Diet bebas gluten akhir-akhir ini sering dianggap sebagai gaya hidup yang lebih sehat. Pasar roti di Indonesia kini makin ramai dengan hadirnya bahan dan pangan bebas gluten atau gluten free.
Oleh
Krishna P Panolih
·5 menit baca
Laporan Bakery Ingredients (EIBN Reports, 2019) menyatakan, konsumen di Asia kini cenderung memilih makanan dan minuman bebas susu dan turunannya, rendah gula, dan bebas gluten atau gluten free.
Kalangan bisnis dan industri makanan pun merespon positif diet bebas gluten tersebut. Sejumlah laporan lembaga riset pasar memprediksi, pasar kalangan yang melakukan diet bebas gluten di belahan dunia akan terus berkembang. Sampai tahun 2019 saja konsumsi masyarakat terkait bebas gluten sekiar 4,3 miliar dollar AS dan diperkirakan akan naik hingga 7,5 miliar dollar AS di tahun 2027.
Kegairahan tren bebas gluten juga terjadi di Indonesia sebagaimana dalam laporan EU-Indonesia Business Network (EIBN) 2019. Tak bisa dimungkiri gaya hidup diet bebas gluten menjadi fenomena baru di Indonesia yang diyakini lebih sehat.
Protein serealia
Berbagai penelitian dan bahasan seputar bebas gluten umumnya lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dan Eropa. Dua hal yang kerap menjadi dasar masalah adalah dampak gluten terhadap kesehatan dan mispersepsi tentang diet bebas gluten.
Menurut pakar gizi dan makanan Zuraidah Nasution, gluten adalah protein yang ada dalam sejumlah jenis serealia atau biji-bijian. Kandungan gluten bisa mencapai seperlima dari total protein yang ada dalam tepung serealia seperti gandum.
Produk pangan olahan bebas gluten juga berasal dari bahan baku yang secara alami tidak mengandung gluten, seperti: beras, jagung, sagu, singkong, ubi jalar, kentang, dan kedelai. Sementara, bahan baku serealia yang mengandung gluten seperti gandum, gandum hitam, dan oat. Biasanya, bahan baku jenis ini sudah diproses untuk mengurangi kandungan glutennya pada produk pangan olahan.
Badan Pengawas Obat dan Makanan melalui Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Pengawasan Klaim Pada Label dan Iklan Pangan Olahan telah menentukan maksimal kandungan gluten sebesar 20 miligram gluten per kilogram.
Gluten dan kesehatan
Permasalahan kesehatan terkait gluten bermula dari masalah gangguan pencernaan terutama pada anak-anak setelah perang dunia kedua. Sejumlah riset yang dilakukan para ahli sejak tahun 1970-an menyimpulkan gangguan itu merupakan penyakit celiac.
Dalam Jurnal Penyakit Dalam Indonesia Universitas Indonesia berjudul “Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Celiac” yang ditulis Harini Oktadiana dkk, celiac adalah penyakit autoimun yang gejalanya muncul akibat mengonsumsi makanan yang mengandung gluten. Penyakit celiac bisa menyebabkan keluhan pada sistem pencernaan dan dapat menimbulkan komplikasi serius jika tidak diobati. Hal ini terjadi karena interaksi antara diet yang mengandung gluten dengan sistem imun di usus.
Dampak klinis penyakit celiac sangat beragam, misalnya yang terkait saluran cerna seperti diare dan turun berat badan akibat malabsorbsi atau gangguan penyerapan zat nutrisi di usus halus. Gangguan di luar saluran cerna yang timbul diantaranya anemia, osteoporosis, dermatitis, hingga hambatan pertumbuhan anggota tubuh. Efek semacam ini juga terjadi pada mereka yang mengalami alergi gandum, non-celiac gluten sensitivity (NCGS), dan dermatitis herpetiformis atau autoimun yang berciri ruam kulit.
Laporan American Astroenterological Association (2018) menyebutkan selama kurun waktu 1991-2016 mengungkapkan, prevalensi celiac dibandingkan total populasi terdapat di Amerika Selatan (0,4 persen), Afrika dan Amerika Utara (0,5 persen), Asia (0,6 persen), Eropa dan Oseania (0,8 persen). Laman beyondceliac.org menyebut sekitar 80 persen kasus celiac di AS kerap sulit terdiagnosis, dan butuh waktu bertahun-tahun untuk mendapat diagnosis yang tepat.
Pravelensi adalah proporsi dari populasi yang memiliki karakteristik pada jangka waktu tertentu. Prevalensi celiac di Indonesia diperkirakan kurang dari lima persen. Namun ini masih belum pasti, sebab masih sering terjadi misdiagnosis dalam penyakit ini.
Diet gaya barat
Menyebarnya penyakit celiac di Asia sebetulnya tidak mengejutkan. Hal ini terlihat dari tingginya kecenderungan masyarakat yang mengadopsi pola makan ala barat yang banyak mengandung gluten. Dampak gluten-nya pun berkembang kompleks dengan masalah lain seperti autisme, schizophrenia, dan sejumlah autoimun lainnya.
Banyak pendapat yang menganggap, gluten menjadi penyebab semua itu, termasuk inflammatory bowel disease, diabetes melitus, obesitas hingga kanker. Tetapi persoalan sebenarnya bukan protein pada gluten.
Menurut Pegiat Pokja Autoimunitas Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia Stevent Sumantri, gluten biasanya berupa makanan olahan yang diproses sedemikian rupa, sehingga mengandung indeks glikemik tinggi dan mudah menimbulkan inflamasi kronik. Indeks glikemik merupakan indikator seberapa cepat makanan berkarbohidrat memengaruhi kenaikan gula darah dalam tubuh.
“Masalah sebenarnya adalah diet moderen gaya Barat yang highly processed, tinggi kalori, gula, lemak, garam dan bahan kimia,” tambah Stevent. Diet dengan serealia utuh (whole grain), selama tidak diproses berlebihan, baik yang mengandung gluten maupun tidak tetap merupakan diet yang sehat dan seimbang.
Kontrol ahli gizi
Sejak awal tahun 2000-an diet bebas gluten sudah banyak disarankan para ahli, terutama bagi penderita celiac. Walaupun tidak total menyembuhkan, diet ini rupanya efektif menurunkan berat badan. Efek inilah yang kemudian dijadikan tren oleh mereka yang tidak menderita penyakit itu.
Tren diet bebas gluten membuat produsen makanan bebas gluten laku keras dan konsumen terbesarnya adalah mereka yang sehat. Survey “Consumer Reports National Research Center” (2015) mengungkapkan, sebanyak 63 persen responden yakin diet tersebut membuat tubuh lebih sehat. Beberapa alasannya, pencernaan lebih lancar, turun berat badan, energi bertambah, dan daya tahan tubuh meningkat.
Di sisi lain, hal yang mungkin dilupakan adalah konsekuensi dari diet tersebut. Di luar penderita penyakit celiac atau sejenisnya, tak ada alasan medis untuk menghindari gluten. Karena itu, menjalankan diet bebas gluten sebaiknya dengan sepengetahuan ahli gizi.
Menghindari gluten berisiko mengalami penurunan kadar protein produk dan sangat mungkin mengalami efek terhadap profil zat gizi lainnya. Tidak jarang produk yang diklaim bebas gluten justru terindikasi mengandung zat besi, asam folat, dan serat yang lebih rendah. Sedangkan di sisi lain, kandungan gula dan lemak lebih tinggi, sehingga berat badan jutru akan bertambah. (LITBANG KOMPAS)