Hari Radio Nasional diperingati setiap 11 September. Radio Republik Indonesia pun sudah berusia 76 tahun. Romantisme radio menjadi kristal ingatan pada peran pentingnya dalam narasi perjuangan kemerdekaan.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Hari Radio Nasional tepat diperingati pada hari ini sebagai penanda berdirinya Radio Republik Indonesia (RRI) 76 tahun silam. Romantismenya kini merupakan kristal ingatan pada peran penting radio dalam narasi perjuangan kemerdekaan.
Sejarah radio di Indonesia dimulai dengan berdirinya Bataviaasche Radio Vereeniging (BRV) atau Batavia Radio Society pada 16 Juni 1925. BRV diperdengarkan di Hindia Belanda dan menandai sejarah lahirnya keajaiban intimasi insan manusia yang terpisah jarak.
Kemunculannya di Hindia Belanda hanya enam tahun setelah siaran musik pertama di dunia mengudara. Dalam rentetan sejarah radio, BRV lahir 19 tahun kemudian setelah Reginald Aubrey Fessenden melakukan siaran radio pertama pada 24 Desember 1906.
Dapat pula dikatakan bahwa radio pertama di Indonesia hadir 29 tahun setelah cikal bakal teknologi radio ditemukan oleh Guglielmo Marconi pada 1896.
Radio di Hindia Belanda mulai bersemi pada 1930-an. Jennifer Lindsay dalam Making Waves: Private Radio and Local Identities in Indonesia (1997) menyebut babak awal radio di Indonesia ditandai dengan penggunaan radio sebagai media yang fokus pada diseminasi budaya dan hiburan dengan dominasi program musik. Tidak hanya radio milik pemerintah, namun juga radio swasta.
BRV sendiri menjadi kanal resmi pemerintah Hindia Belanda dan berubah nama menjadi Nederlands Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM). NIROM mengalokasikan 80 persen durasi mengudara untuk siaran musik, di mana tiga perempatnya merupakan siaran rekaman gramofon. Pemerintah membatasi penyiaran terkait isu politik dan agama.
Sementara itu, kemunculan radio swasta ditandai dengan merekahnya Radio Ketimoeran. Radio ini mengusung acara musik lokal yang kala itu mengiringi perkembangan musik Indies. Diperkirakan ada sepuluh ribu cakram dari rekaman musik Indies untuk pasar di Hindia Belanda dan Melayu.
Radio Ketimoeran juga menyiarkan suara dari pertunjukkan langsung seperti gamelan. Menyiarkan musik sendiri ini menjadi bagian dari “misi peradaban”. Lingkungan kerajaan pun mulai membuka seni keraton untuk diperdengarkan lebih luas.
Mangkunegaran dan Yogyakarta disebut “mendemokrasikan” seni mereka untuk dapat dinikmati publik luas. Radio menawarkan sensasi kedekatan antara penghibur dan pendengar yang dipisahkan jarak.
Selepas pemerintahan kolonial, pendudukan Jepang mengubah total landskap radio di Hindia Belanda. Dimulai pada 1942, pemerintah Jepang melakukan sentralisasi radio di bawah satu kontrol Departemen Informasi dan Propaganda Jepang. Stasiun radio disatukan dalam jawatan atau satuan kerja bernama Hoso Kanri Kyoku.
Langkah ini membuat kebebasan penyiaran amat terbatas hingga detik-detik akhir pendudukan Jepang di Indonesia. Meski begitu, radio mampu menyelinap untuk mengambil peran penting dalam momen kemerdekaan Indonesia.
Dalam From Monologue to Dialogue: Radio and Reform in Indonesia oleh Edwin Jurriens (2009), radio memiliki posisi penting dalam Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Tanpa radio, kabar kemerdekaan mungkin tak terdengar hingga pelosok negeri.
Indonesia berhasil mengelabui Jepang dan menguasai Hoso Kyoku Jakarta untuk menyiarkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sehari kemudian, kabar tentang kemerdekaan juga disampaikan dalam bahasa inggris untuk disampaikan ke masyarakat dunia. Momen inilah yang membuat Indonesia dikenal dunia dengan Soekarno sebagai sang penyambung lidah rakyat.
Upaya untuk mengabarkan kemerdekaan dilakukan sembunyi-sembunyi demi menghindari penjegalan dari pemerintahan Jepang. Di Jakarta, berita proklamasi dibacakan oleh Jusuf Ronodipuro lewat siaran radio dengan pemancar buatan dari markas Menteng 31.
Tidak berhenti disitu, upaya menyebarkan kabar kemerdekaan juga terjadi di berbagai daerah. Arsip Kompaspedia menunjukkan bagaimana radio menjadi sumber berita yang kemudian dapat disebarluaskan oleh pemuda-pemuda di seantero negeri.
Radio terekam mengambil peran di Padang, Sumatera Selatan. Seorang pegawai Pos, Telegram, dan Telepon (PTT) yang mendengar siaran berita proklamasi kemudian menyebarkannya secara lisan. Kemerdekaan juga hadir di Kalimantan lewat radio yang disembunyikan pemuda di Pontianak.
Lewat radio, semangat pejuang kembali terbakar saat mendengar kabar proklamasi. Di Cirebon, anggota Pembela Tanah Air (PETA) mendengarnya lewat siaran radio di kantor Kawedanan Arjawinangun yang kemudian disebarluaskan.
Radio memegang peran penting dalam menyatukan kepercayaan diri menjadi bangsa yang merdeka.
Di Pekalongan, salah seorang anggota Barisan Pelopor menurunkan bendera Jepang dan menaikkan bendera Indonesia segera setelah mendengar kabar kemerdekaan melalui radio.
Radio kala itu memegang peran penting dalam menyatukan kepercayaan diri menjadi bangsa yang merdeka. Bahkan, selepas kemerdekaan pun, radio menjadi medium untuk menggalang kekuatan demi mempertahankan kemerdekaan.
Jika kini radio hanya satu medium yang biasa diantara sekian banyak pilihan, tidak begitu di masa lampau. Radio memainkan peran penting dalam mengorganisir rakyat dan menyerukan perlawanan.
Tak berlebihan jika menyebut radio sebagai “senjata” yang telah mampu melawan upaya-upaya penggagalan kemerdekaan.
Sutomo, atau lebih dikenal dengan Bung Tomo, memanfaatkan radio untuk menjaga kepercayaan diri arek-arek Suroboyo di tengah upaya kembalinya pendudukan di tanah air. Lewat radio, Bung Tomo mampu membawa pengaruh yang besar sejak kemerdekaan hingga pecahnya Pertempuran 10 November 1945.
Radio mencetak momen bersejarah yang diingat hingga kini. Pada 9 November 1945, Bung Tomo memberikan komando lewat radio dan menggaungkan “Merdeka atau Mati” sebagai respon ultimatum yang disebarkan lewat udara oleh Mayor Jenderal Mansergh. Jargon semangat yang masih membekas di benak anak-anak revolusi hingga kini.
Tidak hanya Radio Pemberontakan pimpinan Bung Tomo, Radio Banteng Hitam juga menjadi kanal bagi Komandan TKR Aruji Kartawinata untuk memberikan komando menyerang dalam peristiwa Bandung Lautan Api.
Di tengah peringatan Hari Radio Nasional tahun ini, radio menjadi memorabilia yang tak sebatas romantis namun juga penuh arti. Semangat perlawanan dan persatuan mengalir dalam setiap saluran, baik yang masih konvensional maupun yang termutakhir. (LITBANG KOMPAS)