Evaluasi Keamanan Lapas demi Keselamatan Napi dan Petugas
Tanpa upaya pembenahan fasilitas dan kapasitas lapas, kebakaran di area lembaga pemasyarakatan dapat terjadi lagi di waktu-waktu mendatang.
Setidaknya 12 kejadian kebakaran terjadi di lembaga pemasyarakatan dalam satu dekade terakhir. Kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang, Banten, yang menimbulkan banyak korban menjadi catatan peliknya pengelolaan fasilitas lapas di Indonesia. Dibutuhkan komitmen lebih serius Kemenkumham untuk membenahi pengelolaan lapas dalam negeri.
Kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang terjadi hari ini, Rabu (8/9/2021) sekitar pukul 01.45, di Blok C-II yang dihuni 122 narapidana. Akibat kejadian tersebut, sedikitnya 41 napi dinyatakan tewas, 8 orang luka berat, dan 72 orang lainnya luka ringan.
Hasil penelurusan sementara di lokasi kejadian menunjukkan bahwa penyebab kebakaran adalah hubungan pendek arus listrik atau korsleting. Total ada enam mobil pemadam kebakaran yang berupaya memadamkan api saat kejadian kebakaran.
Napi yang tengah beristirahat di dalam sel penjara tidak menyangka akan terjadi kebakaran hebat. Jatuhnya puluhan korban jiwa tidak dapat dihindari, selain karena kondisi sel penjara terkunci, kapasitas hunian di lapas yang sudah berusia hampir 50 tahun itu juga melebihi batas.
Kapasitas normal lapas yang dibangun tahun 1972 itu sekitar 600 orang, tetapi hingga September 2021 tercatat setidaknya ada 2.072 tahanan dan napi. Kapasitas berlebih tentu menjadi penghambat besar dalam proses evakuasi saat kondisi krisis.
Penyebab kebakaran karena hubungan pendek arus listrik menunjukkan belum mapannya pengelolaan fasilitas lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Standar minimum pencegahan kebakaran untuk gedung perlu disiapkan dan terpasang dengan tepat.
Dalam konteks proteksi kebakaran, dibutuhkan peralatan sistem perlindungan/pengamanan yang terpasang di dalam gedung, seperti siamese connection, alarm kebakaran, hidran, sprinkler, hingga sistem pemadam khusus lainnya. Tak hanya secara fasilitas alat, jaminan keamanan dari kebakaran perlu didukung adanya manajemen keselamatan kebakaran gedung.
Selain fasilitas gedung yang perlu dibenahi, kapasitas napi di dalam lapas juga harus dievaluasi ulang. Banyak lapas yang kapasitas napi jauh melebihi kapasitas normalnya. Hingga awal 2020, kondisi sesaknya hunian lapas makin mengkhawatirkan di Indonesia.
Kejadian berulang
Kejadian kebakaran di lapas tidak hanya terjadi di Tangerang. Selama sepuluh tahun terakhir, setidaknya telah terjadi 12 kebakaran di lapas. Penyebabnya beragam, mulai dari hubungan pendek arus listrik hingga kerusuhan antara napi dan polisi.
Apabila tidak ada upaya pembenahan fasilitas lapas, kemungkinan akan bisa terjadi lagi di waktu-waktu mendatang. Dari puluhan kebakaran lapas, hampir keseluruhan penyebabnya adalah kerusuhan.
Tahun 2012, sejumlah fasilitas di Lapas Kelas IIA Kabupaten Badung, Bali, terbakar akibat kerusuhan antarnapi karena urusan utang-piutang. Saat kejadian tidak ada korban jiwa, tetapi 85 napi harus dievakuasi ke sejumlah lapas lain di Jawa Timur untuk menghindari meluasnya kerusuhan.
Berselang tiga tahun, kebakaran terjadi di Lapas Kelas IIB Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Sejumlah narapidana mengamuk dan membakar bangunan. Kejadian tersebut disebabkan oleh tidak dipenuhinya tuntutan hak napi, seperti hak bebas bersyarat.
Satu tahun kemudian, tepatnya 25 Maret 2016, lima tahanan tewas karena terjebak api saat kebakaran di Lapas Malabero, Kota Bengkulu. Kebakaran dipicu kerusuhan saat penangkapan bandar narkoba, Edison alias Aaseng. Hampir seluruh bangunan lapas terbakar.
Tahun 2020 juga diwarnai setidaknya dua kejadian kebakaran, yaitu Lapas Kelas II Kabanjahe, Sumatera Utara, dan Lapas Tuminting, Manado, Sulawesi Utara. Kedua kejadian tersebut disebabkan oleh kerusuhan antarnapi. Berdasarkan penelurusan di lokasi kejadian, tidak ditemukan korban jiwa.
Kejadian kebakaran yang berulang tersebut menjadi momen evaluasi bersama, selain dari sisi fasilitas, metode penanganan narapidana juga penting untuk diperbaiki. Kerusuhan demi kerusuhan yang terjadi menggambarkan ketidakstabilan sistem sosial antarnapi dan polisi di dalam lapas.
Situasi yang kondusif tentu dapat diupayakan terbentuk di dalam lapas, mengingat hak dan kewajiban napi telah diatur. Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, hak napi meliputi layanan kesehatan layak, menyampaikan keluhan, menerima kunjungan keluarga, hingga pembebasan bersyarat.
Proses pemenuhan hak tentu harus diimbangi menjalankan kewajiban oleh para napi, termasuk larangan-larangan untuk napi selama proses hukuman. Beberapa poin larangan napi adalah memiliki hubungan keuangan antarnapi atau petugas, melakukan perusakan fasilitas lapas, hingga pencurian dan pemerasan.
Perbaikan lapas
Sistem proteksi kebakaran untuk gedung merujuk pada terbentuknya sistem yang terdiri atas peralatan, kelengkapan dan sarana, baik yang terpasang maupun terbangun pada bangunan. Sistem proteksi memiliki dua jenis, yaitu proteksi aktif dan masif.
Proteksi aktif untuk keamanan bangunan terhadap kebakaran adalah sistem pendeteksian kebakaran manual atau otomatis, sistem pemadam kebakaran berbasis air seperti sprinkler, pipa tegak dan slang kebakaran, serta sistem pemadam kebakaran berbahan kimia, seperti APAR dan pemadam khusus.
Sementara proteksi pasif tersusun atas pengaturan penggunaan bahan dan komponen struktur bangunan, kompartemenisasi atau pemisahan bangunan berdasarkan tingkat ketahanan terhadap api, serta perlindungan terhadap bukaan.
Aturan lebih teknisnya, dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan menyebutkan empat poin pencegahan kebakaran gedung.
Pertama, pemeliharaan dan perawatan lantai bangunan yang perlu memperhatikan jenis material dan cara pembersihan lantai. Kedua, cerobong pembuangan dan peralatan terkait yang rentan terbakar dan dapat menjadi sumber kebakaran.
Ketiga, teknis hunian dan proses yang meliputi ketersediaan pembuangan dan pengelolaan sampah, kontrol kebiasaan merokok, dan bahaya rumah tangga lainnya, seperti kelistrikan. Dalam teknis hunian dan proses, dibutuhkan pemeriksaan oleh petugas secara rutin.
Terakhir, pengendalian keamanan bagian luar gedung, seperti akumulasi tumpukan barang bekas dan sampah, tumbuhnya rumput dan belukar yang tinggi, serta bahan-bahan lain yang berpotensi terbakar. Adanya tumpukan barang bekas dan rumput mampu memperparah kebakaran.
Usaha pencegahan dan pengendalian kebakaran di gedung menjadi salah satu cara menekan korban jiwa. Apalagi bangunan lapas yang terkunci dengan penghuni melebihi kapasitas, perlu sistem keamanan dan mitigasi yang lebih baik untuk mengantisipasi terjadinya musibah kebakaran. Tak cukup hanya itu, hubungan baik antarnapi dan petugas lapas juga harus dijaga agar tidak menyebabkan kerusuhan yang berujung pengrusakan fasilitas karena kebakaran.
Sebagai catatan akhir, kejadian kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang harapannya tidak terulang di waktu mendatang. Duka mendalam tentu dirasakan oleh keluarga napi yang tewas. Pemerintah melalui Kemenkumham perlu mengevaluasi dan membenahi fasilitas lapas di Indonesia. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Napi Melebihi Kapasitas Perburuk Dampak Kebakaran Lapas Tangerang