik secara daring. Sementara yang kerap memanfaatkan layanan digital sebanyak 13 persen responden.
Terbatasnya masyarakat yang memanfaatkan pelayanan publik digital tentu disayangkan. Pasalnya, manfaat penggunaan fasilitas digital dalam pelayanan publik ini relatif besar sebagaimana dinyatakan hampir semua responden.
Hasil jajak pendapat mengungkap cukup banyak responden yang menggunakan layanan digital untuk mengurus dokumen kependudukan, seperti kartu tanda penduduk (KTP) dan surat izin mengemudi (SIM). Manfaat dalam mengurus dokumen termasuk yang paling besar dirasakan dari sistem digital ini sebagaimana dinyatakan separuh lebih responden (56,7 persen).
Di tengah pandemi Covid-19, relevansi penggunaan layanan digital semakin terasa, terutama untuk mengurus layanan kesehatan, seperti dokumen kepesertaan BPJS Kesehatan. Tak hanya itu, layanan ini juga digunakan untuk mengurus syarat bepergian, seperti aplikasi e-HAC dan PeduliLindungi. Pendek kata, mengurus dokumen administrasi secara digital semakin aman dan nyaman karena tidak lagi harus keluar rumah dan mengantre lama di gedung layanan publik.
Manfaat lain dari sistem pemerintahan digital yang dirasakan responden adalah mengurangi risiko korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem layanan publik di Indonesia masih dijangkiti persoalan calo dan korupsi yang tentunya sangat merugikan publik. Dengan sistem layanan publik digital, masyarakat tak memerlukan lagi ”orang dalam” untuk bisa secara cepat mengurus dokumen.
Dalam konteks yang lebih besar, responden juga menilai dampak positif dari digitalisasi sistem pemerintahan terhadap kualitas demokrasi Indonesia. Setidaknya sekitar 15 persen responden jajak pendapat menilai, sistem digital bisa mempermudah publik mengawasi kinerja pemerintah. Salah satu contohnya, masyarakat bisa turut mengawasi pemanfaatan anggaran pemerintah daerah melalui laporan pengadaan barang atau jasa yang diunggah secara daring.
Pemerintah siap
Walau pemanfaatan sistem pemerintahan digital masih belum optimal, sebenarnya separuh lebih responden (57,8 persen) menilai dari segi infrastruktur, pemerintah sudah siap. Begitu pula dari sisi sumber daya manusia (SDM), pemerintah dinilai siap menerapkan layanan publik secara digital.
Meski begitu, kepercayaan masyarakat ini tak selalu merefleksikan kenyataan di lapangan. Pasalnya, pembangunan infrastruktur dalam konteks digitalisasi pemerintahan di Indonesia masih belum merata. Nyatanya, masih banyak daerah pedesaan di Indonesia yang belum mendapat akses internet berkualitas. Data terakhir menunjukkan, masih ada lebih dari 12.000 desa di Indonesia yang pembangunannya harus diakselerasi untuk mendapatkan akses internet 4G.
Tidak meratanya akses internet ini berimplikasi besar pada implementasi kebijakan digitalisasi pemerintahan. Tak hanya sebagai fondasi dasar dalam sistem pemerintahan digital, persoalan infrastruktur ini juga merembet ke permasalahan lain, seperti minimnya budaya digital masyarakat.
Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan, ketidaksiapan publik justru menjadi alasan utama mengapa pelayanan pemerintahan berbasis digital masih belum umum digunakan. Lebih dari separuh responden menyatakan, masyarakat masih belum terbiasa dengan sistem pelayanan publik digital. Faktor ini dinilai jauh lebih berpengaruh dibandingkan dengan faktor lain, seperti infrastruktur ataupun kemampuan SDM pemerintah.
Tak heran jika posisi Indonesia masih jauh tertinggal dari negara tetangga dalam hal pemerintahan digital. Menurut hasil survei e-Government Development Index 2020 yang dikeluarkan PBB, Indonesia berada di peringkat ke-88 dari 193 negara yang disurvei. Meski hasil ini membaik dari sebelumnya pada 2018 (peringkat ke- 107), posisi Indonesia masih kalah dari negara tetangga, seperti Thailand (60), Brunei Darussalam (57), dan Malaysia (47).
Padahal, harapan masyarakat atas layanan publik berbasis satu data sangatlah besar. Setidaknya tiga perempat responden jajak pendapat kali ini meyakini suatu saat pemerintah bisa menyediakan layanan publik berbasis digital melalui data nomor induk kependudukan (NIK). Namun, melihat situasi saat ini, apalagi dengan kasus korupsi terkait proyek KTP elektronik, tampaknya harapan publik ini jauh panggang dari api.
Keamanan data
Selain soal infrastruktur internet yang belum merata dan budaya digital yang belum terbangun, pemerintah juga perlu segera menyelesaikan persoalan terkait dengan keamanan data. Seiring dengan upaya digitalisasi pemerintahan, sudah tak terhitung banyaknya kasus kebocoran data yang bersumber dari laman resmi pemerintah.
Tahun ini saja setidaknya terdapat satu kasus kebocoran data pribadi yang cukup menggemparkan. Data pribadi Presiden Joko Widodo yang berasal dari sertifikat vaksin tersebar secara luas di internet. Kenyataan bahwa data pribadi presiden saja tak dapat dijamin keamanannya pun menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Tak ayal, persoalan keamanan data pribadi ini menjadi persoalan yang paling disorot oleh publik dalam hal implementasi kebijakan pemerintahan digital.
Hal ini menunjukkan, keberhasilan dari program digitalisasi pemerintah juga bergantung pada agenda lain yang masih mangkrak. Pembangunan menara internet di desa-desa, misalnya, tak akan cukup untuk mengimplementasikan layanan publik digital tanpa dibarengi dengan regulasi perlindungan data pribadi. Hingga kini, kelanjutan pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi di DPR masih belum jelas.
Tanpa adanya kepastian akan keamanan data pribadi, tentu sulit bagi masyarakat untuk percaya dan mau menggunakan fasilitas layanan publik digital. Pada akhirnya hal ini akan berdampak pada tingkat kepercayaan dan penggunaan layanan secara digital yang disediakan pemerintah. Jangan sampai investasi yang tidak murah untuk membangun pemerintahan digital tidak dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat hanya karena soal kekhawatiran belum terjaminnya keamanan data pribadi mereka.