Dalam gambaran Indeks Kemerdekaan Pers, di masa pandemi Covid-19 ini pers di Indonesia semakin menikmati peningkatan kemerdekaannya.
Oleh
Bestian Nainggolan
·5 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Salah satu lapak dan agen media cetak yang masih bertahan memasang beberapa koran di Jalan Pandanaran, Kota Semarang, Jawa Tengah, 3 September 2020. Dalam beberapa tahun ini, isi lapak dan agen koran tidak lagi sebanyak lima tahun lalu ketika tren media daring belum sekuat seperti saat ini.
Masa pandemi Covid-19 yang cenderung mengekang segenap ruang aktivitas fisik individu, masyarakat, termasuk media, tidak membuat derajat kemerdekaan pers redup.
Hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers 2021 (IKP) yang baru saja dipublikasikan Dewan Pers menunjukkan kabar gembira di era pandemi ini. Dibandingkan dengan kondisi pengukuran tahun sebelumnya, saat ini terjadi kenaikan skor indeks yang sekaligus menunjukkan kemerdekaan pers di negeri ini membaik.
Skor IKP nasional saat ini sebesar 76,02. Pada tahun sebelumnya, sedikit lebih rendah, 75,27. Indeks yang dibentuk dari hasil survei terhadap para informan ahli di 34 provinsi dan informan ahli nasional itu menunjukkan jika kategori kemerdekaan pers saat ini tetap tergolong ”cukup bebas”.
Artinya, kendati secara kategori kualitas IKP saat ini tidak berubah, masih tergolong cukup bebas, tetapi peningkatan skor sudah dapat menyimpulkan adanya perbaikan kondisi.
Terlebih, jika dibandingkan dengan periode pengukuran sejak pertama kalinya indeks ini dikenalkan, sudah terjadi peningkatan kemerdekaan pers yang signifikan. Pada tahun 2017, skor indeks masih sebesar 67,92. Dengan skor sebesar itu, kemerdekaan pers masuk kategori ”agak bebas”.
Apabila dielaborasi lebih dalam, IKP yang terbangun dari 20 indikator dalam tiga dimensi itu konsisten menunjukkan peningkatan. Pada dimensi Lingkungan Fisik dan Politik, mencatatkan skor tertinggi, sebesar 77,10. Dimensi ini di antaranya meliputi pengukuran terhadap kebebasan para jurnalis berserikat, intervensi pemerintah dan pemilik, ancaman fisik, keragaman pandangan, akurasi dan keberimbangan, ketersediaan akses informasi, hingga kesetaraan bagi kelompok rentan.
Pada tahun ini, nilai tertinggi pada dimensi lingkungan fisik dan politik terjadi pada kondisi kebebasan berserikat bagi para jurnalis (83,96). Sebaliknya, indikator terendah (72,88) masih konsisten terjadi ada pada indikator kesetaraan dalam akses, terutama bagi kalangan yang tergolong rentan.
Pada dimensi Lingkungan Ekonomi, besaran skor indeks kali ini sebesar 74,89. Dibandingkan tahun sebelumnya (74,67) juga terdapat peningkatan, sekalipun tidak terlalu signifikan. Dimensi yang dibangun oleh indikator kebebasan pendirian dan operasional perusahaan pers, independensi ekonomi, keragaman kepemilikan, tata kelola perusahaan, dan keberadaan lembaga penyiaran publik, ini mengungkapkan jika persoalan tata kelola menjadi terendah (70,47). Secara khusus, persoalan normatif pekerja pers, seperti upah jurnalis menjadi perhatian.
Capaian skor dan kondisi kemerdekaan pada dimensi Lingkungan Hukum juga tidak berbeda jauh dengan dimensi lainnya. Saat ini tergolong ”cukup bebas” dengan skor 74,87. Dibandingkan dengan penilaian masa sebelumnya pun terjadi peningkatan.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Para jurnalis berunjuk rasa di kantor Wali Kota Medan, Sumatera Utara, 21 April 2021. Mereka berunjuk rasa terkait peristiwa pengusiran dua jurnalis yang sedang menjalankan tugas peliputan di kantor Wali Kota Medan.
Pada dimensi yang meliputi indikator kepastian hukum, jaminan kebebasan dalam praktik jurnalistik, kriminalisasi dan intimidasi, etika, penyelesaian dan pemulihan, dan perindungan hukum pada kalangan disabilitas, ini menunjukkan penilaian tertinggi terjadi pada indikator kriminalisasi dan intimidasi kepada pers (80,89).
Sebaliknya, kondisi yang paling mendapat penilaian terendah terjadi pada indikator perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas (62,08), yang sekaligus juga menjadi nilai terendah dari seluruh indikator penilaian indeks.
Peningkatan skor indeks kemerdekaan dalam konteks berlangsungnya pandemi selama ini menjadi menarik dibahas. Pasalnya, bagaimana dapat dijelaskan jika di tengah pandemi yang cenderung mengekang ruang aktivitas individu, masyarakat, termasuk juga institusi media, yang terjadi pada saat itu malah peningkatan skor derajat kemerdekaan pers.
Padahal, dalam perspektif relasi triangulasi pers, negara, dan masyarakat, terjadinya perubahan seperti pandemi ini secara ideal baik secara langsung ataupun tidak langsung akan bersentuhan dengan entitas kehidupan pers di negeri ini.
DOK. BIRO PERS ISTANA
Presiden Jokowi meninjau vaksinasi Covid-19 terhadap jurnalis di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 25 Februari 2021.
Dapat dijelaskan di sini, semenjak masa pandemi Covid-19 ditetapkan, sejatinya telah terjadi perubahan posisi dan peran negara. Dalam hal ini, negara semakin banyak mengambil peran dalam tatanan pengaturan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Tidak hanya berkait dengan aspek kesehatan semata, tetapi pandemi juga telah menempatkan posisi negara menjadi semakin sentral, termasuk dalam pengaturan ekonomi dan relasi sosial antar-individu serta masyarakat.
Dalam posisi sentral semacam itu, tidak terhindarkan jika kekuasaan negara menjadi semakin dominan. Dominasi negara sepanjang pandemi tentu saja mengubah pola relasi yang selama ini terjalin antara negara, pers, dan masyarakat.
Konkretnya dalam berbagai kasus, aspek kebebasan, independensi, perlindungan hukum, hingga sisi esensial kehidupan ekonomi pers kerap kali bersinggungan dengan kekuasaan negara. Semakin dominan peran negara, terlebih beralih menjadi negara yang semakin bercorak otoritarian, potensial menjadi semakin rendah ruang kemerdekaan yang dimiliki, baik pada masyarakat maupun pers.
DOKUMENTASI SEKRETARIAT BERSAMA JURNALIS KOTA PALU
Anggota Sekretariat Bersama Jurnalis Kota Palu, Sulawei Tengah, mengatur paket bantuan untuk wartawan yang menjalani isolasi mandiri karena terinfeksi Covid-19 di Palu, 29 Juli 2021.
Namun, kecenderungan yang terjadi kali ini tidak demikian. Setidaknya, jika merujuk pada berbagai indikator pengukuran IKP, perubahan posisi dan peran negara yang semakin tersentral itu tidak serta-merta mendominasi relasi triangulasi pers, negara, dan masyarakat. Anomali seolah terbangun dalam masa pandemi.
Benar jika sepanjang pandemi, negara menjadi semakin tersentral dalam berperan. Namun, dominasi negara sepanjang pandemi tidak justru menutup ruang kebebasan pers di negeri ini. Dalam gambaran indeks, pers di negeri ini justru semakin menikmati peningkatan kemerdekaannya.
Kategori kemerdekaan pers saat ini tergolong ’cukup bebas’.
Hasil indeks menunjukkan, jika pada lingkungan fisik politik, pers Indonesia masih cukup bebas (bahkan lebih tinggi lagi skornya) dari intervensi negara. Kebebasan para jurnalis berserikat, jaminan terhindar dari ancaman kekerasan, keragaman yang menjadi sendi-sendi kemerdekaan politik pers semakin membaik. Dalam menjalankan kerja jurnalistik, para jurnalis relatif terhindar dari intervensi negara. Malah, persoalan pandemi sejauh ini justru menjadi sumber kritik pemberitaan pers yang bebas dari ancaman.
Anomali pandemi lebih tampak pada kehidupan dimensi lingkungan ekonomi pers. Bagaimanapun, kebijakan-kebijakan negara yang membatasi ruang dan jarak secara langsung meredupkan kehidupan ekonomi. Setahun terakhir, indikator pertumbuhan ekonomi negeri ini tidak hanya mencatatkan penurunan, tetapi menunjukkan pula kondisi krisis.
KOMPAS/KRISTI DWI UTAMI
Seorang wartawan berjalan dari dermaga menuju Kampung Tirang, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Jawa Tengah, 12 Februari 2021. Dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional, wartawan bersama TNI dan Polri menyalurkan bantuan bahan pokok serta masker kepada belasan keluarga di Kampung Tirang yang selama ini jarang mendapat bantuan karena wilayahnya terisolasi.
Kondisi yang menekan berdampak pada kehidupan ekonomi pers. Sampai sejauh ini, misalnya, kisah penutupan perusahaan pers bukan lagi kisah langka. Apabila pada era sebelumnya berbagai kisah penutupan pers, terutama media cetak, lebih banyak disebabkan kegagalan dalam mengantisipasi disrupsi teknologi, kali ini justru pandemi mempercepat kematian.
Sepanjang pandemi, nilai transaksi pasar media, baik pasar pembaca maupun iklan yang menjadi sumber pendapatan institusi pers, menurun drastis. Tidak banyak yang mampu bertahan dalam tekanan semacam ini.
Dalam kondisi kebangkrutan media, keragaman kepemilikan institusi media semakin terancam. Begitu pula, pasar yang terbentuk hanya menyisakan para pelaku yang terbatas dan cenderung semakin bersifat oligopolistik. Semua dampak berimplikasi pada semakin jauhnya harapan demokratisasi media.
Namun, semua argumentasi di atas berikut segenap implikasinya tidak banyak terekam dalam lingkungan ekonomi indeks ini. Peningkatan skor indikator kehidupan ekonomi pers dalam indeks ini seolah menunjukkan bahwa pandemi tidak mengusik lingkungan ekonomi pers di negeri ini. Jika demikian yang terjadi, pers Indonesia layak merayakan peningkatan kondisi kemerdekaannya. (LITBANG KOMPAS)