”Toxic Relationship” di Lingkungan Kerja
Terpapar suasana negatif saat bekerja bukan hal lumrah. Pembiaran pada hubungan beracun atau ”toxic relationship” di ranah profesional ini memicu penurunan produktivitas dan mengganggu kesehatan mental.
Hubungan beracun atau toxic relationship di lingkungan kerja ditandai dengan adanya pelecehan, intimidasi, dan pengucilan. Ketidaknyamanan dalam berpendapat atau situasi tegang, yang secara hukum tidak dianggap sebagai pelecehan atau intimidasi, juga menandai ekosistem kerja yang beracun.
Ketakutan kehilangan pekerjaan atau diasingkan menjadi alasan mengapa sangat sedikit pekerja yang bersedia mengajukan keluhan formal.
Hal ini setidaknya diungkapkan dalam How Toxic Workplace Environment Effect the Employee Engagement: The Mediating Role of Organizational Support and Employee Wellbeing yang dipublikasikan dalam International Journal of Environmental Research and Public Health pada 26 Februari 2021.
Lingkungan kerja yang beracun memiliki hubungan langsung pada kecenderungan karyawan untuk menyebarkan perasaan negatif di antara rekan kerja.
Penelitian ini memastikan kerahasiaan responden yang terlibat dalam survei online pada 301 karyawan perusahan kecil dan menengah di Guangdong, China. Penelitian dilakukan pada April-Agustus 2020 dengan melibatkan karyawan dari level manajerial dan staf dengan mempertimbangkan lama pengalaman kerja.
Hasilnya, lingkungan kerja yang beracun memiliki hubungan langsung pada kecenderungan karyawan untuk menyebarkan perasaan negatif di antara rekan kerja.
Praktik-praktik beracun direproduksi sehingga menyebabkan stres yang tidak perlu, kelelahan, dan depresi. Riset ini juga menunjukkan dukungan organisasi dan kesejahteraan karyawan secara signifikan dapat memediasi ekosistem kerja toksik.
Baca Juga: Bebaskanlah Dirimu dari Hubungan Beracun
Kepemimpinan
Di masa pandemi Covid-19, penyebaran racun dalam lingkungan kerja pun tetap terjadi. Studi yang termuat dalam Determinants of Proactive Work Behavior of Employees During the Covid-19 Crisis dalam European Journal of Psychology yang dipublikasikan pada 2 September 2021 menyumbang narasi penting terkait kepemimpinan beracun dalam pengaturan kerja virtual.
Kepemimpinan beracun ditandai dengan perilaku agresif untuk memaksa dan mendominasi orang.
Perilaku ini dilakukan untuk meningkatkan atau melindungi ego pemimpin demi mencapai kesuksesan karier dengan cara menghancurkan kepercayaan diri orang lain.
Studi sebelumnya pada model kerja konvensional menunjukkan bahwa perilaku kerja proaktif secara signifikan terhambat ketika lingkungan kerja dipolitisasi. Meski demikian, perilaku untuk meningkatkan kinerja di ruang profesional juga dipengaruhi oleh kemauan dan keinginan karyawan untuk belajar.
Ketidakdewasaan pemimpin dalam kerja profesional memiliki dampak signifikan pada psychological safety karyawan.
Relasi antara kepemimpinan yang buruk dan kerja proaktif juga tampak signifikan dalam ruang kerja virtual. Hal ini terpotret dari penelitian yang berbasis survei pada 282 pasang karyawan dan supervisor di perusahaan teknologi informasi ukuran kecil menengah di Anhui, China, mulai Maret hingga Juli 2020.
Ketidakdewasaan pemimpin dalam kerja profesional memiliki dampak signifikan pada psychological safety (PSY) karyawan. Sementara perceived insider status (PIS) dapat mengurangi efek dari kepemimpinan beracun.
Kedua riset di atas memastikan adanya dampak buruk dari toxic relationship yang timbul dari adanya perlakuan buruk dan ketidakmampuan atasan dalam mengelola lingkungan kerja.
Di dunia bisnis, kepemimpinan beracun adalah sesuatu yang tidak bisa terobati. Dalam Silent Killers! - Toxic Leaders? yang dipublikasikan Management Insight pada 14 Juli 2021 penulis memperkenalkan istilah Covid-Tox untuk menggambarkan virus di lingkungan kerja yang merusak, menghambat, dan melumpuhkan fungsi organisasi.
Perilaku ini menjadi pembunuh senyap yang menyebabkan kesehatan mental karyawan terganggu dan merusak organisasi. Toksisitas laten dari jajaran eksekutif berawal dari karakter psikologis dan sejarah hidupnya.
Salah satu langkah yang bisa diupayakan untuk menekan kemunculan pemimpin yang toksik adalah dengan pengetatan seleksi eksekutif.
Baca Juga: Pacaran Sehat Harus Bersih dari Racun
Salah satu kasus yang mencuat di permukaan terkait toxic relatinship di lingkungan kerja menyeret nama besar Google. Mantan karyawan dan karyawan Google menyampaikan bahwa divisi sumber daya manusia (SDM) perusahaan menanggapi keluhan di tempat kerja mereka dengan konseling alih-alih menangani masalah yang sebenarnya.
Artikel ”You’re the Problem”: When They Spoke Up About Misconduct, They Were Offered Mental Health Service yang terbit di The New York Times pada 29 Juli 2021 merangkum pernyataan dari sejumlah mantan karyawan dan karyawan Google yang menyampaikan bahwa konseling menjadi jalan yang dipilih untuk merespons keluhan di lingkungan kerja. Pilihan konseling seolah memosisikan karyawan sebagai sumber masalah.
Google menanggapi keluhan di tempat kerja mereka dengan konseling alih-alih menangani masalah yang sebenarnya.
Sejumlah mantan karyawan mengatakan bahwa ketika karyawan melaporkan kesulitan dengan rekan kerja, divisi SDM menyampaikan kepada karyawan bahwa perusahaan menawarkan terapi konseling untuk masalah yang dihadapi.
Dalam konteks ini, konseling menjadi pengganti sementara dari masalah manajerial di tempat kerja. Program konseling menjadi bentuk ”toleransi” manajerial yang buruk dan upaya ”melindungi majikan dari akuntabilitas”.
Ann Hull, seorang pengacara ketenagakerjaan, mengatakan, penyalahgunaan konseling jangka pendek mulai menggejala di seluruh industri dalam lima tahun terakhir.
Di Indonesia, belum ada studi mumpuni yang menjelaskan relasi antara lingkungan kerja yang buruk secara sosial terhadap kualitas kerja dan kesehatan mental karyawan.
Meski demikian, keluhan terkait ekosistem kerja yang buruk tampak di media sosial. Di antaranya terkait beban kerja berlebihan, atasan yang tidak mendukung pengembangan karier, hingga kasus yang masuk ke ranah hukum, seperti pelecehan.
Salah satu kasus terkait lingkungan kerja toksik terpotret pada kasus perundungan dan pelecehan pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Korban menerima perlakuan buruk, seperti pemukulan, penelanjangan, dan makian rasisme, dari para senior di Kantor KPI Pusat.
Perundungan telah berjalan menahun yang menyebabkan tekanan psikis bagi korban. Hampir senada yang terjadi di Google, penyelesaian masalah justru tidak difokuskan kepada investigasi pelaku.
Baca Juga: Perkawinan Beracun, Jerat Siklus Kekerasan bagi Perempuan
Tips
Naluri berperan penting dalam memahami lingkungan kerja. Perasaan tidak nyaman memang umum terjadi ketika berhadapan dengan pekerjaan, tetapi bukan berarti itu bisa terus ditoleransi.
Praktisi SDM Tish McFadden membagikan tips dalam Seven Steps To Shine On In A Toxic Work Environment terbit di Forbes pada 14 September 2020.
Hal yang perlu dilakukan di tempat kerja yang memiliki potensi toksik di antaranya adalah membangun rasa percaya diri, melatih kemampuan berpendapat, dan menguatkan karakter diri.
Rekan kerja atau pemimpin yang memiliki kecenderungan manipulator akan memangsa orang yang mereka anggap lemah. Percaya diri dan memahami kualitas diri menjadi tameng untuk tidak mudah dimanipulasi.
Fokus pada pekerjaan dengan mengatur daftar tugas dapat menjauhkan diri dari ulah manipulator. Mengingat alasan utama bergabung dengan perusahaan saat ini turut membentuk jati diri yang kuat dan tidak mudah terpengaruh.
Pembimbing karier, Kyle Elliott, dalam Three Signs You’re In A Toxic Work Environment And Need To Escape yang diterbitakan Forbes pada 7 Juli 2021 turut menyebut tiga ciri tempat kerja yang beracun dan kapan seharusnya pergi.
Atasan yang memiliki ekspektasi yang tidak realistis dan tidak berupaya mendorong pencapaian karier menjadi tanda pertama. Kedua adalah tidak adanya penghormatan dari pemimpin pada batasan profesional yang dibuat.
Kyle menyarankan tiap karyawan yang melihat kencederungan toksik di lingkungan kerja untuk melakukan inventaris hari buruk. Jika dalam sebulan hari buruk yang dilalui lebih banyak dibandingkan dengan hari baik, sudah saatnya untuk memikirkan pilihan karier lain.
Ide tentang tempat kerja yang ramah bagi pengembangan karier sekaligus kesehatan mental bukanlah sekadar utopia. Seiring dengan peningkatan kesadaran akan hak pekerja, menciptakan lingkungan kerja yang bebas dari perundungan dan pelecehan layak menjadi cita-cita bersama. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Bahaya ”Toxic Positivity”