Menjaga Momentum Penurunan Kasus Infeksi Covid-19
Masih munculnya varian baru virus korona menjadi tantangan baru penanganan pandemi Covid-19 yang terlihat membaik saat ini. Perketat prokes dan masuknya warga negara asing untuk membendung penyebaran Covid-19.
Indonesia tengah memasuki fase penurunan kasus infeksi Covid-19. Namun, kondisi tersebut perlu disikapi dengan kewaspadaan tinggi, mengingat varian baru virus korona masih terus bermunculan.
Fase penurunan infeksi virus korona ini terlihat dari catatan kasus infeksi yang terus menurun mulai akhir Juli 2021. Bahkan, rata-rata penurunan kasus positif Covid-19 selama dua pekan terakhir mencapai 6,1 persen. Capaian tersebut tentu diikuti dengan berkurangnya persentase kasus aktif dan makin bertambahnya persentase kasus kesembuhan.
Implikasi dari membaiknya data-data pandemi adalah penurunan status kedaruratan wilayah di seluruh Indonesia berbasis PPKM level 1-4. Hingga 13 September 2021, tersisa tiga kabupaten/kota dengan status PPKM level 4 sehingga banyak daerah yang mulai melonggarkan kegiatan masyarakat.
Aktivitas di luar rumah yang makin masif akan berdampak pada meningkatnya risiko infeksi. Apalagi, perbaikan yang tampak saat ini memiliki celah, yaitu permasalahan vaksinasi Covid-19 di berbagai daerah, mulai dari urusan administrasi hingga distribusinya.
Mempertimbangkan kondisi pandemi yang sepenuhnya belum stabil, kewaspadaan individu dan pemerintah tentu harus dijaga. Ancaman pandemi yang memburuk masih terus membayangi, terlebih varian baru terus saja bermunculan, seperti Mu dan Lambda.
Varian Mu dan Lambda menjadi sorotan beberapa minggu terakhir, setelah menimbulkan lonjakan kasus di beberapa negara. Kedua varian tersebut dinilai WHO jauh lebih resisten terhadap vaksin dibandingkan varian Delta. Apalagi, saat ini varian Mu telah dilaporkan oleh negara tetangga Malaysia sejak 8 September 2021.
Melihat fase pertama kemunculannya, varian Lambda lebih awal terdeteksi, yaitu pada Desember 2020 di Peru. Selang sembilan bulan, tercatat 41 negara telah melaporkan kasus infeksi karena Lambda. Jenis varian ini memiliki daya resistensi terhadap antibodi penetralisir.
Tak jauh berbeda dengan Lambda, varian Mu menjadi ancaman baru saat merebak di Kolombia dan menyebar di 48 negara lainnya. Varian ini dilaporkan pertama kali pada Januari 2021 dengan susunan mutasi yang memungkinkan resistensi terhadap vaksin.
Saat ini kedua varian tersebut dimasukkan ke dalam daftar variant of interest oleh WHO. Keputusan tersebut didasarkan pada kemampuan genetiknya untuk mengubah karakteristik virus. Proses tersebut berdampak pada tingkat keparahan infeksi hingga pengobatan.
WHO juga menilai keduanya menjadi salah satu penyebab signifikansi penularan di tingkat komunitas dan munculnya kluster Covid-19. Selain Lambda dan Mu, varian lain yang masuk ke kategori sama adalah Eta, Iota, dan Kappa.
Pemerintah Indonesia tentu harus bersiap dengan berbagai skenario menghadapi varian baru virus korona. Mengingat besarnya dampak infeksi akibat varian Delta beberapa bulan sebelumnya, saat ini tentu bukan waktunya untuk abai.
Saat varian Delta merebak di Indonesia, setidaknya seribu orang meninggal dunia setiap harinya. Rumah sakit rujukan Covid-19 harus kolaps dan banyak pasien yang meninggal karena kehabisan stok oksigen.
Varian baru
Hingga pertengahan September 2021, WHO mencatat ada empat varian yang harus diwaspadai, yaitu Aplha, Beta, Gamma, dan Delta. Keempat varian tersebut dapat menyebabkan perubahan besar secara medis, seperti jenis pengobatan dan vaksinasi, serta sistem kesehatan publik secara umum.
Selain empat varian tersebut, WHO juga mencantumkan varian yang dinilai berpotensi dapat memperburuk kondisi pandemi saat ini, yaitu Eta, Iota, Kappa, Lambda, dan Mu. Varian tersebut sangat mungkin naik statusnya ke varian yang perlu diwaspadai, apalagi transmisi tingkat komunal masif terjadi.
Menghadapi ancaman varian baru, ada beberapa poin penting yang harusnya menjadi fokus Pemerintah Indonesia. Poin pertama, meskipun sembilan varian tersebut berbahaya, semuanya berasal dari luar negeri sehingga pemerintah harus membatasi dan menjaga ketat pintu masuk penerbangan internasional dan titik-titik pelabuhan antarnegara.
Indonesia pernah punya pengalaman kurang maksimal dalam membatasi penerbangan dan pelayaran internasional, yaitu saat banyak warga negara India diizinkan masuk di saat terjadi lonjakan Covid-19 di negara mereka karena varian Delta. Tidak butuh waktu lama, lonjakan kasus makin tinggi dan menyebar ke seluruh wilayah Indonesia.
Poin kedua, memperketat pintu masuk internasional yang harus diiringi dengan proses karantina yang disiplin. Secara medis, karantina harusnya disesuaikan dengan berakhirnya masa infeksius virus, yaitu 14 hari. Akan tetapi, aturan awal Indonesia karantina hanya dilakukan selama delapan hari. Sebelumnya, aturan karantina ini hanya dilakukan selama lima hari. Diskon masa karantina ini membuat potensi infeksi virus dapat membahayakan lonjakan kasus di masyarakat.
Aspek ketiga, menguatkan capaian vaksinasi untuk membentuk sistem kekebalan di tubuh manusia. Walau menunjukkan tren peningkatan, vaksinasi lengkap yang dilakukan Pemerintah Indonesia baru mencapai 43,7 juta jiwa atau hanya 16,2 persen dari total populasi.
Baca Juga: Mencari Solusi Permasalahan Vaksinasi Covid-19 di Indonesia
Capaian tersebut tentu sangat jauh dari harapan, apalagi vaksinasi yang dilakukan belum merata di semua daerah dan belum sepenuhnya menjangkau kelompok rentan, seperti lansia.
Poin keempat, pelonggaran aktivitas masyarakat berbasis PPKM level 1-4 harus diimbangi penguatan testing, tracing, dan treatment. Walau menunjukkan tren penurunan kasus infeksi Covid-19, pemerintah masih tetap harus meningkatkan pengetesan dan pelacakan kasus selama masih ada kemungkinan memburuknya pandemi Covid-19. Dari sisi masyarakat, pelonggaran aktivitas tidak bisa sepenuhnya diartikan kebebasan sehingga berujung lalainya protokol kesehatan.
Komitmen perbaikan
Penanganan pandemi Covid-19 masih akan terus berjalan di waktu mendatang, bahkan para ahli memperkirakan Covid-19 akan tetap ada di masa depan dengan skala yang berbeda. Karena itu, Pemerintah Indonesia perlu menyikapi situasi pandemi dengan menyiapkan strategi transisi dari masa pandemi ke masa endemi.
Rencana tersebut makin menguat di tengah penurunan kasus infeksi harian di dalam negeri. Strategi transisi yang disiapkan fokus pada sosialisasi protokol kesehatan dan vaksinasi.
Transisi ke fase endemi menunjukkan target untuk hidup berdampingan dengan Covid-19. Beberapa sektor utama yang dijadikan contoh transisi ini adalah perdagangan, kantor dan kawasan industri, transportasi, keagamaan, serta pendidikan. Proses tersebut akan diimbangi penguatan teknologi informasi.
Teknologi informasi yang tengah dikuatkan adalah aplikasi Peduli Lindungi yang digunakan untuk syarat perjalanan dan tempat-tempat umum. Aplikasi tersebut menjadi salah satu cara melakukan penapisan masyarakat umum. Status penapisan disajikan ke dalam empat jenis warna, yaitu merah, hijau, oranye, dan hitam.
Komitmen pemerintah untuk melakukan perbaikan penanganan pandemi yang disertai rencana transisi ke endemi patut mendapat dukungan. Akan tetapi, ada catatan penting untuk mencapai rencana-rencana yang telah dibuat, yaitu indikator penanganan Covid-19 dalam status terkendali.
Baca Juga: Melihat Peluang Terbentuknya Kekebalan Komunitas Covid-19
Status terkendali tentu tidak mudah tercapai sebab ada syarat-syarat epidemiologi yang harus dipenuhi. Syarat pertama adalah persentase kasus positif sudah ditekan dengan maksimal, bahkan harus di angka nol persen. Syarat kedua adalah angka kematian dan kasus positif berkurang. Syarat terakhir adalah vaksinasi lengkap terhadap hampir seluruh populasi.
Situasi pandemi yang terlihat membaik saat ini perlu dipertahankan meskipun ada ancaman pemburukan karena varian baru. Oleh sebab itu, rumusan pengendalian pandemi yang belum berubah membutuhkan dukungan seluruh pihak. Satu sisi peran pemerintah sangat dibutuhkan, sementara di sisi lain peran setiap individu untuk terus menerapkan protokol kesehatan tentu sangat berarti. (LITBANG KOMPAS)