Ada peningkatan 25 persen pasien yang mengeluhkan asam lambung. Peningkatan ini tidak bisa dilepaskan dari tekanan atau stres yang muncul selama pandemi. Perubahan pola makan yang lebih sehat menjadi kunci.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Kelangkaan obat antasida di Amerika Serikat menjadi hal tak terduga selama pandemi Covid-19. Tingginya permintaan pada obat penenang masalah perut menjadi signal adanya hal-hal yang terabaikan di masa krisis ini.
Antasida dan famotidine menjadi obat langka di sejumlah tempat di Amerika Serikat (AS) selama pandemi Covid-19. Dalam For a Nation on Egde, Antacids Become Hard to Find yang diterbitkan The New York Times pada 8 Desember 2020, obat penenang masalah perut yang dijual bebas ini sulit dicari di toko dan apotek online maupun konvesional.
Jaringan supermarket AS, Wegman Food Markets, bahkan mengambil langkah untuk membatasi pembelian produk famotidine di tengah permintaan yang tinggi dan stok yang langka. Selama masa pandemi, kesulitan mencari obat ini menjadi hal yang tak terduga dibandingkan kelangkaan tisu dan daging.
Ada peningkatan 25 persen pasien yang mengeluhkan gejala asam lambung
Antasida merupakan obat untuk menetralisasi kadar asam lambung yang meningkat. Sementara famotidine berfungsi menghambat zat histamin pada reseptor H2 di lambung.
Keduanya berperan untuk meredakan gejala kembung, mual, dan heartburn (sensasi terbakar pada dada). Senada, kelangkaan ini juga dibarengi dengan peningkatan pasien yang mengeluhkan gejala yang mengarah pada peningkatan dan rufluks asam.
Dr Lauren Bleich, ahli gastroenterologi di Acton, Massachusetts, mengatakan, ada peningkatan 25 persen pasien yang mengeluhkan gejala-gejala di atas. Peningkatan ini tidak bisa dilepaskan dari dari tekanan atau stres yang dihadapi masyarakat di masa pandemi.
Situasi ini menjadi episode dari pandemic stomach atau gangguan perut yang makin menggejala di masa pandemi. Dr Lauren menyebut normal baru di masa pandemi meningkatnya ketidakpedulian pola makan, kurangnya aktivitas atau olahraga, dan kenaikan berat badan yang berkontribusi pada gastritis dan gastroesophageal reflux disease(GERD)
Gejala cemas dan depresi berat ditunjukkan seiring dengan gejala umum yang mengarah pada masalah lambung.
Tidak hanya meningkat, gejala pasien yang melaporkan mengalami masalah pencernaan juga semakin serius. Dr Atul Maini, direktur medis untuk Heartburn Center di St Joseph\'s Health di Syracuse, New York, mengatakan, pasien yang datang juga menyampaikan gejala cemas dan depresi berat saat menunjukkan gejala yang mengarah pada masalah lambung.
Peningkatan masyarakat yang mengeluhkan gangguan pada sistem pencernaan ini menjadi bahaya diam-diam di masa pandemi. Apalagi, penyakit ini sudah dialami sepertiga masyarakat AS bahkan sebelum masa krisis Covid-19.
Survei daring yang dilakukan pada 71.812 responden berusia 18 tahun ke atas menemukan 44,1 persen mengalami gejala yang mengarah pada GERD di masa lalu dan 30,8 dalam seminggu terakhir. Survei ini dipublikasikan oleh jurnal Gastroenterology pada 2019 dengan judul Prevalence and Predictors of Gerd and Ppi-Resistant Gerd in the United States.
GERD disebabkan oleh melemahnya katup yang terletak di kerongkongan bagian bawah yang mengakibatkan isi lambung yang berisi makanan dan asam lambung naik ke kerongkongan. Meskipun menjadi penyakit yang umum, penggunaan obat pereda gejala GERD dapat berisiko kematian.
Ziyad Al-Aly, epidemolog dari University of Washington, melihat sedikit kelebihan risiko kematian yang dapat dikaitkan dengan penggunaan obat proton pump inhibitors (PPI) yang umum digunakan untuk mengobati penyakit asam lambung.
Dikutip dari People Taking Hearth Burn Drugs Could Have Higher Risk of Death, Study Claims yang terbit di The Guardian pada Juli 2017, para peneliti menemukan bahwa pengguna PPI menghadapi risiko kematian 25 persen lebih tinggi daripada mereka yang menggunakan penghambat H2. Riset ini merupakan hasil dari pengamatan rekam medis 350.000 peserta selama lebih dari lima tahun dengan memperhitungkan faktor lainnya.
PPI merupakan obat yang memang umum diberikan kepada orang yang memiliki gejala asam lambung. Namun, nyatanya, memiliki risiko buruk jika dikonsumsi dalam waktu panjang. Ziyad menambahkan bahwa penggunaan PPI harus benar-benar dalam pengawasan dokter demi mengurangi risiko tersebut.
Meski umum dialami, bukan berarti rasa tidak nyaman pada area perut bisa diabaikan. Pun, konsumsi obat terus menerus juga bukan menjadi jalan keluar di tengah kemungkinan dampak ikutan yang bisa berpotensi kematian.
Tim peneliti dari Harvard menemukan keterkaitan diet dan gaya hidup dalam munculnya GERD. Dalam Association of Diet and Lifestyle With the Risk of Gastroesophageal Reflux Disease Symptoms in US Women sejumlah perilaku dapat mengurangi gejala GERD.
Mengikuti lima perilaku yang ditentukan mengurangi risiko gejala GERD sebesar 37 persen.
Para peneliti menganalisis rekam kesehatan dari lebih 40 ribu perawat secara berkala selama 12 tahun. Semakin banyak perilaku yang dipatuhi perawat, semakin rendah risiko mereka terkena GERD. Mengikuti lima perilaku yang ditentukan mengurangi risiko gejala GERD sebesar 37 persen.
Kelima kriteria perilaku tersebut adalah menjaga berat badan yang sehat, tidak merokok, olahraga, mengurangi konsumsi kopi, teh, dan soda, serta mengikuti diet jantung sehat. Konsumsi makanan dalam porsi kecil dan sering juga membantu stabilitas asam lambung dibandingkan makan besar dalam sekali waktu.
Masyarakat Indonesia juga memiliki risiko besar mengalami penyakit asam lambung. Meski tidak ada data terkait jumlah atau peningkatan penderita asam lambung, tetapi sejumlah indikator menunjukkan kerentanan.
Misalnya saja, hampir 30 persen masyarakat Indonesia merokok. Konsumsi rokok sendiri dapat memperburuk kondisi lambung. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan sebanyak 28,69 persen penduduk Indonesia berusia lebih dari 15 tahun merokok.
Doktor Penyakit Dalam Ari Fahrial Syam dalam wawancara bersama Kompas TV yang ditayangkan pada 5 April 2021 menyebut komponen pada rokok dapat memperburuk klep antara kerongkongan dan lambung yang meningkatkan risiko ruflux asam. Sayangnya, masyarakat saat ini masih banyak yang tidak mengerti dampak rokok pada kesehatan organ pencernaan.
Berkaca pada kondisi di AS, memelihara pola makan di tengah perubahan normal karena pandemi Covid-19 menjadi keharusan. Tidak menyepelekan ketidaknyaman pada perut terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup, bahkan menyelamatkan nyawa. (LITBANG KOMPAS)