Menggalang Dana Atlet, dari Porkas hingga APBN
Agar prestasi olahraga terus meningkat dan kesejahteraan atlet semakin membaik, perlu niat baik dari pemerintah dan DPR untuk menambah anggaran pembinaan dan kesejahteraan atlet.
Minimnya dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) membuat pemerintah, KONI, dan induk organisasi olahraga memutar strategi menggalang dana atlet. Penggalangan dana bagi pembinaan dan kesejahteraan atlet dilakukan dengan berbagai cara sejak dulu, mulai dari kupon undian hingga donasi.
Minimnya anggaran dana atlet terlihat dari alokasi pembinaan atlet di APBN. Tahun anggaran 2020, APBN mengalokasikan dana Rp 466,37 miliar untuk program pembinaan olahraga prestasi. Di masa pandemi, pos anggaran ini menurun. Sebelum pandemi, pada tahun anggaran 2019, anggaran pembinaan olahraga prestasi ini dialokasikan Rp 789,7 miliar.
Secara umum, anggaran ini juga minim jika dibandingkan dengan total anggaran negara. Dari keseluruhan anggaran Kementerian Pemuda dan Olahraga sebesar Rp 1,18 triliun pada 2020, nilainya tidak sampai 1 persen dari total anggaran negara.
Keterbatasan anggaran ini membuat Kemenpora, KONI, dan induk olahraga di Tanah Air terus memutar strategi menggalang dana bagi pembinaan dan kesejahteraan atlet. Sejumlah cara dilakukan, dari sumbangan masyarakat, kupon undian, hingga melibatkan pengusaha.
Strategi penggalangan dana ini sudah dilakukan sejak lama. Pada 1969, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan Gubernur Jawa Barat Mashudi memberikan sumbangan masyarakat DKI Jakarta dan Jawa Barat sebesar Rp 450.000 untuk membantu pembiayaan pengiriman tim Piala Thomas. Bukan hanya kepada kontingen atlet, model sumbangan seperti ini juga banyak dilakukan oleh pemerintah daerah kepada KONI daerah, induk organisasi olahraga di daerah, dan klub olahraga.
Selain sumbangan, ada pula model pengumpulan dana masyarakat dengan cara menjual vandel atau stiker. Langkah ini pernah dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan mengedarkan 116.000 stiker berharga Rp 100 per lembar dalam usahanya mendukung dana kontingen Pekan Olahraga Nasional (PON) XI 1985.
Stiker itu disebarkan di pompa-pompa bensin dan dikenakan bagi setiap kendaraan yang membeli bahan bakar lebih dari 15 liter. Sumbangan stiker juga dikenakan kepada pegawai negeri, penonton bioskop, pembayar listrik, telepon, air, ataupun rumah makan.
Bukan hanya bagi dana kontingen, sumbangan serupa dihimpun Panitia Penyelenggaraan PON VIII 1973. Tuan rumah DKI Jakarta mengadakan pengumpulan dana dengan penjualan vandel dan stiker kepada masyarakat umum. Sebuah vandel yang harga modalnya Rp 225 dijual seharga Rp 275. Selisih keuntungannya diberikan kepada panitia penyelenggara PON.
Penarikan sumbangan dari masyarakat terus bertransformasi merambah momentum pembayaran pajak. Pada 1993, pengumpulan sumbangan bagi penyelenggaraan PON juga dilakukan saat masyarakat memperpanjang surat tanda nomor kendaraan (STNK), membuat surat izin mengemudi (SIM), membeli tiket bioskop, membayar rekening listrik, rekening air, bahkan berbelanja di supermarket.
Caranya, masyarakat diminta membeli kupon sumbangan. Penonton bioskop, misalnya, diharuskan membeli kupon seharga Rp 250 saat membeli satu lembar tiket bioskop.
Undian
Untuk menambah daya tarik pengumpulan dana dari masyarakat, sejumlah inovasi dilakukan, seperti dengan menambahkan sistem undian. Dengan undian, masyarakat mendapat kesempatan memperoleh sejumlah hadiah yang disediakan. Kebanyakan hadiah yang ditawarkan adalah berupa uang.
Beberapa contoh pengumpulan dana dengan pembelian kupon undian berhadiah ini adalah Porkas dan SDSB. Sebelum era Porkas, juga ada undian berupa Toto KONI dan Lotere Besar Nasional atau Lobena.
Dalam catatan Kompas, pada 1985 pemerintah mengedarkan kupon berhadiah porkas sepak bola (KBPS). Undian yang biasa disebut Porkas bertujuan menghimpun dana masyarakat untuk menunjang pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga Indonesia. Porkas resmi beredar berdasarkan SK Menteri Sosial Nomor BBS/10/12/85.
Selama dua tahun peredarannya, Porkas berhasil menghimpun dana masyarakat sebesar Rp 28,39 miliar. Dari jumlah yang berhasil dihimpun ini, disalurkan ke KONI Daerah, KONI Pusat, PSSI, Kemenpora, dan kontingen Asian Games X. Setelah dipotong biaya administrasi, sisa uang sebesar Rp 14 miliar disimpan dalam bentuk deposito dan giro.
Namun, peredaran undian Porkas ini mendapat kritikan di masyarakat karena sistem adu untung ini dinilai lebih banyak menimbulkan dampak negatif baik, dari aspek moral maupun ekonomi masyarakat.
Pada 1987, pemerintah mengganti Porkas menjadi kupon sumbangan olahraga berhadiah (KSOB). Selain KSOB, ada pula penggalangan dana berupa tanda sumbangan sosial berhadiah (TSSB). Kupon KSOB dijual seharga Rp 600 per lembar, sedangkan TSSB dijual Rp 1.000 per lembar kupon. Namun, sebagaimana Porkas yang bermuatan unsur adu untung, KSOB dan TSSB kemudian dihentikan setelah muncul protes dan masukan dari berbagai pihak yang disampaikan melalui DPR.
Pemerintah kemudian mengganti KSOB menjadi sumbangan dermawan sosial berhadiah (SDSB) pada 1989. Hasil penjualan SDSB pada tahun pertama 1989 mencapai Rp 904,8 miliar. Namun, tidak semua pendapatan digunakan untuk pembinaan olahraga.
Frasa ”sumbangan sosial” membuat lingkup dana kesejahteraan sosial ini digunakan pula untuk membantu korban bencana alam, panti sosial, warga disabilitas, dan suku terasing. Sementara dana untuk pembinaan olahraga yang disalurkan sebesar Rp 24,8 miliar diberikan lewat KONI Pusat, induk organisasi olahraga, dan gubernur untuk kepentingan pembinaan olahraga di daerah.
Sebagaimana pendahulunya, seperti Porkas dan KSOB, nasib kupon undian SDSB juga tidak berjalan lama. Unjuk rasa di sejumlah daerah menentang muatan perjudian dari skema sumbangan undian ini. Pada 1993, pemerintah akhirnya mencabut izin SDSB.
Kupon pertandingan
Setelah era SDSB, belum ada lagi model undian yang dilakukan untuk menggalang dana masyarakat. Penolakan terhadap sistem undian yang mengarah ke bentuk perjudian membuat ide-ide menarik dana publik dengan aroma undian dan hadiah menjadi lebih cermat disorot masyarakat.
Sejumlah program digagas pemerintah sebagai pengganti SDSB, tetapi tidak mendapat dukungan luas. Salah satunya adalah ide membuat Tabungan Prestasi Olahraga Nasional (Tapornas) yang berbentuk deposito berhadiah. Simpanan tersebut ditawarkan dengan bunga yang lebih rendah dari bunga perbankan pada umumnya.
Harapannya, selisih bunga tersebut digunakan untuk kepentingan olahraga. Sebagai penyeimbang dan menarik minat masyarakat, Tapornas menyediakan hadiah undian setiap bulan. Karena bunganya sangat rendah, gagasan Tapornas tidak terlalu menarik perhatian untuk dilanjutkan pembahasannya.
Gagasan lain yang diangkat pemerintah adalah program Jasa Promosi Olehraga (Jaspora). Mekanisme yang ditawarkan adalah mendapatkan dana dari sektor periklanan. Dana yang dimaksudkan adalah selisih dana diskon dari transaksi iklan yang harus disumbangkan oleh perusahaan iklan. Konsep ini juga kurang mendapat dukungan karena memberatkan perusahaan iklan.
Ide pungutan juga sempat muncul berupa kenaikan cukai rokok. Namun, sebagaimana kalangan periklanan yang menolak dana iklan, usul kenaikan cukai rokok untuk sumbangan olahraga juga ditolak Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia.
Di luar Tapornas dan Jaspora, ada pula wacana membuat Tiket Peduli Olahraga (TPO) dan mengedarkan kupon Dana Masyarakat untuk Olahraga (Damura). Namun, unsur peruntungan lewat hadiah membuat dua gagasan ini kandas di tengah jalan.
Konsep Tiket Peduli Olahraga adalah menjual tiket pertandingan sebesar Rp 5.000 dan bisa digunakan untuk menyaksikan pertandingan olahraga apa saja. Dana yang dikumpulkan dari penjualan tiket itu akan digunakan untuk pemberian hadiah, penyelenggara, pembinaan kegiatan olahraga, dan Kementerian Sosial.
Hampir serupa, kupon Damura juga menawarkan pembelian tiket pertandingan olahraga. Hanya saja, masyarakat juga memperoleh benefit lain dari kupon Damura berupa asuransi kecelakaan, asuransi kematian, undian berhadiah, dan beasiswa.
Dana abadi
Kekosongan model penggalangan dana dari kupon undian membuat bentuk-bentuk pengumpulan dana bagi pembinaan olahraga dan atlet kembali ke pola-pola sebelumnya, seperti mengedarkan stiker dan sumbangan dari pihak swasta atau pengusaha.
Donasi swasta tercatat pernah diterima Panitia Besar Pekan Olahraga Nasional XIII pada 1993. Melalui gelaran malam dana ”sumbangan berhadiah” yang diadakan sejumlah media massa di Jakarta Panitia PON berhasil mendapat suntikan dana Rp 4,1 miliar.
Sementara peredaran stiker dilakukan oleh panitia penyelenggara SEA Games pada 1997. Pengumpulan sumbangan dana SEA Games ini dilakukan lewat penjualan stiker dengan dasar SK Menteri Sosial Nomor 163/HUK-SS/X/97.
Ada pula cara menggandeng pengusaha dengan menempatkan sebagai pengurus KONI atau pengurus induk organisasi olahraga. Namun, di luar itu semua, dana pembinaan olahraga dan atlet tiap tahun masih bertumpu pada APBN. Alokasi anggaran ini utamanya dilakukan untuk meningkatkan prestasi olahraga. Namun, keterbatasan anggaran dan prioritas sektor-sektor pembangunan lainnya membuat gagasan penggalangan dana olahraga dan atlet masih terus berguna.
Cara-cara penggalangan dana dengan sistem undian yang mengarah ke perjudian dan sumbangan rasa ”pungutan” akan memicu penolakan dan memberatkan masyarakat. Musyawarah Olahraga Nasional (Musornas) VII pada 1995 pernah memunculkan gagasan pembuatan dana abadi. Gagasan lain adalah membentuk BUMN Olahraga atau Yayasan Dana Olahraga.
Intisari dari gagasan-gasan tersebut ialah kemandirian keuangan olahraga agar Komite Olahraga Indonesia bersama induk organisasi cabang olahraga tetap terus melakukan pembinaan atlet dan mewujudkan kesejahteraan atlet. Cara-cara ini dapat dilakukan dengan menggalang solidaritas bangsa dengan menyediakan semacam dana abadi olahraga.
Upaya itu dapat dilakukan dengan ditopang modal kedermawanan untuk saling berbagi dan saling menolong yang telah lama dimiliki bangsa Indonesia. Indeks Kedermawanan Dunia (World Giving Index) 2020 menunjukkan besarnya potensi kedermawanan sosial Indonesia. Peringkat kedermawanan Indonesia berada di posisi ke-10 negara paling dermawan di dunia.
Di era pandemi Covid-19, kedermawanan itu sudah ditunjukkan dengan aksi solidaritas kepada tenaga kesehatan, sukarelawan, dan masyarakat terdampak pandemi. Di era digital, penggalangan dana lebih mudah dilakukan dengan berbasis daring, seperti Kitabisa.com dan Rumah Solidaritas Kemanusiaan.
Momentum ini dapat juga diterapkan untuk membuat dana abadi olahraga. Hanya saja, penggalangan dana ini juga harus diimbangi semangat profesional dan transparansi dari pemegang tanggung jawab olahraga nasional. Jangan sampai dana yang terkumpul nantinya tidak digunakan sepenuhnya untuk pembinaan olahraga dan kesejahteraan atlet, atau malah dikorupsi.
Niat baik ini harus dijalin bersama-sama, baik oleh masyarakat dengan kontribusi menyumbang, pihak pemerintah, dan komite olahraga dengan mewujudkan manajemen olahraga profesional, serta para atlet dengan menunjukkan semangat berlatih dan bertanding untuk meraih prestasi.
Semua itu harus dilakukan sembari menunggu kemampuan pemerintah mengalokasikan dana yang layak bagi pembinaan olahraga nasional sekaligus menyejahterakan atletnya. (LITBANG KOMPAS)