Menanti Hadirnya Negara Atasi Kesejahteraan Pejuang Olahraga
Tak hanya atlet, publik pun turut menanti hadirnya negara dalam menjamin kesejahteraan insan olahraga. Publik menilai, akses pekerjaan dan jaminan hari tua menjadi kunci untuk meningkatkan kesejahteraan.
Oleh
Agustina Purwanti
·6 menit baca
Tak hanya para atlet, publik pun turut menantikan hadirnya negara dalam menjamin kesejahteraan insan olahraga. Publik menilai, akses pekerjaan, jaminan hari tua, dan kepastian hukum menjadi kunci untuk meningkatkan kesejahteraan atlet di Tanah Air.
Harapan tersebut tecermin dari hasil jajak pendapat Kompas pada 7-10 September 2021. Tiga dari 10 responden mengatakan, memberikan pekerjaan menjadi hal yang harus diprioritaskan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan atlet. Hal ini tak lepas dari masih minimnya pendapatan seorang atlet, apalagi sifatnya cenderung musiman.
Bahkan, dalam survei terpisah yang dilakukan Kompas secara daring khusus untuk atlet dan mantan atlet, ditemukan masih terdapat atlet yang sama sekali tidak menerima honor dari pemerintah (12,4 persen). Sebagian lain (14,5 persen) menerima honor hanya saat berprestasi. Maka, tidak heran jika hampir separuh dari responden atlet aktif juga menyuarakan perlunya pekerjaan untuk menunjang kesejahteraan mereka.
Kisah semacam itulah yang membuat atlet masih harus mencari nafkah dari sumber lain. Di antara mereka, ada yang harus berjualan bakso, menjadi tukang ojek, dan melakukan pekerjaan lain demi memperoleh tambahan pendapatan.
Kesulitan atlet mencukupi kebutuhan tak hanya terjadi baru-baru ini. Kompas mencatat, fenomena serupa sudah sering terjadi sejak beberapa dekade yang lalu. Misalnya pada 2002, diberitakan beberapa atlet dayung dari Sulawesi, Kalimantan, dan Papua harus memutar otak untuk menghidupi keluarga mereka yang lama ditinggalkan demi menjalani pelatnas di Jawa Barat. Saat kembali dipanggil untuk mempersiapkan perlombaan berikutnya, mereka harus meninggalkan keluarga mereka lagi dengan menyisakan kekhawatiran akan kebutuhan sehari-hari keluarganya (Kompas, 26/12/2002).
Sejumlah fakta tersebut menyiratkan bahwa menjadi atlet belum tentu mendapat jaminan hidup yang sejahtera. Apalagi, hingga saat ini profesi sebagai atlet juga belum diakui secara resmi dan masih bersifat temporer.
Jaminan hari tua
Selain jaminan pekerjaan, dari hasil jajak pendapat Kompas, publik juga menilai perlunya perbaikan sistem jaminan hari tua atau dana pensiun bagi atlet (23,6 persen responden). Sebab, hingga saat ini belum ada kejelasan terkait skema pemberian dana pensiun bagi atlet aktif ataupun mantan atlet.
Sebelumnya, pada 2005, pejabat Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat pernah mengusulkan pentingnya dana pensiun bagi atlet. Selain menjadi perlindungan di hari tua, pemberian dana pensiun dinilai mampu membuat atlet semakin yakin bahwa olahraga dapat menjadi pilihan hidup yang layak. Untuk pertama kali, dana pensiun dapat diberikan walaupun hanya untuk atlet berprestasi lantaran anggaran yang terbatas.
Usulan yang disampaikan dalam Rapat Koordinasi Kepemudaan dan Keolahragaan pada Juni 2005 itu cukup diakomodir. September 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN). Di dalamnya disebutkan bahwa jaminan hari tua menjadi salah satu bentuk penghargaan bagi pelaku olahraga yang berprestasi.
Setelah sembilan tahun berselang, ketentuan mengenai pemberian jaminan hari tua itu baru disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2014 tentang Pemberian Penghargaan Olahraga. Sesuai usulan, jaminan hari tua hanya diberikan kepada atlet berprestasi. Syaratnya pun cukup berat, seperti menjadi juara I tingkat internasional atau juara I tingkat nasional sekurang-kurangnya tiga kali.
Meski demikian, niat baik itu pun tak segera direalisasikan. Hingga pada 2014, Taufik Hidayat kembali menyuarakan pentingnya dana pensiun bagi atlet. Kepada Kompas (8/10/2014), mantan pebulu tangkis nasional itu mengatakan, seorang atlet telah mengorbankan masa kecil dan remajanya demi terus berlatih menjadi olahragawan yang andal.
Tak hanya itu, mereka pun telah berjerih lelah agar Merah Putih dapat berkibar dan ”Indonesia Raya” berkumandang di setiap ajang perlombaan yang mereka ikuti. Maka, sudah sepantasnya atlet pun menerima jaminan hari tua, layaknya para pejabat negeri yang hanya bertugas setidaknya lima tahun, bahkan kurang.
Akhirnya, untuk pertama kali, dana pensiun untuk atlet diberikan pada 2016. Menurut catatan Kompas, dana pensiun itu diserahkan kepada peraih medali Olimpiade sejak Seoul 1988. Total penerimanya sebanyak 37 atlet peraih medali Olimpiade dan Paralimpiade. Pensiun terbesar diberikan kepada peraih medali emas, yakni Rp 20 juta per bulan. Sementara untuk peraih medali perak mendapatkan Rp 15 juta per bulan dan peraih perunggu sebesar Rp 10 juta per bulan. Pendanaan dana pensiun tersebut berasal dari APBN.
Sayangnya, penghargaan yang dinantikan bertahun-tahun itu menjadi yang pertama dan terakhir kalinya. Tahun 2017, jaminan hari tua itu tak lagi diberikan lantaran terbentur aturan Kementerian Keuangan. Dalam ketentuan Kementerian Keuangan, dana pensiun hanya dapat diterima oleh aparatur sipil negara (ASN).
Terobosan jangka panjang
Boleh jadi, hal itulah yang membuat seperempat responden jajak pendapat mengusulkan pengangkatan atlet dan mantan atlet menjadi ASN untuk menunjang kesejahteraan. Pasalnya, pendapatan seorang ASN dinilai lebih menjanjikan.
Kalaupun tidak semua atlet dan mantan atlet bisa menjadi ASN, usulan mengenai pemberian dana pensiun untuk terobosan jangka panjang masih disuarakan sepertiga responden jajak pendapat. Bersamaan dengan itu, publik juga mengusulkan perlunya merevisi UU SKN yang masih berlaku.
Bahkan, 14,6 persen responden mengatakan perlunya membuat undang-undang khusus yang menjamin kesejahteraan atlet dan mantan atlet. Hal tersebut diperlukan lantaran UU yang ada belum memuat unsur kesejahteraan, baru sebatas penghargaan untuk atlet.
Terdapat juga 12,3 persen responden yang mengatakan bahwa pemerintah perlu menyediakan dana abadi bagi atlet dan mantan atlet. Sejauh ini, baru cabang olahraga bulu tangkis yang mempunyai dana abadi.
Yayasan Bulu Tangkis Indonesia menjadi wadah dana abadi tersebut. Yayasan ini bukanlah yayasan baru, tetapi sudah didirikan sejak mantan Wakil Presiden Try Sutrisno memimpin PBSI. Pada awal pembentukannya, dana yang terkumpul sekitar Rp 2 miliar hingga Rp 3 miliar, tetapi kini dana tersebut telah mencapai puluhan miliar rupiah. Dana tersebut tidak digunakan untuk operasional dan pembinaan, tetapi hanya digunakan untuk keperluan sosial.
Sejumlah persoalan tersebut menunjukkan bahwa ingar-bingar pemberian bonus bagi atlet peraih medali pada Olimpiade Tokyo berbanding terbalik dengan kondisi atlet dan mantan atlet yang sebenarnya. Kompas mencatat, setidaknya ada 41 jenis penghargaan atau bonus yang dijanjikan kepada pasangan Greysia Polii/Apriyani Rahayu yang berhasil meraih medali emas, baik dari pemerintah maupun pihak swasta.
Pemberian penghargaan untuk peraih medali emas pun sebelumnya pernah diberikan kepada atlet berprestasi. Namun, faktanya, hal itu belum tentu menjamin kesejahteraan atlet ataupun mantan atlet. Sebagai contoh, kisah Abdul Razak yang belum lama ini ramai diperbincangkan publik.
Mantan atlet dayung itu telah berhasil mengumpulkan 36 medali emas, 4 perak, dan 8 perunggu di ajang internasional. Namun, kini ia hidup sebagai nelayan di sebuah gubuk kecil dan telah retak di Sulawesi Tenggara. Gaji pensiunnya yang kecil tidak cukup untuk memperbaiki rumah dan memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Kisah lain datang dari Leli Haini, mantan atlet dayung yang berhasil meraih medali emas di beberapa turnamen internasional. Belum lama ini, Leli menjual medali yang diperolehnya untuk membayar pengobatan anak bungsunya yang sakit.
Sederet fakta dan persoalan tersebut membuat hampir separuh responden jajak pendapat mengatakan bahwa negara belum memenuhi kesejahteraan atlet dan mantan atlet. Dengan demikian, langkah nyata perlu segera direalisasikan pemerintah demi menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh insan olahraga Indonesia. (LITBANG KOMPAS)