Menengok Pemetaan Cagar Budaya di Zona Bencana
Pemetaan cagar budaya di zona bencana menjadi hal penting untuk diamati guna mempercepat tindakan preventif dan kuratif demi menjaga dan memelihara warisan leluhur untuk masa depan bangsa.
Puluhan cagar budaya peringkat nasional di Indonesia berada pada wilayah berisiko tinggi terdampak bencana alam. Pemetaan cagar budaya di zona bencana menjadi hal penting untuk diamati guna mempercepat tindakan preventif dan kuratif demi menjaga dan memelihara warisan leluhur untuk masa depan bangsa.
Sebagai negara dengan catatan sejarah yang panjang, Indonesia memiliki banyak peninggalan bersejarah yang tersebar pada berbagai daerah. Sebagian di antaranya terawat dengan baik dan telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Sementara sebagian lainnya masih dalam tahap pengajuan untuk ditetapkan sebagai cagar budaya.
Hingga kini, Indonesia memiliki 99.458 warisan budaya yang bersifat kebendaan. Sementara peninggalan bersejarah yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya berjumlah 1.635 obyek. Jumlah ini sangat mungkin untuk bertambah mengingat masih terdapat 49.777 obyek yang diduga sebagai cagar budaya.
Banyaknya cagar budaya yang dimiliki oleh Indonesia tidak terlepas dari banyaknya jumlah kerajaan serta peristiwa bersejarah yang tercatat sejak abad ke-5 Masehi hingga kini. Periode autokrasi, kolonialisme, hingga kemerdekaan yang telah berlangsung selama sekitar 16 abad mewariskan banyak peninggalan bersejarah bagi Indonesia.
Bersama Vietnam, Indonesia menjadi negara dengan jumlah cagar budaya terbanyak di Asia Tenggara yang telah diakui oleh dunia. Hingga kini terdapat lima cagar budaya Indonesia yang telah diakui oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Banyaknya cagar budaya yang dimiliki oleh Indonesia melahirkan tantangan tersendiri, terutama terkait pelindungan yang menjadi bagian dari upaya pelestarian. Apalagi, sebagian cagar budaya berada di daerah zona bencana kategori risiko tinggi.
Oleh sebab itu, pemetaan cagar budaya di lokasi bencana menjadi hal penting yang perlu diperhatikan untuk menentukan langkah-langkah pelindungan khusus bagi obyek cagar budaya di berbagai daerah. Lalu, bagaimana posisi cagar budaya di Indonesia berdasarkan peta zona bencana?
Baca juga: Merawat Eksistensi Museum Kala Pandemi
Potensi bencana
Litbang Kompas coba membuat pemetaan titik lokasi cagar budaya berdasarkan peta risiko bencana per kabupaten/kota di Indonesia. Data yang digunakan adalah cagar budaya peringkat nasional yang dirilis dalam Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya.
Sementara zonasi bencana menggunakan indeks risiko bencana tahun 2020 yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Januari 2021. Pemetaan ini juga melihat beberapa indikator yang digunakan di dalam indeks, seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung, dan cuaca ekstrem.
Berdasarkan pemetaan ini terdapat 31 cagar budaya peringkat nasional yang berada di kabupaten/kota berisiko tinggi terdampak bencana. Cagar budaya yang terletak di wilayah-wilayah ini berpotensi terdampak bencana sehingga memerlukan strategi preventif dan kuratif sebagai upaya pelindungan.
Di Banten, misalnya, terdapat Prasasti Cidanghiang di Kabupaten Pandeglang. Prasasti ini merupakan benda cagar budaya yang telah coba didalami sejak tahun 1947. Wilayah ini termasuk daerah risiko tinggi dalam indeks bencana alam yang dirilis BNPB.
Pada kategori kawasan cagar budaya terdapat kawasan Megalitik Bawomataluo di Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara, yang juga berada di daerah risiko tinggi bencana alam.
Kawasan ini terdiri dari permukiman, pemandian, dan pemakaman tradisional. Beberapa indikator kebencanaan menunjukkan bahwa wilayah ini berisiko tinggi terkait sejumlah bencana, seperti gempa bumi dan tsunami.
Pemetaan juga dapat dilihat secara terperinci berdasarkan jenis bencana yang digunakan dalam indeks kebencaan. Gempa bumi, misalnya, terdapat 81 obyek cagar budaya yang berada di daerah risiko tinggi bencana gempa di Indonesia.
Banyaknya jumlah cagar budaya yang masuk kategori ini tidak terlepas dari posisi Indonesia yang terletak pada tiga titik pertemuan lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik.
Ada beberapa provinsi yang memiliki sejumlah cagar budaya nasional di daerah rawan gempa bumi. Sumatera Barat, misalnya, terdapat beberapa cagar budaya yang masuk kategori ini, seperti situs Istana Bung Hatta di Kota Bukittinggi, kawasan Kota Lama Batubara di Kota Sawahlunto, dan bangunan Rumah Rasuna Said di Kabupaten Agam.
Sementara di Daerah Istimewa Yogyakarta, sejumlah peninggalan bersejarah dengan status cagar budaya peringkat nasional juga berada di wilayah risiko tinggi gempa bumi.
Bangunan Stasiun Kereta Api Tugu di Kota Yogyakarta, situs Stasiun Radio AURI PC 2 di Kabupaten Gunung Kidul, serta bangunan Pesanggrahan Ngeksiganda di Sleman adalah beberapa di antaranya.
Bencana lainnya yang juga perlu menjadi perhatian adalah cuaca ekstrem yang dapat berdampak pada pelapukan dan kerusakan obyek cagar budaya. Ada 73 obyek cagar budaya yang terletak di kabupaten/kota berpotensi tinggi mengalami cuaca ekstrem.
Pada kategori bangunan cagar budaya, misalnya, terdapat Candi Jabung di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Wilayah ini masuk kategori risiko tinggi yang berpotensi mengalami cuaca ekstrem.
Sementara pada kategori kawasan cagar budaya terdapat satuan ruang geografis Muarajambi di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, yang juga masuk kategori ini. Pada satuan ruang geografis ini terdapat peninggalan bersejarah dari Kerajaan Malayu Kuno dan Sriwijaya.
Jumlah peninggalan bersejarah di lokasi rawan bencana bisa saja bertambah banyak mengingat pemetaan ini belum menghitung cagar budaya yang tidak tergolong peringkat nasional. Selain itu, masih ada obyek bersejarah yang belum ditetapkan sebagai cagar budaya yang juga belum termasuk di dalam pemetaan.
Baca juga: Tantangan Pelestarian Cagar Budaya di Tengah Pandemi
Urgensi
Pemetaan ini menjadi hal penting untuk diamati guna menyusun langkah preventif dan kuratif pada setiap cagar budaya sesuai risiko bencana yang mengancam. Apalagi, jika menengok pengalaman sebelumnya terdapat beberapa obyek peninggalan bersejarah yang terancam mengalami kerusakan akibat bencana alam.
Candi Losari di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, misalnya, pernah terdampak cuaca ekstrem pada Maret 2021. Sebagian penutup atap pelindung candi terlepas karena terpaan angin kencang. Perbaikan pun segera dilakukan oleh pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.
Kerusakan Bale Adat Sembalun akibat gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat, tahun 2018 juga menjadi gambaran betapa pentingnya pemetaan cagar budaya di zona bencana sekalipun belum ditetapkan sebagai cagar budaya nasional. Bale adat tersebut urung diperbaiki karena realokasi anggaran tahun 2021 akibat pandemi.
Ancaman ini sebetulnya telah disadari oleh dunia internasional dalam beberapa dekade terakhir. Bahkan, pada 2007 Komite Warisan Dunia telah melahirkan dokumen berupa strategi pengurangan risiko pada obyek warisan dunia.
Ada beberapa rekomendasi yang dapat menjadi strategi guna mengurangi risiko kerusakan pada cagar budaya Salah satunya adalah dengan mengidentifikasi risiko bencana. Selain itu, juga perlu dilakukan upaya mengurangi faktor risiko bencana dan membangun budaya pencegahan bencana di setiap obyek warisan dunia.
Beberapa langkah ini tentu dapat diturunkan pada level provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia untuk meminimalisir potensi kerusakan cagar budaya akibat bencana. Artinya, pemetaan zona bencana dapat menjadi kunci sebagai data awalan obyek peninggalan bersejarah yang berisiko.
Di Indonesia, langkah ini telah coba dilakukan dengan beberapa cara. Salah satunya adalah dengan membekali juru pelihara pada sejumlah obyek cagar budaya dengan pengetahuan tanggap bencana. Upaya ini tentu perlu dibarengi dengan dukungan anggaran dan kerja sama dengan masyarakat sekitar untuk melindungi cagar budaya.
Sebagaimana yang disebutkan oleh UNESCO, cagar budaya bukanlah entitas pasif terkait kebencanaan. Langkah aktif dan sinergi dibutuhkan demi melindungi peninggalan para leluhur agar dapat mewarisinya untuk masa depan bangsa. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?