Nasib Mantan Atlet Diabaikan, Korupsi Diteruskan
Ada kaitan tidak langsung antara pembinaan atlet, kehidupan mantan atlet, dan prestasi olahraga dengan korupsi. Indonesia termasuk negara yang terhambat prestasi olahraganya karena korupsi.
Ada kaitan tidak langsung antara pembinaan atlet, kehidupan mantan atlet, dan prestasi olahraga dengan korupsi di suatu negara. Indonesia termasuk negara yang terhambat prestasi olahraganya karena korupsi di sektor itu. Pendanaan difokuskan pada proyek olahraga yang justru menjadi ladang korupsi.
Amin Ikhsan menjalani hari-harinya dengan bantuan alat bantu pernapasan setelah divonis menderita gagal ginjal saat membela Kabupaten Bekasi dalam Pekan Olahraga Daerah (Porda) Jabar 2014 di Bekasi. Uang tabungannya terkuras untuk biaya kesehatan, terutama saat tiga bulan pertama dirawat di Rumah Sakit Santo Yusup, Bandung, dan cuci darah tiga kali seminggu. Tempat tinggal dan lapak usahanya pun telah digusur pemiliknya, yakni Pemerintah Kota Bandung.
Mantan atlet senam itu merasa, ketika masa jayanya dulu, dirinya disanjung dan diperlakukan istimewa oleh pemerintah. Ia pernah mengukir sejumlah prestasi, di antaranya Suzuki World Cup 2003 International Aerobic Champions di Jepang, dengan mencapai peringkat ketujuh dari 24 negara, dan Asian Indoor Games Bangkok 2005 (posisi kelima dari 15 negara). Namun, ketika masa jaya telah habis, negara seolah melupakan.
Tiga tahun lalu, acara talkshow di sebuah stasiun televisi swasta juga mengundang Soeharto, mantan atlet paralimpik, yang saat itu sudah berusia 68 tahun. Sewaktu menjadi atlet, ia meraih dua perunggu dari lari cepat dan tolak peluru dalam Far East and South Pacific (FESPIC) Games for Disabled di Jakarta 1976. Setahun berikutnya, di perhelatan yang sama di Australia, Soeharto meraih medali emas cabang olahraga lempar lembing dan perunggu di pentatlon (lima cabang olahraga, yaitu lari, renang, lempar lembing, lompat jauh, dan tolak peluru).
Dalam acara tersebut, Soeharto bercerita bahwa kini ia berprofesi sebagai tukang pijat dan tinggal hanya bersama istrinya yang sedang menderita tumor otak. Setelah kisahnya viral di media sosial, dirinya pernah dikunjungi oleh Mantan Menpora Imam Nahrawi dan diberikan sumbangan sebesar Rp 40 juta. Namun, tetangga yang menemani Soeharto selama ini bersaksi bahwa uang yang diterima hanya sebesar Rp 10 juta.
Nasib yang diabaikan setelah berkiprah tidak hanya dialami Amin Ikhsan dan Soeharto, sejumlah atlet berprestasi lainnya juga mengalami hal serupa. Seperti yang dialami Abdul Kadir, mantan pesepak bola yang juga mengalami gagal ginjal, hingga akhirnya meninggal pada 2003. Ada juga mantan pelari nasional, Gurnam Singh, yang menggelandang karena tak punya rumah sebelum meninggal pada Desember 2006(Kompas, 13/8/2015).
Para atlet sebenarnya masih menuntut hak sesuai Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN). Pasal 86 Ayat (3) UU SKN yang berbunyi, ”Penghargaan (untuk atlet, pelatih, atau pembina olahraga) dapat berbentuk pemberian kemudahan, beasiswa, asuransi, pekerjaan, kenaikan pangkat luar biasa, tanda kehormatan, kewarganegaraan, warga kehormatan, jaminan hari tua, kesejahteraan, atau bentuk penghargaan lain yang bermanfaat”. Begitu juga dalam Perpres No 44/2014 tentang Pemberian Penghargaan Olahraga yang menyebutkan pemberian jaminan hari tua untuk atlet berprestasi.
Namun, pada praktiknya, atlet berprestasi hanya diberi penghargaan dan bonus ketika momen keberhasilan baru saja ia raih. Pemberian dana pensiun pernah diberikan pada 2016 oleh Mantan Menpora Imam Nahrawi, tetapi itu terbatas pada atlet yang meraih medali di Olimpiade sejak Olimpiade Seoul 1988. Lainnya, nasib dana pensiun atau penghargaan bagi mantan atlet tergantung dari kebijakan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) di masing-masing daerah.
Dalam kesempatan Hari Olahraga Nasional (Haornas) ke-38 pada 9 September 2021, Kemenpora kembali memberikan penghargaan kepada insan olahraga. Meski begitu, penghargaan tersebut ditujukan bagi 20 nama yang terdiri dari atlet, wasit, pembina olahraga, dosen, dan wartawan. Tidak satu pun persoalan jaminan hari tua atau dana pensiun mantan atlet disinggung dalam kesempatan itu.
Politik anggaran
Bicara soal anggaran, pemerintah memiliki anggaran tersendiri dari APBN yang disalurkan melalui Kemenpora, salah satunya untuk bidang olahraga. Dari tahun ke tahun, pagu Kemenpora dari APBN terbilang fluktuatif. Paling besar dialokasikan dana sebesar Rp 9,43 triliun untuk Kemenpora karena bertepatan dengan pergelaran Asian Games 2018.
Jika dilihat lebih dalam, anggaran khusus untuk pengembangan prestasi olahraga terbilang besar. Misalnya, dalam pagu Kemenpora dan alokasi dana di 2020. Total anggaran disebutkan sebesar Rp 1,8 triliun dan untuk Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga dialokasikan Rp 466 miliar atau 39,6 persen dari total anggaran.
Besarnya anggaran tersebut tidak luput dari incaran para pejabat untuk melakukan tindak korupsi. Dalam rentang sepuluh tahun ke belakang, terdapat empat kasus korupsi di sektor olahraga yang merugikan negara hingga lebih dari setengah triliun rupiah. Keempatnya ialah korupsi proyek Wisma Atlet SEA Games, korupsi proyek Pusat Pelatihan Olahraga Hambalang, korupsi PON Riau, dan korupsi dana hibah KONI.
Tiga di antara kasus tersebut terjadi dengan selubung proyek pembangunan dan pergelaran olahraga. Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat, modus korupsi yang paling umum adalah penggelapan anggaran, penggelembungan harga, penyalahgunaan anggaran, penyunatan dana, atau suap terkait infrastruktur.
Satu kasus lainnya yang kini masih dalam penyidikan ialah korupsi dana hibah KONI. Berdasarkan penelusuran Kompas, setidaknya ada dua kali pencairan dana bantuan bagi KONI tahun ini, salah satunya sebelum Asian Games dan Asian Para Games 2018. Pada 10 Desember, KONI mengajukan proposal ”Dukungan KONI Pusat dalam Rangka Pengawasan dan Pendampingan Seleksi Calon Atlet dan Pelatih Atlet Berprestasi”.
Dengan anggaran Rp 21 miliar, KONI berencana memakainya untuk tiga kegiatan utama, yaitu penyusunan instrumen dan pengelolaan basis data berbasis Android bagi atlet dan pelatih berprestasi, penyusunan evaluasi atlet Asian Games dan Asian Para Games 2018, dan penyelenggaraan diskusi untuk penyusunan buku pendukung pengawasan dan peningkatan prestasi olahraga. Jika dinalar dengan akal sehat, dana sebesar itu sangatlah berlebihan untuk menjalankan ketiga kegiatan utama tersebut.
Praktik aji mumpung ini terjadi ketika membangun sarana yang dibutuhkan dalam waktu yang serba mendesak. Dengan pola seperti itu, mereka yang diberi otoritas untuk menyelenggarakan kegiatan olahraga (terutama dalam skala besar) melakukannya tanpa proses tender yang semestinya. Biasanya, kesempatan demikian membuka celah untuk meraih keuntungan yang lebih besar, seperti suap dan penggelembungan harga.
Seakan tidak peduli pada pengembangan olahraga, apalagi nasib para mantan atlet yang menderita, para pejabat di bidang olahraga menjadi aktor utama di pusaran kasus korupsi tersebut. Bahkan, Andi Mallarangeng dan Imam Nahrawi termasuk koruptor yang melakukan aksinya sewaktu menjabat sebagai Menpora. Memang, hingga saat ini pun masih perlu dicurigai adanya sisa-sisa lingkaran korupsi di Kemenpora.
Sesungguhnya, pemerintah tak punya dana cukup untuk membiayai semua cabang prestasi sehingga sumbangan swasta juga diperlukan. Polanya berubah-ubah. Di masa Orde Baru, tanggung jawab pembinaan itu di tangan Menpora, KONI, dan pengurus besar cabang olahraga. Di era Reformasi, terbentuklah Komite Olimpiade Indonesia yang ikut bertanggung jawab atas prestasi olahraga dan Satlak Prima (Program Indonesia Emas) yang bertugas khusus menangani atlet berprestasi.
Padahal, di negara berkembang seperti Indonesia, prestasi olahraga sangat bergantung pada dana pemerintah dan swasta. Jika lembaga pemerintah gagal mengelola anggaran tersebut, otomatis prestasi olahraga turut ambyar. Selain itu, ada korelasi antara prestasi olahraga suatu negara dan tingkat korupsi di dalamnya.
Tulisan berjudul ”A Note on Corruption and National Olympic Succes” dari jurnal Atlantic Economic (2013) kembali menegaskan premis tersebut. Setelah mengambil sampel dari prestasi negara-negara di Olimpiade 2004, ditemukan bahwa negara yang memiliki indeks korupsi rendah dapat memperkuat sistem olahraga hingga mencapai prestasi. Korupsi di sektor olahraga sama halnya dengan eksploitasi atlet karena telah merampas hak mereka dan akhirnya berpengaruh pada perkembangan atlet.
Begitu juga Corruption in Sport karangan Nadim Nassif dari Notre Dame University turut mengafirmasi bahwa korupsi anggaran telah membuat prestasi olahraga merosot. Dengan mengambil contoh kasus di Lebanon, Nassif menuliskan bahwa sistem pembinaan atlet yang difokuskan pada beberapa cabang tersohor sebenarnya adalah imbas dari anggaran yang terpotong karena dikorupsi.
Implikasinya, atlet unggulan tidak muncul dari variasi cabang lain dan adanya cabang olahraga yang dianaktirikan.
Hasil penelitian tersebut tampaknya masih relevan hingga kini. Merujuk pada raihan total medali di Olimpiade Tokyo 2020, negara-negara yang bercokol di peringkat atas memiliki skor indeks korupsi (corruption perceptions index) yang baik dari lembaga antikorupsi internasional. Dari 10 negara teratas, hanya Rusia (ROC) yang memiliki skor indeks korupsi hingga tiga digit. Indonesia sendiri berada di peringkat 42 dengan total 5 medali dan skor indeks korupsi 103 poin.
Sebaliknya, posisi sepuluh terbawah atau minim medali diisi oleh negara-negara yang cukup buruk indeks korupsinya. Kelompok ini dihuni oleh negara-negara Afrika dan Timur Tengah yang hanya memperoleh satu medali perak atau perunggu.
Semua data ini memang bukan acuan mutlak, tetapi dapat dijadikan petunjuk jelas bahwa korupsi anggaran olahraga memiliki efek bagi prestasi dan atlet. Kebersihan lembaga dari patologi sosial dan birokrasi ini perlu dibenahi hingga akarnya.
Perlu RUU SKN
Memang, pada akhirnya atlet juga perlu berlatih mengelola keuangan pribadi sehingga tidak boros menggunakan uang yang didapatkan dari prestasinya, terutama bonus. Seharusnya mereka tahu hal ihwal investasi sebagai penyelamat di masa depan. Bisa juga, pemerintah memberikan program jangka panjang agar atlet mendapat edukasi keuangan dan menyiapkan hari tuanya.
Semua itu tentu dapat terwujud apabila ada peraturan yang dapat dijadikan acuan bagi para atlet. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengkaji ulang dan menggarap secara khusus undang-undang bagi atlet. Di dalamnya, antara lain, dapat diatur mengenai pedoman menjadi atlet nasional, keuntungan yang didapatkan, hingga perencanaan masa depannya.
Di atas itu semua, kebersihan lembaga olahraga nasional dan daerah perlu dijamin. Tanpa lembaga yang bersih, jangan harap nasib mantan atlet berprestasi akan membaik ke depannya. Pastinya, tiap rupiah yang dikorupsi sesungguhnya milik para atlet dan mantan atlet yang telah berjasa bagi bangsa. (LITBANG KOMPAS)