Hipertensi sebagai penyakit katastropik tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dilakukan pencegahan agar tekanan darah stabil. Jika dibiarkan, hipertensi dapat mengakibatkan gangguan sejumlah fungsi organ tubuh.
Oleh
Kendar Umi Kulsum
·5 menit baca
Dalam situasi pandemi saat ini, hipertensi menjadi salah satu penyakit yang wajib diwaspadai karena dapat membuat kondisi pasien Covid-19 lebih menderita. Hipertensi disebut sebagai silent killer atau pembunuh senyap karena seorang yang memiliki risiko hipertensi kadangkala tidak menyadari jika dirinya menderita penyakit tersebut.
Menurut data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 pada Oktober 2020, misalnya, ditemukan 1.488 pasien memiliki penyakit penyerta dengan persentase terbesar adalah hipertensi 50,5 persen, kemudian diabetes melitus 34,5 persen, dan penyakit jantung 19,6 persen. Sementara dari kasus pasien meninggal akibat Covid-19 diketahui, 13,2 persen mengidap hipertensi, 11,6 persen menderita diabetes melitus, dan 7,7 persen dengan penyerta penyakit jantung.
Hipertensi dapat mengakibatkan seseorang menderita gangguan fungsi jantung, gangguan ginjal dan stroke, sehingga dibutuhkan kewaspadaan ekstra untuk menurunkan risiko penyakit tersebut. Pada Infodatin Kementerian Kesehatan (2019) disebutkan, hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup tenang.
Prevalensi hipertensi di Indonesia
Prevalensi hipertensi pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 secara nasional sebesar 34,11 persen. Wilayah tertinggi prevalensi di Indonesia adalah Kalimantan Selatan, yaitu 44,13 persen dan terendah adalah Papua 22,2 persen. Dari sisi usia, hipertensi terjadi pada kelompok umur 31- 44 tahun (31,6 persen), umur 45-54 tahun (45,3 persen), umur 55-64 tahun (55,2 persen).
Angka proporsi hipertensi di Indonesia meningkat dari semua kelompok umur. Pada 2018 di kelompok usia 23-34 tahun angka proporsinya 20,1 persen, meningkat dari tahun 2013 sebesar 14,7 persen. Demikian pula kelompok umur 35-44 tahun dari 24,8 persen meningkat jadi 31,6 persen. Sementara pada kelompok umur 45-54 tahun angka proporsinya naik dari 35,6 persen menjadi 45,3 persen. Jika dilihat dari semua tingkatan kelompok usia, terlihat bahwa semakin tinggi usia seseorang, semakin besar risiko hipertensi.
Hipertensi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu konsumsi gula, garam dan lemak berlebih, obesitas, kurang aktivitas fisik, konsumsi alkohol berlebihan, dan stres. Pada penduduk usia 15 tahun ke atas didapatkan data faktor risiko, seperti proporsi masyarakat yang kurang makan sayur dan buah 95,5 persen, proporsi kurang aktivitas fisik 35,5 persen, proporsi merokok 29,3 persen, proporsi obesitas sentral 31 persen, dan proporsi obesitas umum 21,8 persen.
Sementara itu, berdasarkan data International Health Metrics Monitoring and Evaluation (IHME) tahun 2019 di Indonesia, kematian pada peringkat pertama disebabkan oleh stroke, kemudian diikuti dengan penyakit jantung iskemik atau keadaan berkurangnya pasokan darah pada otot jantung yang menyebabkan nyeri di bagian tengah dada. Penyebab kematian berikutnya adalah diabetes, sirosis, tuberkulosis, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), diare, kanker paru, infeksi saluran napas bawah, dan pneumonia neonatal.
Stroke dan penyakit jantung iskemik juga menempati urutan teratas sebagai penyakit yang menyebabkan kecacatan. Oleh karena itu, hipertensi adalah hal yang harus diwaspadai, mengingat akibat hipertensi seseorang dapat mengalami gangguan keseimbangan faal tubuh hingga dapat mengalami stroke dan serangan jantung.
Berdasarkan data IHME tersebut terjadi pergeseran tren penyebab kematian dan kecacatan di Indonesia. Jika pada 2009 urutan pertama malanutrisi, tekanan darah tinggi dan merokok, maka pada 2019 diketahui tren penyebab kematian adalah tekanan darah tinggi, merokok, dan risiko diet. Hal ini mengindikasikan hipertensi adalah kasus utama yang harus diwaspadai mengakibatkan kematian dan kecacatan.
Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan menyebutkan, biaya pelayanan hipertensi mengalami peningkatan setiap tahunnya, misalnya pada tahun 2016 sebesar Rp 2,8 triliun, periode berikutnya tahun 2017 dan 2018 sebesar Rp 3 triliun.
Persoalan global
Data Organisasi Kesehatan Dunia menunjukkan, dalam 30 tahun terakhir jumlah penderita hipertensi meningkat dua kali lipat pada masyarakat di seluruh dunia pada usia 30-79 tahun, dari 650 juta pada 1990 menjadi 1,28 miliar pada 2019 (Kompas, 26 Agustus 2021).
Meskipun tidak menular, hipertensi menjadi salah satu penyebab kematian prematur di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia mengestimasi bahwa secara global prevalensinya 22 persen dari total penduduk dunia. Sementara upaya mengendalikan tekanan darah tinggi itu hanya dilakukan oleh seperlima penderita. Afrika memiliki prevalensi hipertensi tertinggi di dunia sebesar 27 persen, Asia Tenggara tertinggi kedua dengan prevalensi 25 persen.
Dalam jurnal kedokteran The Lancet diungkapkan, persoalan hipertensi telah bergeser dari negara-negara kaya ke negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah. Pada 2019 diketahui bahwa di Taiwan, Korea Selatan dan Jepang, Swiss, Spanyol, dan Inggris memiliki tingkat hipertensi terendah untuk perempuan kurang dari 24 persen.
Sementara itu, di wilayah Kanada dan Peru, tingkat hipertensi terendah terjadi pada usia dewasa, yakni 1 dari 4 orang menderita hipertensi. Sedangkan Eritrea, Bangladesh, Etiopia, dan Kepulauan Solomon memiliki tingkat terendah pada laki-laki, yaitu kurang dari 25 persen. Sementara separuh laki-laki di Argentina, Paraguay, Tajikistan, menderita hipertensi, sama halnya dengan perempuan di Paraguay dan Tuluv.
Upaya pencegahan
Untuk pencegahan dan pengendalian hipertensi, pemerintah mengampanyekan kesehatan melalui komunikasi, edukasi, dan informasi yang tepat dengan menerapkan perilaku hidup sehat. Masyarakat diharapkan membangun kepekaan dan kepedulian pada diri sendiri, misalnya mengukur tekanan darah secara rutin. Upaya lain, yakni cek kesehatan secara berkala, tidak merokok, rajin aktivitas fisik, diet seimbang, dan istirahat cukup serta kelola stres.
Langkah lain, yakni pemeriksaan kesehatan secara rutin dan mengikuti anjuran dokter, mengatasi penyakit dengan pengobatan yang tepat dan teratur, diet dengan gizi seimbang, menghindari alkohol dan zat karsinogenik.
Di tengah ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi Covid-19 dan kemungkinan menghadapi kondisi endemi, beberapa upaya, seperti manajemen stres, menjaga kesehatan mental, pola hidup, dan konsumsi makanan sehat, menjadi kunci untuk menekan risiko munculnya hipertensi. (LITBANG KOMPAS)