Pemikiran Nurcholish Madjid tetap relevan dan menjadi warisan bangsa ini. Konsep iman, aman, dan amanah yang dikenalkan Cak Nur semestinya menjadi landasan bagi bangunan demokrasi Indonesia. Sebuah ”magnum opus” Cak Nur.
Oleh
Yohan Wahyu
·6 menit baca
Nurcholish Madjid menutup makalahnya berjudul ”Iman dan Emansipasi Harkat Kemanusiaan” dalam bukunya, Islam Doktrin dan Peradaban dengan menyatakan bahwa ”Iman dan harkat serta martabat kemanusiaan melandasi demokrasi, dan tak mungkin mendukung sistem totaliter, otoriter, dan tiranik”. Buku ini kemudian dikenal sebagai karya besar Cak Nur.
Judul makalah itu pula yang kemudian diangkat dalam puncak peringatan Haul Cak Nur ke-16 yang dikemas dalam acara orasi oleh Yudi Latif, Ph.D., (Dewan Pembina Nurcholish Madjid Society) sebagai penyampai orasi pembuka yang kemudian dilanjutkan orasi budaya oleh Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah Nahdhatul Ulama Australia-New Zealand sekaligus dosen senior Monash Law School.
Dalam orasi pembukanya, Yudi Latif menyampaikan, iman dan emansipasi adalah tema sentral pikiran-pikiran Cak Nur yang dituangkan dalam buku-bukunya yang selama ini menjadi rujukan soal Islam dan keindonesiaan.
”Kebangsaan, keislamanan, iman, dan emansipasi ada dalam konstitusi kita”, ungkap Yudi juga dikenal sebagai pemikir kebangsaan ini. Bagi Cak Nur, kata Yudi, iman harus diwujudkan dalam emansipasi, iman yang tidak diwujudkan dalam emansipasi, maka iman itu mandul.
Satu pesan Cak Nur yang membekas bagi Yudi adalah bahwa beriman dan berilmu pengetahuan yang tinggi harus ada dalam satu tarikan napas, yang kemudian disebut sebagai amal sholeh.
Keimanan dan ilmu yang tinggi tidak akan ada nilainya jika tidak dibarengi dengan proses civilisasi, yakni berdampak pada membangun sebuah peradaban. ”Kemampuan menerjemahkan agama dalam civilisasi, itulah doktrin dari Cak Nur,” ujar Yudi.
Maka, tidak heran dalam bukunya Islam, Doktrin dan Peradaban inilah Cak Nur kemudian dikenal sebagai pemikir keislaman dan kebangsaan. Inilah magnum opus atau karya besar dari Cak Nur yang sampai hari ini tetap menjadi rujukan.
Selama 16 tahun sejak kepergian Cak Nur yang wafat pada 29 Agustus 2005, pikiran dan gagasan Cak Nur tetap hidup. Sebagian besar ”jemaah”-nya tersebar sebagai bagian dari apa yang disebut Emha Ainun Nadjib sebagai pengikut Tarekat Nurcholishy.
Istilah ini, menurut Cak Nun, panggilan akrab Emha Ainun Nadjib, dalam tulisannya di majalah Tempo, 3 Oktober 1987, untuk menggambarkan Cak Nur. Menurut Cak Nun, Cak Nur mengampanyekan sebuah nilai bahwa ber-Islam itu berproses.
Maka, pemahaman pembaruan Islam yang ditempuh Cak Nur adalah sebuah model tarekat fenomenal yang dibutuhkan oleh zaman semacam ini, yang kemudian ia sebut sebagai Tarekat Nurcholishy.
Tak jarang jemaah Cak Nur tetap aktif dan berkembang, bahkan setelah Cak Nur wafat. Nurcholish Madjid Society (NCMS) yang juga menjadi penyelenggara haul 16 tahun Cak Nur.
NCMS didirikan guna memajukan dialog peradaban yang terbuka, jujur, adil, bebas, demokratis, dan toleran, seperti halnya yang dikampanyekan oleh Nurcholish Madjid sepanjang hidupnya. Tak jarang kehadiran NCMS ini juga menjadi ajang bagi siapa pun yang merasa menjadi santri dan jemaah Cak Nur.
Omi Komaria, istri Cak Nur, mengungkapkan bagaimana setelah 16 tahun wafatnya Cak Nur masih banyak ia temui orang-orang yang mengaku sebagai jemaah dan santri Cak Nur.
Dalam sambutan di acara haul tersebut, Omi menyatakan terima kasihnya atas penghormatan bagi sosok Cak Nur. ”Ungkapan-ungkapan kecintaan dan kekaguman itu sangat berarti bagi saya sebagai warisan keteladanan Cak Nur yang tak ternilai harganya,” ungkapnya.
Jika mengacu perjalanan hidup Nurcholish Madjid, kehidupannya bisa dibagi dalam tiga fase, yakni fase pendidikan, keorganisasian, dan pemikiran sekaligus pembaruan.
Di fase pendidikan, Cak Nur yang lahir di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939, ini tidak lepas dari pendidikan dan tradisi pesantren. Cak Nur lahir dari kalangan keluarga pesantren dari pasangan K.H Abdul Madjid - Hajjah Fathonah Mardiyyah.
Cak Nur mengenyam pendidikan dasar dan menengahnya di Jombang dengan dua metode pembelajaran, yakni pendidikan dengan pola madrasah yang sarat dengan penggunaan kitab-kitab kuning sebagai bahan rujukan dan pendidikan umum dengan metode pengajaran modern.
Bibit intelektualnya terasah ketika Cak Nur mengenyam pendidikan di pondok pesantren modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, dan lulus pada tahun 1960. Nurcholish Madjid tercatat sebagai salah satu santri terbaik dengan meraih juara kelas.
Di Gontor inilah Cak Nur mendapatkan pengalaman pendidikan keagamaan yang sangat menentukan dan memberikan warna terhadap perkembangan pemikiran keagamaannya.
Setelah lulus dari Gontor, atas kecerdasannya, pimpinan pesantren Gontor, KH Zarkasyi, berniat mengirimkan Nurcholish Madjid ke Universitas Al- Azhar, Kairo. Namun, situasi dalam negeri Mesir yang tidak kondusif membuat Cak Nur urung berangkat dan akhirnya berlabuh di IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Cak Nur mengambil Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab dan Sejarah Pemikiran Islam.
Di kampus inilah kemudian Cak Nur menjelma menjadi intelektual muda yang disegani, apalagi ketika saat kuliah inilah fase beorganisasi dia alami dengan aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Dalam sejarah, Cak Nur tercatat sebagai satu-satunya Ketua Umum Pengurus Besar HMI yang terpilih selama dua periode kepengurusan secara berturut-turut, yakni periode 1966-1969 dan 1969-1971.
Cak Nur juga terpilih menjadi presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (Pemiat) periode 1967-1969. Sekaligus di periode 1969-1971 terpilih sebagai Wakil Sekretaris Umum International Islamic Federation of Students Organisation (IIFSO).
Pengalaman organisasi di level internasional inilah yang memberi kesempatan Cak Nur muda berkeliling ke sejumlah negara. Pengalaman itu pula yang memengaruhinya dalam memandang Islam hingga kemudian menjadi embrio lahirnya nilai dasar perjuangan yang kemudian menjadi basis kegiatan dan ”ideologi” HMI yang menjadi warisan pemikiran Cak Nur bagi organisasi mahasiswa tertua di Indonesia ini.
Di periode akhir kepemimpinannya di HMI, Cak Nur menggegerkan politik nasional, terutama menjelang digelarnya Pemilu 1971. Saat masih menjabat Ketua Umum PBHMI, Cak Nur melontarkan sebuah kalimat, ”Islam Yes, Partai Islam No”.
Kalimat ini keluar saat Cak Nur menyampaikan pidato berjudul ”Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” dalam sebuah acara halalbihalal bersama sejumlah organisasi mahasiswa berbasis Islam.
Sejak pidato itulah kemudian Cak Nur dikenal sebagai pembaharu pemikiran Islam. Hal ini dituangkan dalam karya-karyanya, termasuk yang kemudian menjadi magnum opus Cak Nur, Islam Doktrin dan Peradaban.
Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah Nahdhatul Ulama Australia-New Zealand sekaligus dosen senior Monash Law School, Australia, dalam di peringatan haul Cak Nur ke-16 ini membawakan orasi budaya, memandang pemikiran Cak Nur ini tetap relevan hingga saat ini.
Menurut dia, diskursus Cak Nur tak pernah lepas dari soal keimanan. Gur Nadir, demikian panggilan akrab Nadirsyah Hosen ini, memandang pikiran Cak Nur soal iman yang sangat luas.
Bagi Cak Nur, iman itu tidak cuma percaya, iman itu yang membawa rasa aman dan membuat orang mempunyai rasa amanah. Cak Nur mengaitkan tiga kata kunci ini, iman, aman, dan amanah, dalam satu tarikan napas. ”Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak amanah. Tidak ada agama bagi orang yang tidak memenuhi janji,” ulas Gus Nadir
Gus Nadir memandang pikiran Cak Nur soal keimanan dan amanah ini jelas menekankan soal amanah yang saat ini menjadi problem. Untuk itulah Gus Nadir memandang kutipan di bagian akhir makalah Cak Nur dari satu rangkaian buku Islam Doktrin dan Peradaban di atas semakin mempertegas bahwa konsep iman, aman, dan amanah yang dikenalkan Cak Nur semestinya menjadi landasan bagi bangunan demokrasi Indonesia.
Inilah magnum opus dari Nurcholish Madjid yang bisa menjadi warisan bagi bangsa ini, terutama dalam merawat dan menegakkan bangunan demokrasi. (LITBANG KOMPAS)